Yasmin bersikap seperti biasanya, tidak ada yang berubah dari perempuan itu meskipun telah banyak luka yang Sean torehkan padanya. Setelah menyiapkan makan malam, Yasmin masuk ke kamar dan melihat Sean sibuk dengan laptop serta beberapa berkas.
“Tutup dulu laptop dan berkas-berkasnya, ini sudah waktunya makan malam.” Yasmin langsung bertindak, menutup berkas itu dan merapihkannya.
“Aku akan menyusul,” sahutnya dingin.
“Tolong pikirkan kesehatanmu, hurup atau angka dalam berkas itu tidak akan hilang karena ditinggal makan malam.”
Sean menarik napas dalam, kemudian bergegas mengikuti Yasmin yang sudah berjalan lebih dulu. Siapa sangka, pernikahan yang berawal dari kebencian bisa berakhir seperti ini.
Yasmin dan Sean makan dalam diam, hanya denting sendok yang memecah keheningan di antara mereka. Sesekali Sean melirik Yasmin dengan sudut matanya, perempuan itu duduk dengan tenang berbeda dengan Sean yang sedikit gel
Sean masuk ke apartemen dengan santai, bayangan sudah terlalu jauh saat berharap jika Yasmin akan menyambutnya saat derit pintu terdengar. Namun keinginan hanya tinggal keinginan, pada kenyataannya Sean hanya disambut oleh keneningan dan deru dari pendingin ruangan.Sekarang dia hanya menghela napas berat, meskipun begitu dia tetap melangkah masuk dan membuka lemari pendingin mengambil satu botol air mineral dan membawanya ke dalam kamar.Untuk sesaat dia tertegun di ambang pintu saat melihat Yasmin meringkuk di atas sofa. Tanpa selimut ataupun bantal, membuat Sean hanya bisa geleng kepala.‘Ck! Kenapa Yasmin masih di sofa? Apa dia tidak mengerti jika aku ingin tidur di atas ranjang bersamanya,’ batinnya mulai mengeluh.Entah kenapa, setelah tidur siang yang begitu nyenyak itu membuat Sean merasa ingin terus seperti itu. Selimut dan guling ternyata sudah tidak bisa menghangatkannya. Kepalanya menggeleng pelan, namun bertolak belakang dengan ha
Di depan meja makan, sekarang Yasmin tersenyum sembari menatap rantang yang sudah terisi dengan makanan pesanan suaminya. Senyum manis itu tak pernah luntur dari bibir Yasmin, entah kenapa hari ini terasa begitu indah, selama ia menikah dengan Sean.“Ini udah jam sebelas, aku siap-siap dulu deh,” gumamnya pelan.Yasmin ingin bersiap dengan cepat, sedikit rasa tidak sabar membuat gadis itu salah tingkah. Bahkan entah berapa kali Yasmin mengganti dress hanya untuk mengantarkan makan siang."Kenapa harus bikin kamar berantakan kayak gini?" Yasmin sedikit meringis menyadari kelakuannya. "Dress ini sepertinya sudah cukup."Pada akhirnya Yasmin memilih memakai dress berwarna gelap dengan plat shoes pemberian mertuanya. Karena memang Yasmin tidak bisa memakai heels dan sejenisnya.Selesai memilih pakaian, Yasmin duduk di depan cermin dan sedikit memoles wajahnya dengan make up tipis. Belum bertemu dengan Sean, tapi gemuruh dalam dada Yasmin su
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Sean sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari Yasmin yang begitu lemah. Darah segar masih terus saja mengalir, membuat tubuh itu sedikit bergetar, bahkan wajahnya kian memucat seiring berjalannya waktu.“Putra, lebih cepat!”Tidak ada jawaban, namun laju kendaraan dipacu sesuai permintaan Sean. Suara klakson berbunyi, untuk meminta jalan agar mereka bisa secepat mungkin sampai di rumah sakit.Setibanya di rumah sakit, Sean menggendong tubuh itu masuk ke IGD. Dia berteriak keras, tidak lagi peduli jika ada orang lain yang terganggu.“Dokter! Suster!” Sean menerobos masuk, beberapa terkejut dan langsung mengarahkan Sean pada sebuah ranjang kosong.“Baringkan pasien di sini, Pak, dan silahkan tunggu di luar.”“Aku tidak akan meninggalkannya!” Sean bersikeras, bagaimana mereka memintanya keluar.Tidak berselang lama dokter datang dan memeriksa k
“Bagaimana, Rangga? Apa dia sudah mati?” Hana menatap wajah suami sirinya itu dengan tajam, menunggu jawaban yang bisa memuaskan. “Maafkan aku, Hana,” ucap Rangga dengan sedikit menunduk. “Seorang wanita menyelamatkannya, aku tidak tahu apa wanita itu selamat atau tidak.” Hana terdiam, berusaha untuk mengingat siapa wanita yang akan sedia mengorbankan diri untuk menyelamatkan Sean, meskipun begitu Hana masih tidak bisa menebaknya. “Apa kamu mengenalnya?” “Tidak! Tapi dari cara dia menyelamatkan Sean, aku yakin ada hubungan special antara mereka.” Sejak awal, Rangga khawatir jika Hana akan marah besar karena dia telah gagal melakukan permintaan Hana, namun ternyata dia sangat bahagia. Tawanya membahana, membuat Rangga bingung. “Aku bahagia, Rangga … Aku bahagia,” Hana memeluk Rangga dengan erat, bahkan tak segan untuk merayu dan menggodanya. Rangga pria normal, tentu saja dia akan menerima setiap rangsangan yang diberikan. Sampai akhirn
“Kamu jangan bercanda, Yasmin. Ingat! Aku benci lelucon murahan seperti ini!” Sean menggelengkan kepalanya berkali-kali, tidak terima dengan sikap Yasmin.Mendengar itu semua Yasmin tetap diam, otaknya mulai bekerja dan berusaha mengingat dua pria yang sekarang ada di hadapannya. Namun sayang, semakin dia mengingat, semuanya masik terasa gelap.“Kamu ingin membuat perhitungan denganku? Baik! Tapi bukan seperti ini caranya, Yasmin.” Sean begitu marah.“Kak, sudah! Sepertinya kakak ipar memang kehilangan ingatannya,” bisik Davin, dari sorot matanya sudah jelas terlihat jika Yasmin kebingungan.“Diam kamu, Vin! Tahu apa kamu soal medis, pergi dan urus saja mesin-mesin kesayanganmu itu.”Davin tidak mudah terpancing emosi seperti Sean, maka semua yang dikatakan sang kakak sama sekali tidak berpengaruh padanya. Meskipun begitu ia tetap keluar dan segera meminta suster untuk memanggil dokter jaga.&l
Sean dan Claretta sekarang duduk bersama, berhadapan dengan seorang dokter yang memang menangani Yasmin. Setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan, ternyata memang terjadi gangguan dalam ingatan Yasmin.“Jadi bagaimana, Dok?” tanya Claretta.“Nona Yasmin mengalami amnesia pasca trauma. Benturan di kepalanya cukup serius, ini menyebabkan pasien kehilangan sebagian ingatannya. Namun ada beberapa hal yang masih dia ingat, seperti nama dan dengan siapa terakhir kali dia tinggal.” Papar sang Dokter.“Apa dia mengingat tentang pernikahannya dengan saya?”“Sebelumnya saya minta maaf, tapi pasien hanya mengingat sebatas sebelum adanya hubungan yang terkait dengan anda.”DEGSean merasa tidak terima, hati yang sudah mencinta begitu dalam itu terluka saat dia yang tersayang sama sekali tidak mengingatnya. Namun sayangnya Sean tidak bisa berbuat apa-apa, jika terus dipaksakan untuk mengingat semua kenangan b
“Kamu tahu ‘kan apa yang harus kamu lakukan?” Sean menatap Putra yang sekarang sedang sibuk dengan ponselnya. “Hmm … Aku sudah menyiapkan segalanya, bahkan aku sudah menaruh kamera kecil dalam pas bunga untuk tetap bisa mengawasi pria itu.” Sean hanya mengangguk, meskipun sudah ada perjanjian di atas materia dan memiliki kekuatan hukum yang jelas, Sean tidak ingin gegabah dengan membebaskan dia berdekatan dengan Yasmin, meskipun dia adalah pamannya. “Aku benar-benar menyesal,” lirih Sean. “Untuk?” Putra melirik sahabatnya itu santai, kemudian mengembalikan pandangannya pada ponsel. “Andai aku percaya dengan perkataan Yasmin malam itu, mungkin cinta ini sudah menjadi besar. Bahkan bisa saja aku dan Yasmin sudah bisa memberikan Mami seorang cucu.” Putra hanya terkekeh mendengar perkataan Sean. Bukan tidak ingin memberikan saran, namun cinta mereka harus menemukan jalan sendiri untuk bisa kembali bertemu. Walaupun tidak mudah untuk menemukan jalan idah setelah melewati begitu banyak
Yasmin baru saja membuka mata, gadis itu hanya bisa menghela napas berat saat mengingat di mana dia berada dan pamannya yang sampai kini tak kunjung datang. "Sus, kapan saya bisa keluar dari rumah sakit?" Yasmin bertanya penuh harap pada suster yang memang ditugaskan Sean di ruangannya. "Saya tidak tahu Nona, jadi saat dokter datang nanti lebih baik Nona langsung bertanya." "Iya, terima kasih banyak, Sus." Hari ke-7 di rumah sakit, infus yang mengekang kebebasannya akhirnya dilepas. Yasmin tersenyum, setidaknya salah satu bebannya telah hilang. "Selamat pagi ..." Claretta masuk membawa parsel buah kesukaan Yasmin. Jika sebelumnya Claretta datang di jam tidur, hari ini dia mulai hadir saat Yasmin bangun. "Pagi, Bu ..." balas Yasmin sambil menganggukkan kepalanya. "Bagaimana kabarmu, Yas? Di rumah rasanya ada yang tidak lengkap sekarang," wanita paruh baya itu hanya terkekeh. "Kenapa saya merasa begitu dekat dengan anda, Bu?" Pertanyaan Yasmin membuat Claretta terbelalak, namun t