“Ibuku, Ay. Kebetulan banget. Sekalian bisa ngomong kalau besok kita mau pulang.”
“Dear, apa kamu yakin, ibumu dan semua keluargamu mau menerimaku?”
Jemariku yang akan mengusap layar ponsel menjadi terhenti saat mendengar ucapannya itu. Padahal aku kira permasalahan itu sudah tidak mengganggu pikirannya. Aku akan bertanggung jawab dengan semua yang akan terjadi nanti.
“Ay, kamu nggak usah mengkhawatirkan tentang hal itu. Biar aku yang nanti akan mengurusnya. Sebentar ya, aku jawab telepon ibu dulu.”
Faniza hanya menggangguk. Dari guratan di wajahnya aku menangkap ada perasaan khawatir yang tengah menghantuinya. Aku sudah sangat berusaha untuk meyakinkannya
“Ay, kamu kok jadi marah sih? Aku salah ngomong ya, Ay? Aku nggak bermaksud ngomong kayak gitu, Ay. Aku minta maaf kalau memang ucapanku menyakiti hatimu, Ay.”Aku mencoba menggapai tangannya untuk kedua kali. Kini dia tak menepisku lagi. Namun, wajahnya terlihat menahan amarah.“Kalau seandainya kamu nggak bisa menerima keadaanku yang seperti ini, kenapa kamu sengaja membuatku hamil, Dan? Ya sudah berikan fotoku apa adanya saja. Biar ibumu tau, aku ini wanita j*l*ng, Dan. Aku malas kalau harus berpura-pura baik kayak gitu. Aku nggak suka, Dan!”“Ya, ya. Aku salah. Aku minta maaf sama kamu. Aku benar-benar mencintaimu, Ay. Aku memintamu seperti itu hanya untuk menyenangkan ibuku saja kok. Mau bagaimanapun nanti tanggapan ibu setelah bertemu denganmu, aku tetap cinta sama kamu, Ay. Nggak pantas saja kalau seandainya aku mengirimkan fotomu pakai lingerie, Ay.”
“Aku sudah ngomong sama kamu kan, Ay. Soal itu jangan dipikirkan lagi. Biar aku saja yang akan bertanggung jawab. Ayo kita tidur saja. Apa kamu mau itu?”Aku menariknya dan membuatnya tidur dalam pelukanku. Masalah yang belum terjadi jangan dipikirkan terlebih dulu. Ya, meski aku tahu nantinya pasti akan ada amarah dari kedua orang tuaku. Jika sudah saatnya nanti, pasti ada solusi terbaik yang bisa diambil.“Nggak, Dear. Aku capek. Maaf ya?” ucapnya seraya menggelangkan kepala.“Iya, nggak apa-apa. Aku cuma iseng kok. Lebih baik kita tidur sekarang saja, Ay. Kita butuh istirahat yang cukup, perjalanannya lumayan jauh. Kamu jangan mikir kayak gitu lagi ya? Kasihan lho dedeknya kalau ibunya sedih terus.”“He-um. Apa kamu sudah siap jadi ayah, Dear?”Dia memegang hidungku yang mancung dan memainkannya.&nbs
“Assalamu’alaikum!”Tepat di depan pintu, aku mengucapkan salam. Biasanya langkahku langsung masuk begitu saja. Tetapi, karena sekarang aku membawa seseorang, tentu ingin rasanya memberikan kejutan kepada orang yang ada di dalam rumah.“Wa’alaikumsalam.” Seseorang menjawab salamku. Suara itu milik ibu. Tak sabar ingin segera melihat ekspresi yang nanti dia tunjukan saat melihat kehadiranku.Pintu terbuka semakin lebar. Di sana berdiri seorang wanita paruh baya memakai gamis berhijab sangat anggun. Ya, dia ibuku. Untuk sesat dia bergeming, lalu senyumnya mengembang dengan netra yang mulai mengembun.“Ibu,” sapaku sambil meraih tangan kanannya dan menciumnya.“Zidan, akhirnya kamu pulang juga, Nak. Ibu pikir, kamu sudah nggak mau pulang lagi ke rumah.”“Aku pasti pulang, Bu. Tapi, nunggu waktu yang tepat.” Kuseka air matanya yang mulai t
“Kamu kenapa, Ay?” tanyaku ikut gelisah.Faniza semakin erat meremas pahaku. Raut wajahnya semakin tak berdaya. Tangan yang satunya membungkam mulutnya seperti menahan sesuatu.“Faniza kenapa, Dan? Dia sakit?” Ibu ikut khawatir.“Kamar mandi?”Aku berusaha memancing pertanyaan agar situasi ini menjadi sedikit lebih jelas. Faniza tidak mengucapkan sepatah kata pun dan membuatku menjadi kebingungan.Tanpa diduga, kepalanya mengangguk. Itu artinya pertanyaanku tadi adalah jawaban yang Faniza inginkan.“Ya sudah, ayo cepat!”Seketika aku meraih tubuhnya dan menuntunnya pergi ke kamar mandi. Mulutnya tetap dibungkam rapat oleh tangannya.“Hoek! Hoek!”Beberapa kali aku m
POV Ibu***Kaki ini diayun bergantian menuju ke kamar Faniza. Tanganku membawa minyak angin untuk membaluri badan calon menantuku itu.“Kasihan Faniza, pasti dia kecapekan dan masuk angin sampai muntah-muntah begitu. Alhamdulillah dia belum sempat meminum es tehnya. Nanti kalau minum es, masuk anginnya jadi makin parah.”Aku bergumam. Bibirku mendadak tersenyum mengingat kembali tentang Zidan, mungkin tidak lama lagi ia akan menikahi wanita yang sedang beristirahat di kamar tamu. Tidak menyangka, akan secepat ini waktu berlalu. Dalam pikiranku masih teringat tentang masa kecilnya yang begitu bahagia. Sebentar lagi ia akan membahagiakan anak gadis orang untuk selamanya. Bahagia d
Setelah selesai mandi, aku bergegas pergi ke ruang tengah. Di sana sudah ada ayah yang menunggu. Mendadak jantungku berdebar semakin hebat. Tidak lama lagi, apa yang masih tersembunyi rapat akan terbuka dengan sangat lebar.Langkah kaki kian dekat menghampiri ayah dan ibu di sana. Meski rasanya sangat tak menentu, bibir tetap harus terukir sebuah senyuman yang sangat manis.“Ayah,” sapaku di hadapannya. Tangan mengulur kepadanya meminta untuk bersalaman.“Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang juga, Dan. Kata ibumu, kamu pulang karena mau menikahi seorang gadis yang sengaja dibawa ke sini. Anak Ayah memang sudah dewasa sekarang ya? Pulang mau mengenalkan calon istri. Kalau nggak begitu, pasti nggak bakalan pulang ‘kan, Dan?”
“Iya, terima kasih banget, Om—““Hus! Ayah, jangan om. Nggak enak didengarnya.” Ayah memotong ucapan Faniza. Kemudian, bibirnya pun mengembang.“Iya, Yah. Terima kasih. Pasti aku akan selalu mendokan kedua orang tuaku.” Faniza pun ikut tersenyum.Suasana seperti ini yang sangat kudambakan. Jika nanti kebohongan kami terbongkar, mereka pasti akan sangat murka. Semoga aku bisa menutupinya lebih lama lagi.“Ibu lupa, nggak tanya nama orang tuamu. Mereka namanya siapa?”Aku melihat Faniza untuk memastikan apakah dia siap untuk menjawab semua pertanyaan itu. Sepertinya dia baik-baik saja. Bibirnya pun masih dihiasi oleh senyuman cantiknya.“Kebetulan ayahku namanya sama kayak ayahnya Zidan.”“Wah, masa sih? Nama Aya
“Nggak, Bu! Aku akan tetap menikahi Faniza, Bu. Ibu jangan aneh-aneh. Mana mungkin ayah adalah ayahnya Faniza. Nggak masuk akal, Bu. Apa ayah pernah menikah sama ibunya Faniza? Kenapa aku bisa bersaudara sama Faniza? Apa ayah pernah berzina? Nggak mungkin, Bu!”Aku menolaknya mentah-mentah. Emosiku tidak terkontrol lagi.“Ayahku sudah meninggal, Bu. Nggak mungkin kalau ayahnya Zidan adalah ayahku. Namanya sama, tapi aku yakin orangnya beda, Bu. Percuma juga kalau mau datang menemui ibuku. Zidan saja dianggap ayahku. Mungkin ayahnya Zidan juga akan dianggap sebagai suaminya. Ibuku itu gila, Bu. Penjelasannya nggak bisa dipegang. Nggak jelas, Bu.”Faniza mendukungku. Dia terlihat sangat terkejut dengan pernyataan yang ibu ucapkan.“Ibu mohon sama kalian, undur sementara waktu saja. Ibu hanya ingin memastikannya dulu. Ibu nggak mau terjadi