“Zidan, tunggu sebentar saja, apa kamu nggak bisa?” tanya ayah lagi.
“Nggak, Yah. Faniza nggak butuh tes DNA. Dia darah daging orang lain, bukan anak Ayah.”
Sudah pasti aku tidak akan menyetujuinya begitu saja. Alasan yang mereka berikan tidak cukup bagiku. Seharusnya jelaskan semuanya. Tidak ada rahasia yang ditutupi lagi.
“Zidan!” bentak ayah.
“Yah, sudah. Biarkan mereka menikah.” Mendadak ibu menyetujuinya. Meski raut wajahnya terlihat layu.
“Bu, kenapa kamu merestui? Kalau mereka—“
“Biarkan saja dulu, Yah. Ada saatnya nanti. Kita turuti dulu permintaan Zidan.” Ibu memotong ucapan ayah yang belum tuntas.
Mendengarnya, aku pun bahagia. Namun, aku tidak memahami kalimat ibu. Ada saatnya nanti, apa maksudnya?
“Kamu yakin, Bu?” tanya ayah masih tak percaya.
Ibu mengangguk. Ayah ikut pasrah. Begitulah, apa pun permintaan ibu, ayah jar
“Maafkan Ibu, Wa. Gara-gara tindakan Ibu yang bukan-bukan malah jadi rumit seperti ini.”Nenek menjawab pertanyaan ibu. Aku belum bisa menerka percakapan ini. Sebenarnya apa yang sedang mereka bahas?“Salwa kira semuanya sudah baik-baik saja, Bu. Sudah lama juga, kita nggak pernah berurusan lagi sama mereka. Seharusnya nggak ada masalah lagi, tapi malah Zidan membawa wanita yang mungkin ada hubungannya dengan masa lalu itu. Aku heran, kenapa bisa seperti ini ya, Bu?”Secercah petunjuk mulai tersingkap. Jadi, mereka sedang membahas tentang aku dan Faniza. Tetapi, apa yang dimaksud tentang tindakan yang nenek lakukan di masa lalu? Aku semakin penasaran dan telinga harus lebih tajam mendengarkan percakapan mereka.“Iya, Ibu juga mengiranya seperti itu. Memang semuanya bermula dari Ibu. Ibu sangat menyesal.”
“Mi, dedek bayi lagi ngapain ya? Dia udah nendang-nendang lagi apa belum?”Aku mengelus perut Faniza yang semakin membuncit. Tidak terasa janin yang ia kandung sudah memasuki usia hampir sembilan bulan. Sebentar lagi, Zidan junior akan keluar dari persembunyiannya dan bersiap menatap dunia yang penuh tipu daya.Sampai detik ini, ayah dan ibu masih merestui kami meski sikapnya yang sangat berbeda. Kehangatan yang dulu kurasakan perlahan sirna. Mereka berbicara saat ada penting saja. Jika tidak, mulut mereka tidak berucap apa-apa.Faniza sempat ingin pergi dari sini. Namun, aku selalu menguatkannya. Ia pun kini sudah mulai mengerjakan shalat. Bukan karena aku yang menyuruh, tetapi kemuannya sendiri. Mungkin melihat kedua orang tuaku yang begitu rajin beribadah, hati kecilnya ikut terpanggil. Aku pun sama, diri ini mulai diperbaiki lagi. Semoga istiqamah sampai ajal menjemput nanti.Tentang rencana ibu dan nenek yang dulu mereka bicarakan, sampai
“Bu, Ibu lagi ngapain di kamarku?” tanyaku sambil mendekatinya.“Eh Zidan. Hmm, itu, Dan. Ibu memang mencari sesuatu,” jawab ibu ragu.“Ibu cari apa?” selidikku.“Minyak angin, Dan. Ibu cari di kamar Ibu malah nggak nemu. Jadi masuk ke kamarmu tanpa permisi begini. Maafkan Ibu, Dan.”“Oh, memangnya Ibu lagi nggak enak badan? Minyak anginnya sudah ketemu?”Tentu aku khawatir bila terjadi apa-apa kepadanya.“Nggak kenapa-kenapa sih, hanya untuk menghangatkan badan saja. Ya sudah, Dan. Ibu mau makan dulu.”Ibu berpamitan, tetapi aku tidak melihat tangannya membawa benda yang dimaksud.“Bu, Ibu nggak jadi bawa minyak anginnya?”“Oh iya, Dan
Tenggorokanku tetap kering karena suasana hati ini berubah. Niat awal ingin mengambil minum di dapur, justru mendengar percakapan ayah dan ibu seperti itu. Aku mengurungkannya, lebih baik menikmati rokok saja. Hanya semakin membuat penasaran dan rasa kecewa. Mungkin lebih baik, telingaku tak usah mendengar obrolan mereka sekalian.Jemariku mengurut lembut di pelipis. Di dalam kepala ini rasanya penuh dengan permasalahan dan tanda tanya. Aku tak habis pikir kenapa mereka masih curiga tentang ayahnya Faniza yang telah meninggal. Apakah lebih baik aku mengajak mereka menemui ibunya Faniza di rumah sakit jiwa untuk memastikan segalanya? Namun, apa keterangan orang dengan gangguan jiwa bisa dipercaya?Aku menghabiskan rokok dan membuangnya. Tidak ada solusi yang didapat, tetapi dengan merokok pikiran ini terasa lebih tenang. Kedua kakiku melangkah ke dalam rumah menuju ke kamar.“Mi, tadi aku mendengar percakapan ayah dan ibu di dapur. Kayaknya mereka sedang me
Dari luar ruang bersalin, aku mendengar suara bayi menangis dengan sangat nyaring. Hatiku terenyuh penuh haru. Dada yang tadinya terasa menghimpit, kini mulai lega kembali. Jantungku pun sudah berdetak normal tidak seperti sebelumnya. Tanpa sadar air mata haru sudah merembes membasahi pipi.Sekitar satu jam aku menunggu tangisan itu. Faniza harus melahirkan dengan cara operasi ceasar. Oleh dokter, aku tidak diperkenankan untuk menemaninya agar menjaga kesterilan ruang operasi. Dengan berat hati, aku hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Akhirnya, statusku kini sudah berubah menjadi ayah. Ibu yang berada di sampingku pun ikut saja menangis haru. Ayah juga ikut bersama kami.“Alhamdulillah, akhirnya Faniza sudah melahirkan anaknya, Yah,” kata ibu kepada ayah sambil menghapus air mata.“Iya, Bu, Alhamdulillah cucu kita sudah lahir.”“Tapi, Yah ….”“Sstt, sudah, Bu. Kita bicarakan nanti saja, menung
“Ayah sama Ibu mau bicara soal apa?” Aku bertanya membuka percakapan.Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Faniza pun ikut duduk di sampingku seraya menggendong Alicia.Ada jeda keheningan yang terjadi. Mereka saling berpandangan dan ada sedikit gerakan mengangguk dari keduanya. Ayah menghela napas sebelum lisannya berkata-kata.“Dan, kapan kalian akan mempertemukan kami dengan ibunya Faniza? Selama kalian menikah, Ayah sama Ibu belum pernah bertemu dengan besan kami itu. Bukankah kita lebih baik bertemu meski hanya sekali? Apa pun keadaannya, kita harus tetap saling bertatap muka dan bersilaturahmi.”Kini giliranku yang saling bertatap dengan Faniza. Memang benar, menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, keduanya seharusnya sudah saling bertemu dan menjalin silaturahmi yang baik. Keadaan keluarga Faniza memang berbeda. Dia hanya punya satu orang tua yang masih hidup di dunia. Ya meski keadaannya seperti itu, tetap saja kita
Perjalanan jauh telah dilewati. Kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat rumah sakit jiwa tempat mertuaku dirawat.Selama perjalanan, Alicia menjadi anak yang pintar. Dia menurut dan tidak rewel. Apa yang aku takutkan tidak terjadi dan Faniza tidak terlalu kelelahan. Aku sangat bersyukur. Saat di penginapan, kami tidur sejenak untuk mengistirahatkan badan dengan benar.“Capeknya sudah lumayan hilang ‘kan? Sudah makan dan membersihkan diri juga. Jadi, kita siap-siap pergi menemui ibunya Faniza sekarang. Jam besuknya sudah buka,” kata Ayah.Saat ini memang sudah hampir pukul sepuluh siang. Padahal niat dari rumah akan pergi membesuk saat masih pagi. Namun, menurut petugas yang ada di rumah sakit jiwa itu, waktu besuk mulai pada waktu siang dan sore hari. Jadi, mau tidak mau kami lebih lama berada di penginapan ini.“Baik, Yah.”
“Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama