"Tapi Kak, tolong ... jangan berkata seperti itu tentang Mama ku! Aku tak terima, bahkan aku tak pernah sama sekali menatap wajahnya langsung, aku juga tak tahu sifat Mama, aku yakin Mama tak seperti aku, Mama perempuan yang baik,"
"Entahlah. Tapi, jika Mamamu memang perempuan baik-baik, kenapa, dia bisa merebut papa dari kami? Bahkan papa lebih sering menghabiskan waktu dengan Mamamu, meskipun kakak tidak tahu, tapi Mama Sofia yang memberi tahu Kakak, betapa liciknya Mama kamu Intan, sama seperti kamu!" maki kak Novi dengan sikap dan tatapan benci.
Aku menelan ludah terasa begitu susah, mendengar kata-kata buruk kak Novi tentang Mamaku, perih terasa di hati ini, dadaku mendadak terasa panas seketika. Kutarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan, tak terasa air mataku menetes mewakili perasaanku, aku sedih Kak Novi membawa almarhumah Mama ke dalam masalah ini.
"Tenang aja kak, aku takkan mengganggu rumah tangga kakak dan Mas Arkan lagi, mulai sekarang,
"Asal kau tahu, Anton! Kenapa istrimu lebih memilih aku? Ya, itu sangat wajar, karena dia, menginginkan lelaki seperti aku, bukan suami sepertimu, yang payah dan lemah!" ucap Mas Arkan seraya menunjuk jari telunjuknya ke wajah Mas Anton, dia tersenyum miring meremehkan. "Arkan, dasar kau lelaki bejat! Tak bisa menjaga mata! Melihat perempuan yang lebih cantik, langsung kau sikat, padahal kau tahu, dia adalah adik dari istrimu. Kau tak punya perasaan, dan tak punya akal sehat. Aku bersumpah takkan pernah memaafkanmu sampai kapanpun! Sebenarnya, apa yang kau cari dari istriku? Sementara kau juga sudah mempunyai Novi," tanya Mas Anton, kemudian ia melayangkan kepalan tangannya ke wajah Mas Arkan. Namun, dia berhasil menangkisnya. "Novi, sudah tidak menggairahkan lagi," ujar Mas Arkan, seraya mencengkram kuat kepalan tangan Mas Anton. Dada Kak Novi terlihat naik turun, sepertinya ia sedang menahan pedih dan amarah yang berkecamuk dalam hatinya. Atas ucapan
Lima belas menit waktu yang kami tempuh menuju rumah sakit. Namun, ada sedikit kendala, jalanan macet karena ada kecelakaan lalu lintas, sehingga menghambat perjalanan kami. Tak tahan perutku semakin nyeri, keringat dingin pun bercucuran membanjiri seluruh tubuh. "Intan sayang, kamu bertahan, ya! Sebentar lagi kita sampai," ucap Bu Risma menenangkanku, tangannya terus mengusap-usap bahuku lembut, dengan tatapan penuh kekhawatiran. Tanpa menyahut aku menanggapi ucapanya dengan anggukkan kecil. "Kenapa, kamu bisa terjatuh Nak?" lanjutnya dengan nada khawatir. "Terpeleset, Bu," jawabku lirih. "Sakit banget ya, Nak? Kasihan kamu, yang sabar, bertahan ya, sayang," ujar Bu Risma lemah lembut. "Iya Bu, sakit sekali." Aku merintih, kedua tanganku mencengkram perut untuk menahan rasa sakit yang kian menjalar. "Kenapa, kamu gak hati-hati Nak?" tanya Bu Risma lagi. "Bu, maafkan aku, karena kecerobohanku, sehingga aku tidak bisa menjaga calo
"Kalau kau sudah tak sudi, kenapa saat tadi siang kamu merebutku dari Mas Arkan? Dan tak membiarkan dia untuk membawaku ke rumah sakit?" tanyaku pada Mas Anton dengan nada kesal. "Aku, hanya tak ingin melihat Novi sakit hati lebih dalam lagi, dan aku tak ingin membuat ibuku curiga padamu, juga laki-laki bejat itu," tukas Mas Anton begitu ketus. "Apa kau punya rasa, terhadap Kakakku? Sehingga kau selalu membela dia," tanyaku menuduhnya, meskipun tubuhku masih terasa lemas dan perutku masih terasa ngilu. Namun, emosiku yang mendorong hati ini ingin terus berbicara padanya. "Hm." Mas Anton membalikkan badannya, seraya tersenyum kecut menghadap ke arahku. "Aku tak seperti yang kau pikirkan, dan kami tak serendah akhlak kau dan Arkan. Aku hanya menganggap dia sebagai sahabat sekaligus kakak tidak lebih, jangan kau pikir aku dengan Novi sama sepertimu, melakukan hal tak terpuji, dan jangan samakan aku dengan kakak Iparmu, yang mengkhianati kami," jawab Mas Anton ge
"Sus, bisa tolong saya!" pintaku pada perempuan berbaju putih, yang baru saja masuk ke dalam ruangan di mana aku berada, dia berjalan mendekat ke arahku dengan sebuah botol infus di genggaman tangannya. "Iya, ada apa Bu?" jawabnya seraya menghampiriku, kemudian pandangannya beralih ke bawah, "Ya ampun Bu ... ini kok buburnya tumpah?" tanyanya, dengan kening berkerut. "Maaf Sus, tadi saya mau makan, tangan saya gemetar, jadi buburnya tumpah," "Bu, kalau butuh sesuatu, panggil saya, tekan bel saja, nanti saya akan datang," "Saya lupa Sus," "Suami ibu kemana? Kok gak nungguin ibu di sini," tanyanya sambil mengganti botol infus yang sudah habis dengan yang baru. "Eum, suami saya pulang, dia ada keperluan lain," jawabku sekenanya. Kemudian perempuan berbaju serba putih itu membersihkan bubur setelah membantuku membuka bungkus roti dan aku pun minum obat, yang diberikan oleh suster tadi satu jam yang lalu. Dia beranjak dari k
Aku menelan ludah dengan susah payah, mendengar ucapan Mas Anton, juga sikapnya yang begitu dingin terhadapku. Ku Letakkan kembali bubur ke atas meja selera makanku menghilang seketika. "Terserah kamu Mas, jika kamu tak mau menerimaku lagi, tapi ibumu ingin aku tetap jadi menantu nya," jawabku dengan, cepat. "Aku lelah Intan, berdebat terus dengan kamu, jika ibu tau keburukanmu, aku yakin ibu juga akan membencimu, dan takkan pernah menganggapmu sebagai menantunya lagi,!" jawab Mas Anton menunjuk jarinya ke arahku. Aku tersenyum menyikapi sikap dia yang seperti itu, acuh tak peduli padaku dan perasaanku. "Ya sudah, kita bahas nanti saja di rumah! Eum ... Mas, sebaiknya sekarang sarapan dulu yuk! Ibu bawakan makanan untuk kita," ajak ku bersikap semanis mungkin melupakan sikapnya yang tadi, dengan menyunggingkan senyuman meski dengan hati perih. "Makan saja sendiri! Aku sudah makan," jawabnya datar. Mas Anton berjalan lalu ia berdiri menjauh dar
"Mas, mau pergi kemana? Bukannya ibu menyuruhmu tetap di sini, untuk menemaniku!" ucapku sedikit berteriak saat Mas Anton melangkah menuju pintu, dia menoleh sekilas. "Aku suntuk, berada di sini," jawabnya ketus, sebelum Mas Anton keluar dari ruangan tempatku di rawat, terlebih dahulu ada orang yang mengetuk pintu. Mas Anton langsung membukakan pintu untuk orang tersebut, tidak mungkin itu suster dari suaranya yang menanyakan keberadaanku. "Silakan masuk! Intan ada di dalam," jawab Mas Anton sembari membuka pintu dengan lebar mempersilakan orang itu masuk. "Siapa Mas?" tanya ku basa-basi, mencondogkan tubuh ke samping untuk melihat seseorang yang datang. Ucapanku tak di hiraukannya, tak ada sahutan dari bibir Mas Anton, jangankan bicara hangat seperti dahulu, sekedar menjawab pertanyaanku saja Mas Anton sudah enggan. "Terima kasih Mas," suara itu, sangat familiar di telingaku, aku pun lebih memiringkan tubuh seraya menajamkan pendengaran, Itu
*Hari ketiga aku di rawat di RS ibu dan anak, hari ini saatnya aku pulang kerumah. Aku sudah di jemput oleh kedua mertuaku, sementara Mas Anton tidak ikut menjemputku, kata ibu mertua Mas Anton sibuk, dari pukul setengah tujuh dia sudah pergi dari rumah. "Intan ... ayo kita pulang kerumah kami Nak!" ajak Bu Risma dengan menyunggingkan senyuman seraya mengusap bahuku lembut, aku menoleh menatap wajahnya yang sudah keriput juga kantung mata menghiasi wajah lembutnya "Tapi Bu, aku mau pulang ke rumahku sendiri saja, lagi pula, aku juga tidak jadi hamil, aku tidak mau merepotkan ibu," jawabku sedikit ragu. "Memangnya kenapa Nak? Hamil atau tidak, tak jadi masalah untuk ibu, yang penting kamu tinggal bersama kami, berkumpul di tengah keluarga kami, iya ka Yah?" Bu Risma menoleh pada lelaki paruh baya yang berdiri di ambang pintu, mertua lelakiku hanya menanggapi dengan senyuman tipis, dari raut wajah sepertinya ia kurang suka dengan ucapan Bu Risma yan
"Jangan usir aku, Mas! Kau lihat?" Kutatap wajah Mas Anton, seraya memegang kedua lengannya, "Mas ... aku ini belum pulih sepenuhnya, aku membutuhkanmu, juga ibu, aku membutuhkan sebuah keluarga di tengah-tengahku, di saat aku seperti ini! Kamu tega, Mas!" ucapku di iringi Isak tangis. Agar menarik simpati Mas Anton, yang bersikeras menolak permintaanku untuk tinggal di rumahnya sementara, selama aku dalam pemulihan, dan mungkin nanti aku akan pergi dari sini mencari rumah baru untuk kutinggali sendiri, jika aku sudah benar-benar merasa sehat. "Tega kamu bilang, aku bukan tega, kau tahu? Aku sudah muak denganmu, juga kelakuan busukmu, sandiwaramu." Mas Anton mencengkram bahuku dengan erat, menimbulkan rasa sakit di sana, lalu ia menarik tubuhku hingga wajahku mendongak dan kami saling berhadapan tanpa jarak. "Lepas Mas! Jangan kaya gini, sakit!" pintaku meringis, Mas Anton bergeming, napasnya kian memburu tatapan matanya tajam berkilat. "Lebih sakit a