"Mas, Arkan ...," ucapku lirih saat aku melihat tangan lelaki itu menggenggam tangan perempuan yang duduk di hadapannya.
Tatapan Mas Arkan begitu intens memandang wajah gadis yang sedang bersamanya kini. Dadaku terasa bergemuruh, disertai kedua tangan gemetar, tak percaya dengan apa yang sudah kulihat.
"Mas, apa dia kekasihmu?" ucapku bergumam, bibir ini seakan berat untuk bicara.
Mas Arkan mengusap pipi perempuan itu dengan jemarinya begitu lembut. "Mas, kamu tega sekali sama aku!" Batinku terus berkata, aku menepis pikiran buruk terhadap Mas Arkan, mungkin saja perempuan yang kini bersama dia adalah saudaranya. Aku tak boleh berprasangka dulu terlalu jauh, sebelum semuanya jelas.
Meski pikiranku terus menguatkan hati. Namun, perasaan ini tak bisa dibohongi, semakin ku tepis semakin sakit pula batinku, melihat kedekatan dan kemesraan Mas Arkan dengan perempuan yang tak ku kenal itu.
Hati ini seakan tertancap seri
"Kamu malu. Mas, malu pada siapa? Malu, mengakui kesalahan kamu sendiri. Aku gak terima, Mas. Kalau kamu menikah dengan orang lain," ucapku dengan dada yang sesak. Mas Arkan menarik napas dalam-dalam, seraya memejamkan mata. "Intan, mengertilah, dengan keadaan Mas saat ini! Masih banyak lelaki yang jauh lebih baik dibandingkan, Mas," "Apa kau mau, mengerti aku? Mengerti perasaanku, saat ini? Sakit Mas ... aku sudah tak punya siapa-siapa lagi, aku tak punya sandaran hidup, kakakku begitu membenciku! Mas Anton sudah punya istri baru, aku tak punya sanak saudara di dunia ini, hanya kamu Mas tempatku mengadu, tapi, kamu malah menghancurkan hati dan hidupku," "Dengar Intan! Aku berusaha mencarimu, selama beberapa bulan ini, tapi, kamu seolah hilang ditelan Bumi. Kalau bukan kamu yang menjauh dariku, dan pergi tanpa kabar, mungkin Mas tidak akan berencana menikahi orang lain," "Belum terlambat, Mas. Kita bisa memulai kehidupan yang baru, kamu juga bar
"Baik. Aku akan pergi, Mas. Jiika itu bisa membuatmu bahagia, aku akan pergi dari hidupmu, dan pergi dari dunia ini." ancamku dengan nafas memburu, wajahku begitu panas dengan dada teramat sesak, karena perlakuan Mas Arkan yang di luar dugaanku. "Maksud kamu, apa?" tanya Mas Arkan menatapku, dan membawaku ke dekat mobilnya yang terparkir di depan cafe. "Sudahlah, tak usah kau pedulikan aku, lagi. Urus saja, perempuan itu! Mau hidup atau mati pun aku, jangan kau pedulikan, dan jangan kau sesali!" jawabku sambil mengusap pipi yang basah sedari tadi dengan air mata. Aku menyesal telah menyia-nyiakan suamiku, demi lelaki seperti Mas Arkan. Betapa besar dan tulus cinta Mas Anton kepadaku, besarnya kasih sayang dia, malah aku nodai dengan penghianatan. Aku selingkuh dengan Mas Arkan hanya karena nafsu. Tapi, lelaki itu hanya menginginkan kenikmatan dalam diriku, setelah bosan aku dicampakkannya. "Selamat menempuh hidup baru, Mas. Sampai ka
Mataku mengerjap, dan perlahan membukanya, entah ada di mana aku ini sekarang. Saat menatap ke sekeliling hanya ruangan sunyi didominasi warna putih. "Apa aku sudah berada di alam lain, menyusul Mama dan papa?" gumamku, seraya mengedarkan pandangan. Aku bergeming, dan meraba alas tidur dengan tangan kiri. Namun, seperti ada yang menancap di pembuluh darah. "Di mana, aku?" gumamku lagi, pada diri sendiri, dan sesaat ada sebuah tangan menyentuh punggung tanganku, 'Hangat,' tangan siapa ini? "Mah," panggilku seraya menoleh ke arah samping. Sentuhan tangan ini, mengingatkan aku pada seseorang, lembut dan begitu hangat. "Dasar. Bodoh!" umpatnya, membuatku terkejut, dan menoleh seketika. "Kakak, kamu sedang apa di sini?" tanyaku heran, kenapa aku bisa berada bersamanya dalam satu ruangan. Aku ingin bangun, tapi, rasanya kepala ini masih sedikit berdenyut. "Bukannya, kita sudah beda alam, kak? Kok kita bisa bertemu?" tanyaku seperti ora
"Mas Arkan, Mila. Kania, untuk apa mereka datang ke sini?" gunamku sambil menarik tubuh dan menyandarkan punggung di kepala ranjang. Kedua tanganku tertaut memeluk bantal, yang kuambil dari belakang punggung, seraya mengalihkan tatapan ke arah jendela, enggan untuk melihat kedua orang itu. Kutarik napas pelan, melihat wajah Mas Arkan, semakin sakit hati ini, dan semakin dalam luka ini. 'Sudah Intan, lupakan dia!' Batinku terus bermonolog menguatkan hati. Tapi, untuk apa Kania membawa Mas Arkan kesini. Bukannya orang itu mau menikah dengan wanita lain, Dan bukannya dia juga sudah tak mau berurusan lagi denganku, atau kak Novi. Kania berjalan ke arahku dengan menyunggingkan senyuman manis, "Intan, kau sudah pulih rupanya? Kupikir kau sudah tewas," celetuk Kania, membuat wajahku memberengut, hatiku yang kacau semakin kesal. "Untuk apa kamu datang ke sini? Jika ingin mengejekku?" seruku ketus. Kania tak menjawab ia hanya tersenyum. Kedatangan Kani
POV Novi. Sepulang kerja aku langsung duduk di sofa ruang tengah, termenung duduk sendiri, seraya mengistirahatkan badan yang terasa begitu lelah, setelah seharian bekerja. Sepi, sunyi, tak ada suara seseorang pun di rumah ini, hanya suara denting jam dinding mengarah ke jam enam petang. Entah kenapa dari siang aku kepikiran tentang Intan, ada apa sebenarnya dengan dia? Semalam aku juga bermimpi bertemu dengan papa. Beliau berpesan agar aku menjaganya. Untuk apa aku menjaga dia? Sedangkan dia sudah merusak kepercayaan, dan mengkhianati aku dengan kejam. Menghancurkan kebahagiaanku, merebut cinta Mas Arkan dariku. Aku tak tahu kabar tentang dia lagi, sudah hampir dua bulan lamanya, kami tidak pernah bertemu, bahkan hilang kontak. Semenjak terakhir kali ia kesini dan kami bertengkar kembali. Sepanjang hari aku kepikiran tentang mimpiku semalam bertemu papa, yang menyuruhku menjaga Intan. Hingga merusak konsentrasi saat aku bekerja, ada apakah de
POV Novi "Kania, kira-kira ... apa ya? Yang membuat Intan, melakukan hal bodoh seperti ini?" tanyaku masih dengan hati penasaran. Mencoba mengubur rasa sakit hati sejenak, karena orang yang sudah menyakiti hatiku pun sedang lemah dan tak berdaya. "Gak tahu, Mbak. Pas aku sampai di kontrakannya, dia sudah tergeletak di dapur, dengan mulut penuh busa, terus pas aku lihat, di atas meja dekat dispenser, ada gelas kosong. Sepertinya bekas dia minum racun, di campur dengan air. Aku menemukan bungkus kosong di atas meja, samping gelas, tapi aku gak tahu, itu racun apa? Karena kemasannya sudah di buang sama Intan." Ucapan Kania membuat kepalaku berdenyut. Ya Tuhan, kenapa Intan bisa senekat itu? Aku tak habis pikir, dia ingin mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Kuusap kasar wajah serta rambut ini, ingin sekali memaki Intan, rasanya aku ingin menampar dia saat ini juga. Dia begitu lemah dan bodoh, menghadapi hidup. "I
Pukul sembilan pagi, Kania berpamitan pulang sebentar, untuk mengganti pakaiannya, setelah kami menghabiskan sarapan bubur ayam yang dibelikannya tadi.Sepeninggalnya Kania aku duduk di kursi samping tempat tidur Intan, kutatap wajahnya yang tadi pucat seakan tak ada darah yang mengalir di tubuhnya. Tapi, kini kondisinya sudah agak membaik dan bibirnya tak sepucat tadi. Tak kupungkiri rasa cemas sempat menggelayuti pikiranku, karena bagaimanapun juga aku masih sayang pada Intan, meskipun dia sudah berbuat kesalahan yang fatal. "Tan, andai kamu tahu, bagaimana perasaan kakak? Hati kakak begitu terluka, melihat keadaanmu. Sebenarnya apa sih yang bikin kamu begini? Meskipun kamu sudah menyakiti kakak, tapi, kakak gak tega melihatmu tak berdaya dengan kondisi yang memprihatinkan seperti ini," ucapku seraya menggenggam tangannya, menatap khawatir. Air mataku meleleh melihat ia masih terbaring lemas di atas brankar, hingga jam setengah sepuluh pa
POV Intan."Oh, jadi Mas hanya ingin memastikan bahwa aku ini belum mati?!" ucapku dengan tatapan kesal."Hm, ya ... bisa dikatakan begitu." Mas Arkan tersenyum tipis seraya melirikku dengan sudut matanya.Aku begitu jijik melihat wajahnya, wajah yang dulu selalu menyejukkan hati ini, senyum yang dulu selalu ia berikan dengan ketulusan, tapi, kini Mas Arkan sudah berubah drastis, ia berbeda dengan Mas Arkan yang aku kenal dulu.Kania mengusap punggung tanganku agar aku tak terbawa emosi, "Sabar, Tan" lirih Kania menatap mataku dan mengangguk."Gak! Bisa Kan." Ku genggam tangan Kania seraya menunduk. Hati ini sudah terlanjur sakit dengan cara Mas Arkan, aku menegakkan tubuh sekuat tenaga, menatap ia yang berjalan ke arahku."Mas, pergi kamu dari sini! Aku gak mau lihat pria pecundang seperti kamu!" teriakku seraya menahan amarah diiringi isak tangis."Maafkan, Mas ya, Mas sudah menyakitimu." Mas Arkan duduk di tepi ra