Habis Maghrib Samudra telah rapi berpakaian, kemeja warna blue sky dan celana jeans hitam membalut tubuh proporsionalnya. Wangi parfum dan jam tangan melengkapi penampilannya malam itu.Beberapa saat ia mematung di depan cermin lemari. Menatap sendiri tubuhnya yang telah rapi dan siap untuk pergi. Dadanya berdebar-debar. Ini kali pertama ia akan melewati akhir pekan untuk bertamu di rumah seorang gadis. Semenjak ia mencintai Delia begitu dalam, tak pernah ia melirik wanita lain. Hingga kenyataan tentang hubungan darah itu terungkap, tapi Samudra masih butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa semuanya bukanlah mimpi. Kemudian menyadari bahwa ia harus membuka hati.Samudra menarik napas dalam-dalam, kemudian meninggalkan kamarnya. Melaju di tengah gerimis yang mengguyur kota. Dua hari ini dia telah merencanakan semuanya setelah tahu banyak siapa gadis itu melalui seorang rekannya. Mobil Barra berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua di komplek perumahan elite. Pagar bercat hitam ti
Samudra memperhatikan sang adik yang sedang mengelap netranya menggunakan tisu. Dadanya berdenyut melihat air mata Delia. Air mata yang mewarnai hari-hari wanita itu beberapa bulan yang lalu.Barra merangkul istrinya. Baginya sang istri hanya terharu dan bahagia. Ia yakin Delia tidak tahu perasaan Samudra terhadapnya.Sebentar kemudian senyum terbit di bibir perempuan yang tengah hamil itu. Delia bangkit kemudian duduk di sebelah Samudra dan memeluk pundak sang kakak. "Alhamdulillah, akhirnya aku akan punya kakak ipar," ujarnya pelan sambil tersenyum.Tangan Samudra mengusap lengan adiknya sambil menatap lekat wajah Delia. Kebahagiaan Pak Irawan terselip rasa getir dalam dadanya, karena beliau memahami perasaan putranya. Andai saja sejak dulu ia memberitahu hal yang sebenarnya, tentu Samudra tidak akan sampai mencintai adiknya sendiri. Pria itu merasa sangat bersalah.Meski Delia ikut bahagia karena sang kakak akhirnya mendapatkan tambatan hati, tapi ada satu rasa yang terkurung di da
Di balkon ruang tamu lantai dua, Samudra menatap malam yang kian pekat. Terbayang wajah sendu Delia yang menatapnya dengan lekat. Sang adik menunjukkan keharuan dan kebahagiaannya saat mendengar kabar kalau dirinya hendak meminang seorang gadis. Kebahagiaan seorang adik untuk kakaknya, hanya itu yang Samudra rasakan. Minggu depan dia akan mengawali sebuah hubungan baru. Diva akan mengisi ruang hatinya yang selama ini dipenuhi cintanya pada Delia. Dia akan menikah dan menua bersama-sama dengan gadis itu yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya.Nanti dirinya akan bersama-sama di pelaminan dengan Delia. Tapi bukan sebagai pasangan seperti yang pernah diimpikannya dulu. Mereka akan berdiri di sana dengan pasangan masing-masing.Semoga saja Barra bisa menjadi suami yang baik, setia, dan bertanggungjawab pada adiknya. Menjadi ayah yang hebat untuk anak-anak mereka nanti."Sam, kamu belum tidur?" tanya Pak Irawan yang tiba-tiba muncul dan berdiri di sebelahnya."Belum, Pa.""Kenapa? Mau lam
Delia memperhatikan buket bunga di tangannya, kemudian senyum terbit di bibirnya yang sensual. Nama Barra tertera di kartu kecil yang ada di antara rangkaian bunga. Ada selarik kalimat manis tertulis di situ. [Good morning, my wife. Beautiful flowers for your beautiful day. From your husband. Barra.]Berarti tadi hanya pura-pura saja saat Barra bertanya tentang buket bunga. Padahal dari dirinya sendiri.Wanita itu mengalihkan perhatian saat ponsel di atas meja berdering. "Halo, Mas.""Sudah tau siapa pengirim bunganya?""Yeay, Mas bisa aja. Tadi sok curiga pula siapa yang ngirim bunga."Terdengar suara Barra yang tengah tertawa. "Aku sengaja bikin surprise untukmu. Gimana, suka?""Suka, thanks, Mas. Bentar lagi aku meeting ini. Mas, jadi meeting juga, kan?""Masih jam sepuluh nanti.""Ya udah. Aku siap-siap dulu.""Oke, Sayang."Hups. Delia jadi kaget mendengar Barra menyebutnya 'sayang'. Kata yang baru pertama kali ia dengar dari mulut suaminya. Wanita itu menyimpan ponselnya di da
Gadis umur tiga puluh tahun itu melangkah masuk dan berdiri di sebuah foto berukuran besar yang tergantung rendah di tembok ruang tamu lantai dua. Foto papanya dan foto keluarga mereka waktu itu. "Akhirnya aku akan menikah, Pa. Restui aku," ucapnya mengusap foto sang papa sambil berderai air mata. Lantas mengambil foto itu, duduk di kursi dan menatap gambar lelaki tampan yang mengukir jiwa raganya."Dokter Samudra adalah pria yang baik, Pa. Walaupun aku baru mengenalnya. Dia pria terbaik di antara sekian laki-laki yang mendekatiku. Dia juga yang bisa membuatku lupa pada Bre. Ah, papa nggak kenal Bre, tapi Mama El mengenalnya. Cowok yang membuatku jatuh cinta pertama kali." Diva terus bicara dengan potret sang papa. Mengurai rindu yang kerap menyesakkan dadanya.Dari ujung tangga seorang wanita setengah baya menyaksikan itu semua. Meski pantas dipanggil ibu, tapi Diva sudah terbiasa memanggil Mbak pada Mbak Erna. Wanita itu pun terharu. Dialah saksi perjalanan hidup Diva semenjak gadis
Barra tampak lebih santai meski mendengar nama itu disebut. Dia lebih fokus pada perbincangan dua keluarga. Samudra duduk tenang, Diva juga sumringah. Jauh berbeda dengan situasi saat ia bertunangan dengan Delia waktu itu. Pertunangan yang sekaligus menjadi hari pernikahannya.Semua serba terpaksa sehingga tidak ada wajah ceria baik dari dirinya maupun Delia. Yang ada hanya kemuraman dan wajah putus asanya Delia. Malam pernikahan yang seharusnya menggebu ternyata kelabu. Hingga mereka melalui malam pertama yang tak biasa. Itu pun mereka lakukan setelah pernikahan memasuki usia empat bulan.Namun ia bangga, kenangannya tidak menyamai lazimnya pernikahan pada umumnya. Suatu saat nanti akan menjadi cerita indah, yang bisa dikenangnya bersama Delia waktu keduanya telah menikmati hari tua.Beberapa menit kemudian, sebuah mobil memasuki halaman. Lima orang turun dari kendaraan. "Assalamu'alaikum," ucap seorang wanita memakai seragam seperti keluarga Rey yang lain. "Wa'alaikumsalam." Semua
Melihat Delia makan dengan lahapnya, membuat Barra lega. Sebab waktu sang adik hamil dulu mesti bedrest total dan sempat opname beberapa kali karena susah makan. Satu hal yang mengkhawatirkan Barra, Delia ini terlalu lincah jika bergerak. Berjalan pun tidak bisa pelan, minum vitamin juga harus selalu diingatkan."Kamu capek, nggak?" tanya Barra."Kenapa?""Aku ingin mengajakmu sebentar saja.""Ke mana?""Ke suatu tempat. Nggak akan lama kok. Setelah itu kita langsung pulang dan kamu bisa istirahat.""Ya, nggak apa-apa."Selesai makan Barra mengajak Delia mampir di sebuah yayasan yang khusus menampung anak-anak yatim pintu dan anak terlantar. Atau bayi yang dititipkan oleh orang tuanya dengan alasan tak sanggup lagi membiayai karena sudah terlalu banyak beban. Baru saja turun dari mobil, mereka mendengar keriuhan suara anak-anak yang bermain dan menangis. Kehadiran Barra di sambut seorang wanita setengah baya yang tersenyum sambil menyalaminya. "Apa kabar, Mas Barra?""Baik, Bu. Oh y
Dokter Yunita tersenyum. "Wow, destinasi impian itu. Saya rasa nggak masalah. Kondisi kehamilan Mbak Delia sehat. Mbak Delia juga dalam keadaan prima. Why not?" kata sang dokter sambil terus melanjutkan pemeriksaan. Melakukan USG dan melanjutkan dengan pemeriksaan leopold. "Kehamilannya sangat baik. Berat bayi juga sesuai umur. Ketuban nggak ada masalah. Kalian mau tahu jenis kelaminnya sekarang apa nanti?""Memangnya sudah kelihatan, Dok?" Tanya Delia."Sudah."Delia dan Barra menatap layar USG. "Laki-laki apa perempuan, Dok?" Barra yang bertanya, tak sabar."Jagoan, Mas Barra."Pria itu tersenyum sambil menatap istrinya. Pasti papanya sangat bahagia jika dikasih tahu. Lelaki terkadang seegois itu. Harus ada keturunan laki-laki yang akan melanjutkan trah keturunan mereka.Barra membantu istrinya untuk turun dari ranjang setelah selesai pemeriksaan. Mereka duduk berhadapan dengan dokter Yunita."Pada kehamilan trimester kedua biasanya memang dimanfaatkan oleh ibu hamil untuk liburan.