“Nggak ah, ngapain aku pergi ke sana. Mendingan sih buat tidur aja.”
“Payah! Diajak senang-senang malah nggak mau.”
“Biarlah, aku takut dosa! Dah ya, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang saja. Hahaha.” Nara pergi mencari motornya.
“Hah! Payah! Nggak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Hmm, apa aku ajak Henri saja ya?”
Aku duduk di atas motor untuk sejenak memikirkan hal yang tidak teramat penting. Di dalam kepalaku hanya memikirkan kesenangan saja. Padahal usiaku akan menginjak 25 tahun. Ya, begitulah jika masa laluku dalam pantauan orang tua yang begitu ketat. Merasakan kebebasan dan kesenangan saat usia semakin bertambah dewasa.
“Coba telepon Henri saja deh. Awas saja kalau dia menolak ajakanku. Aku seret agar dia mau!” Aku menggambil ponsel dan mencari namanya untuk meneleponnya.
“Hen! Malam ini ke klub malam yuk.” Tanpa panjang lebar, aku langsung mengutarakan maksudku.
“Ngapain telepon aku lagi, hah? Sudah menodai pacarku, sekarang tanpa dosa kamu mengajakku pergi ke klub malam? Apa kamu nggak malu, hah?”
‘Songong banget nih orang, minta dilibas kali ya!’ Aku hanya membatin saja di dalam hati. Sebisa mungkin menahan emosi untuk membujuknya terlebih dulu. Jika dia tetap saja tidak mau pergi bersamaku, aku tetap akan datang ke indekosnya dan memaksa untuk menemaniku ikut ke klub malam.
“Iya, iya … aku minta maaf. Aku ‘kan sudah ngomong kalau pacarmu itu yang datang sendiri ke kosanku.”
“Kenapa kamu layani dia, hah? Kamu tau dia pacarku ‘kan?”
“Aku nggak bisa melihat wanita bersedih, Hen. Ya sudah sih, dia ‘kan nggak kenapa-kenapa. Sudahlah lupakan saja. Kita cari yang lebih hot di klub malam nanti. Mau ya?”
“Laki-laki br*ngs*k! Kamu mau mempermainkan pacarku, hah?”
Henri masih saja memancing emosi padahal aku sudah mencoba untuk sangat bersabar meladeni ucapannya.
“Halah … wanita lain masih banyak, Hen. Kalau sudah bobrok ya bobrok aja. Kamu tinggal cari yang masih gadis apa susahnya? Sudahlah jangan dibahas lagi. Ayo kita bersenang-senang.”
“Sialan emang kamu, Dan. Bisa-bisanya ngomong segampang itu. Dia pacarku, Dan. Br*ngs*k!”
“Sekarang aku tanya, kamu mau pergi ke klub malam atau nggak? Kalau masih nggak mau, aku akan datang ke kosanmu dan menyeretmu agar mau ikut denganku. Mau yang mana? Datang sendiri dengan senang hati atau aku harus menyeretmu! Aku sudah terlalu sabar menanggapi ucapanmu, Hen. Cewek banyak! Dan aku nggak pernah menggoda pacarmu. Dia yang datang sendiri kepadaku. Paham! Awas saja kalau masih menolak, kamu bakalan habis, Hen!”
Ya, akhirnya aku menggunakan jurus terakhir. Memaksanya untuk mau menuruti apa kataku. Jika tidak, siap-siap saja akan babak belur.
“Br*ngs*k! Jemput aku di kosan. Aku nggak bawa motor. Aku bonceng kamu saja.”
Akhirnya, mulutnya diam juga. Dia mau ikut denganku asalkan aku menjemputnya. Baiklah. Aku sudah punya teman untuk bersenang-senang.
“Nah, gitu ‘kan enak. Jangan bahas Amel lagi. Aku muak. Gara-gara dia kita harus berantem kayak anak kecil. Iya, aku janji nggak bakalan berhubungan sama pacarmu lagi. Pegang saja janjiku itu, Hen.”
“Iya, Dan. Itu lebih baik.”
“Ya sudah, aku otw ke kosanmu.”
Aku mematikan telepon dan bergegas pergi menjemputnya. Sebelum pergi, aku harus berpenampilan menarik. Aku mengenakan kaos putih dan jaket berbahan kulit warna hitam, serta celana jeans berwarna hitam juga. Para wanita tidak akan berkedip saat melihatku yang sangat tampan seperti ini.
“Sebenarnya aku ingin ketampanan ini hanya untuk Faniza saja. Tapi berhubung dia menyuruhku untuk bersenang-senang, ya sudah, wanita lain boleh menikmati juga.”
Di depan cermin aku bergumam seraya memuji diri sendiri. Wajah dan segala yang aku punya adalah kesempurnaan yang Tuhan anugerahkan kepadaku.
***
Tin! Tin!
Aku mengelakson beberapa kali di depan indekosnya Henri. Aku malas turun dari motor dan menjemputnya seperti bayi. Biar saja berisik, enak saja aku harus menjemputnya sampai di depan pintu. Memangnya dia putri kerajaan?
“Woy! Berisik!” Henri keluar kamar dengan berteriak memprotes kelakuanku.
“Mangkanya, buru!” Aku menjawab sama lantangnya.
“Iya, ini mau ke situ. Nggak usah diklakson lagi!”
Aku menuruti ucapannya. Sekarang aku diam dan melihat Henri memakai sepatu. Sebenarnya dia tidak terlalu jelek, hanya kurang tinggi saja dan badannya tidak berisi. Apalagi jika berjalan denganku, dia semakin terlihat kurang menarik.
“Sudah, Hen! Jangan lama-lama. Nggak bakal ada yang berubah sama penampilanmu, Hen. Pasti gitu-gitu aja. Mau pakai sepatu atau pakai sandal juga. Hahaha.”
“Br*ngs*k!” ketusnya. Aku mau berbicara apa saja, dia tetap tidak akan berani untuk melawanku.
Tawaku pecah melihat wajah suramnya. Sepertinya dia ingin sekali memberi pelajaran padaku, tetapi nyalinya terlalu ciut untuk beradu otot denganku. Ya, aku yang berpawakan tinggi besar membuatnya mundur sebelum berperang.
Henri menghampiriku dengan sangat terpaksa. Pacarnya sudah kunikmati, sekarang dia harus mau menemaniku pergi ke klub malam. Di dalam hatinya tentu sangat keberatan. Namun, apalah daya, nyalinya seperti kerupuk terkena air saat sudah bersamaku.
“Sudah siap, Hen? Ayo kita berangkat.”
“Ya!” Jawabannya masih saja ketus. Biarkan saja, yang penting sekarang ada teman untuk bersenang-senang.
Motor melaju cukup kencang. Bukan hanya aku saja yang terlihat keren, motor pun tidak kalah kerennya denganku. Jadi, semua penampilanku sangat mendukung. Motor gede dan wajahku yang tampan, membuat para wanita tidak berdaya saat melihat pesonaku.
***
“Hay, Dan,” sapa seorang wanita.
Aku sudah berada di klub malam. Saat ini aku sedang duduk di bar menunggu minuman diracik. Sedangkan Henri sudah tidak terlihat lagi. Bukannya duduk denganku di sini, justru dia sudah menghilang entah ke mana. Ya sudahlah, yang penting ada teman pergi ke tempat ini.
“Oh, hay.” Aku menjawab sapaannya. Jujur saja, aku lupa dengan namanya.
Wanita itu tersenyum dan perlahan mendekatiku dengan gaya yang menggoda. Tubuhnya berbalut dengan mini dress berwarna merah maroon yang melekat sangat ketat memperlihatkan lekukan penuh sensasi. Bagian dada pun sengaja diperlihatkan keindahannya. Wajar sih, namanya juga di klub malam. Pakaian pasti bebas seperti orang yang ada di dalam tempat ini. Ingin bebas tidak terikat dengan peraturan mana pun, apalagi tentang agama. Aku yakin, mereka melupakannya.
“Dan, apa boleh malam ini aku bersamamu?”
Dia sudah berada di sampingku dan membelai rambutku dengan mesra. Apa kataku. Mulut ini tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang rayuan, mereka sendiri yang tiba-tiba datang menawarkan diri. Aku ini bagaikan berlian yang sangat berkilau dan banyak diinginkan oleh wanita. Tetapi, Faniza tetap saja menolak permintaanku untuk menikahinya. Sebenarnya dia yang rugi, namun hatiku sudah terpatri untuknya. Hah … rumit sekali.
“Ya? Apa?” Aku berpura-pura tidak mendengar ucapannya. Tentu dengan bibir yang tersenyum agar dia semakin meleleh oleh ketampananku.
“Aku menginginkan belaianmu, Dan. Apa boleh aku menemanimu malam ini?” bisiknya penuh erotis. Dia sengaja mendekatkan tubuhnya ke badanku.
“Oh iya, dengan senang hati, Sayang.” Tanganku merangkul pinggangnya dan bergegas bangkit dari tempat duduk.
“Terima kasih, Dan. Kamu selalu menuruti keinginanku.” Sikapnya semakin agresif. Apa aku semenarik itu sampai-sampai dia bertingkah seperti ini padahal aku belum beraksi.
“Iya, nggak masalah. Asal kamu bahagia, Sayang.” Barulah, mulut ini melancarkan rayuan agar libidonya semakin terpancing. “Minumannya buat nanti saja, Bro. Aku mau bersenang-senang dulu!” Aku berbicara pada bartender saat dia menyajikan pesananku.
Aku dan wanita itu pergi untuk memesan kamar. Di sana kami akan bersenang-senang melepas rasa gundahku karena ditinggal oleh Faniza yang sedang melakukan pekerjaan sampingannya.
Kami memasuki kamar yang sudah aku pesan. Sikapnya semakin tidak terkontrol. Sebagai laki-laki normal, aku pun semakin ingin merasakan kenikmatan yang lebih bersamanya.Lampu di dalam kamar sengaja tidak dimatikan. Itu bertujuan agar aku melihat pemandangan yang indah dari tubuhnya. Sensasi itu membuatku semakin bersamangat untuk berpeluh bersama. Dan juga, aku menyuruhnya untuk bersuara agar semakin merasakan kenikmatan itu. Semua yang ada di sini memang bebas sesuai keingian. Jadi, mau malakukan apa pun itu tetap sah-sah saja. Kecuali jika ada razia, tempat ini akan tutup sementara waktu dan akan kembali beroperasi jika dirasa sudah aman.“Dan, aku sangat menikmati ini semua. Aku puas, Dan.”Dia mengecupku beberapa kali dan kami sama-sama kele
“Dan, kayaknya ada yang aneh deh. Kenapa aku belum datang bulan ya? Padahal biasanya dapat tanggal sepuluhan, ini sudah akhir bulan. Ck! Atau jangan-jangan, aku hamil? Ahh! Masa iya? Aku ‘kan selalu pakai pengaman.” Faniza duduk di sebelahku dengan wajah yang bingung.Di dalam hatiku seperti ada semilir angin yang berembus. Rasanya sangat bahagia seperti mendapat undian berhadiah dengan nominal yang cukup besar. Apa yang aku tunggu dan harapkan, akhirnya terjadi juga. Mungkin karena hamil Faniza jadi telat datang bulan.“Wah! Iya tuh. Kayaknya kamu kebobolan, Ay. Terus gimana? Apa kamu mau tetap bekerja sampingan?” Bukannya ikut merasakan kekecewaan dan kesedihannya, aku justru sangat berantusias dengan wajah yang berbinar penuh harap.
“Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, ya, selamat. Kalian akan segera menjadi orang tua. Mbak Faniza sedang mengandung seorang anak. Usia kandungannya diperkirakan memasuki umur delapan minggu. Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk kalian.”Perkataan yang dilontarkan oleh seorang dokter kandungan tersebut membuatku sangat bahagia. Tanpa sadar, bibirku mengembang. Namun, saat melihat ke arah Faniza, ia terlihat sangat terpukul. Tidak ada seutas senyum pun yang terukir di bibirnya. Perlahan senyumku ikut memudar.“Oh iya, Bu. Terima kasih atas informasi yang sangat membahagiakan ini. Kami pamit untuk segera pulang ke rumah.”Karena Faniza hanya bergeming tanpa ada tanggapan sedikit pun, akhirnya aku memutuskan untuk segera me
“Ay, ceritakan semuanya kepadaku. Aku nggak mau kalau kamu memendamnya sendirian. Ada aku yang selalu mencintaimu. Aku yang selalu ada untukmu, Ay. Jangan sembunyikan semua beban di pundakmu. Ceritakan semuanya padaku, Ay. Tentang kehamilanmu, aku minta maaf karena telah melakukannya dengan cara yang curang. Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu secepatnya.”Kedua tangannya kugenggam erat. Dia sudah mulai tenang dan tidak lagi memberontak. Matanya terlihat sembap. Sejak tadi air matanya tidak mau berhenti.“Iya, Dan. Dari dulu sebenarnya aku ingin bercerita sama kamu. Tapi, aku berpikir kamu itu terlalu baik padaku. Aku nggak mau merepotkanmu terus, Dan. Nanti kalau kamu tau masalahku, pasti kamu nggak ragu untuk membantuku. Aku nggak enak, Dan. Lebih baik kusembunyikan dan mencari solusi sendiri saja
“Ay, apa kamar ibu mertua masih jauh?” tanyaku.Aku berjalan menggandeng tangan Faniza dan mengikuti langkahnya yang membimbingku pergi ke ruangan tempat ibunya dirawat. Aku rasa sejak masuk ke rumah sakit jiwa ini, kami berjalan cukup jauh ke tempat tersebut.Beberapa bangsal kami lalui. Namun, langkah Faniza belum juga terhenti.“Kok aku aneh ya, mendengar panggilan itu.”Bukannya menjawab pertanyaanku, Faniza justru membahas tentang panggilan baruku untuk ibunya. Dia tetap berjalan menyusuri bangsal tanpa melihat ke arahku. Namun, aku melihat bibirnya mengembang.“Lho, iya ‘kan? Ibumu sebentar lagi akan jadi mertuaku? Nggak ada yang aneh dong, Ay?&
“Wah, Ay. Gambarnya bagus banget. Hmmm, tampan banget ini. Iya sih, kayak aku. Hehehe.”Aku menemukan gambar seorang laki-laki pada lembaran ketiga. Tidak kusangka ternyata ibunya Faniza pandai menggambar. Rasanya familiar saat melihat goresan pensil di atas kertas itu. Ya, seperti melihat diriku sendiri. Atau malah lebih mirip ke wajah ayahku. Kata banyak orang, aku memang sangat mirip dengannya. Orang tampan sepertiku dan ayahku mungkin banyak ditemukan, jadi wajar jika ibunya Faniza berimajinasi seperti ini.“Ngomong aja kalau mau puji diri sendiri, Dan,” sanggah Faniza sambil tersenyum.“Aku selalu ingat dengan wajahmu, Mas. Kamu itu sangat tampan. Aku nggak bisa melupakanmu sampai kapan pun, Mas. Dan sekarang, kamu mau men
“Bu, kami pulang dulu ya? Ibu harus sehat terus di sini ya?”Faniza sudah kembali ke ruangan ini bersama perawat yang sedang bertugas. Aku tak mengira, ternyata calon ibu mertua mau melepaskan pelukannya begitu saja. Dia tidak histeris seperti awal tadi. Apa dia mendengarkan semua yang aku ucapkan? Padahal aku kira dia tidak bisa mencerna ucapanku dengan baik. Atau mungkin karena dia mengira aku adalah suaminya, jadi bisa dengan mudah memahami perkataanku. Mungkin saja begitu.“Kamu sama ayahmu ‘kan? Kamu harus bahagia sama dia. Mas Lutfan orangnya baik banget.”“Iya Ibu. Aku akan bersamanya. Ibu di sini harus bahagia ya? Biar bisa sembuh dan kembali pulang bersamaku.”
“Ibuku, Ay. Kebetulan banget. Sekalian bisa ngomong kalau besok kita mau pulang.”“Dear, apa kamu yakin, ibumu dan semua keluargamu mau menerimaku?”Jemariku yang akan mengusap layar ponsel menjadi terhenti saat mendengar ucapannya itu. Padahal aku kira permasalahan itu sudah tidak mengganggu pikirannya. Aku akan bertanggung jawab dengan semua yang akan terjadi nanti.“Ay, kamu nggak usah mengkhawatirkan tentang hal itu. Biar aku yang nanti akan mengurusnya. Sebentar ya, aku jawab telepon ibu dulu.”Faniza hanya menggangguk. Dari guratan di wajahnya aku menangkap ada perasaan khawatir yang tengah menghantuinya. Aku sudah sangat berusaha untuk meyakinkannya