Lalu lalang para siswa yang tengah beraktifitas terpatri jelas dinetra Kiara, gadis itu menatap kosong lapangan basket yang tidak berpenghuni. Jam istirahat yang biasanya ramai sorak gembira para pendukung tim basket kesayangan mereka kini tidak ada, mungkin para pemain sedang tidak bergairah untuk melakukan aktifitas seperti biasa.
Dari arah barat Sari menenteng beberapa makanan ringan dan juga air mineral, gadis itu terus melangkah menghampiri Kiara.
"Nih pesenan lo," di sodorkannya setengah bawaan Sari tadi.
"Makasih."
"Lagian lo ngapain si pakai acara mogok ke kantin?"
"Gue tu pengen nungguin Angkasa main basket."
"Hari ini libur," Sari memasukkan beberapa makanan ke mulutnya.
"Siapa yang libur?"
"Anak-anak basket pada libur main."
"Emangnya kenapa?"
"Nggak tau deh," Kiara mengamati sekeliling, ruang kelas Angkasa sudah terbuka sehingga para siswa disana sudah saling berhambur keluar sejak lima menit yang lalu.
"Dari pagi Angkasa nggak kelihatan ya?"
Kiara mengangguk menanggapi pertanyaan Sari, lengan mulusnya disenggol Sari untuk mulai memakan makanan yang tadi mereka beli.
"Eh ngomong-ngomong si Selly pasti takut kenapa nggak masuk hari ini."
"Sok tahu lo!"
"Seriusan Ra, gue jamin dia pasti ketakutan."
"Bisa jadi si."
Jam istirahat itu tidak terasa hampir berlalu, Kiara dan Sari rupanya masih enggan untuk bersiap masuk kedalam kelas.
"Omaigat, Kiara lihat!" jari telunjuk Sari mengarah kepada Angkasa yang tengah saling memukul bersama seorang pria, Kiara melongo bukan main.
Satu pukulan keras melayang dengan mudah dipipi kanan Angkasa, meski tidak sampai membuat laki-laki itu tumbang namun rasanya pasti sangat linu. Kiara sampai lupa rasanya bernafas begitu menyaksikan langsung kekasihnya sedang berkelahi. Walaupun letaknya lumayan jauh karena Angkasa dan pria itu yang berada diluar gerbang masuk.
KRING KRING
"Ayo Ra masuk! Udah bel tu," Sari mencoba menarik tangan Kiara yang masih mematung dan terus menatap ke arah gerbang.
"Enggak, gue harus nolongin Angkasa!"
"Jangan gila, lo lupa siapa jadwal kelas kita setelah ini?"
"Gue nggak peduli!"
"Ya udah kalau lo mau ngepel kantor guru sendirian, gue si ogah."
Sari berlalu meninggalkan Kiara sendiri, rupanya kalimat pengingat tentang guru killer yang mengajar hari ini membuat gadis itu bergidik ngeri. Sebelum meninggalkan tempat itu Kiara sempat melihat seorang yang baru saja berkelahi dengan Angkasa. Bentuk tubuh dan wajah pria itu seperti pernah dia temui.
"Itu kan Om yang kemarin."
Kiara terus menatap kesana hingga pria dewasa itu berhenti memukuli Angkasa dan masuk kedalam mobil.
"Kiara!" seruan salah satu gurunya kembali menyadarkan Kiara untuk segera masuk kedalam kelas.
"Iya Bu, ini saya mau masuk."
*****
Kebetulan guru yang bertugas diakhir pelajaran tidak hadir, seluruh kelas Kiara berhambur pulang begitu selesai mengerjakan tugas. Kiara kini berdiri didepan kelas Angkasa, memastikan keadaan laki-laki itu. Dia juga sempat tidak sengaja mendengar bahwa kekasihnya baru saja keluar dari ruang BK, sudah pasti itu karena kejadian tadi.
Karena lelah terus berdiri Kiara berjalan menuju parkiran, duduk diatas motor milik Angkasa. Ketimbang harus menerima kenyataan diacuhkan laki-laki itu ketika masih ada banyak siswa didepan kelas, memilih menunggu di parkiran adalah pilihan yang tepat.
--------
Dua puluh menit berlalu, Angkasa datang menuju ke parkiran. Bisa Kiara lihat masih ada sisa-sisa darah yang keluar dari sudut bibir kekasihnya.
"Angkasa, itu bibir kamu berdarah."
Gadis itu menyentuh bibir ranum angkasa, menyeka darah itu dengan tisu yang tadi dia ambil dari tasnya.
"Nanti juga ilang."
"Aku obatin ya?"
"Nggak usah."
Laki-laki itu memakai helm pada kepalanya, mengabaikan gadis yang begitu mengkhawatirkan keadaannya.
"Aku ikut!"
Angkasa menatap datar Kiara, "uang aku habis buat beli jajan tadi."
Entah mendapat keberanian darimana, hingga membuat gadis itu berani berbohong dan kekeuh untuk pulang bersama laki-laki itu. Angkasa tidak menjawab, dia hanya menyiapkan motornya. Menghidupkan mesin dan menunggu Kiara untuk naik tanpa memerintah.
Tentu hal itu membuat para siswa disana histeris, Angkasa tidak menanggapi sorakan para teman-temannya. Sedangkan Kiara bersemu menahan malu dan deguban jantung yang menggila karena pertama kalinya gadis itu membonceng Angkasa.
Perjalanan yang lumayan jauh itu tidak terasa membosankan bagi Kiara, dibalik punggung lebar Angkasa gadis itu tidak berhenti tersenyum. Hal langka dan indah itu akan dia bagi kepada Sari esok hari, walaupun sebenarnya Kiara begitu penasaran dengan kejadian tadi siang. Dan ingin tahu apa hubungan Angkasa dengan orang yang kemarin Kiara temui, namun dia lebih memilih bungkam ketimbang harus berjalan kaki karena diturunkan ditengah jalan oleh Angkasa, meskipun laki-laki itu tidak berarti akan berbuat hal setega itu. Tetapi bisa saja pemikiran Kiara benar menjadi nyata nanti.
Memasuki gang yang Kiara rasa tidak begitu jauh dari rumahnya sendiri, laki-laki itu tidak mengantar Kiara pulang melainkan menuju rumahnya sendiri. Mereka berhenti didepan rumah sederhana namun terawat, ada banyak tanaman sayur dipekarangan rumah itu. Hampir mirip dengan rumah Kiara.
Keduanya turun dari motor, Kiara menyusul Angkasa yang lebih dulu masuk kedalam.
"Nek?"
Angkasa memanggil seseorang hinga perempuan lanjut usia keluar dan langsung menghambur ke arah Angkasa.
"Astaga kamu kenapa?"
"Nggak papa kok Nek, bonyok sedikit."
Laki-laki itu melirik Kiara, gadis itu tersadar dan menyalami perempuan lanjut usia tadi.
"Ini siapa?" tubuh lemahnya mendekat kepada Kiara, memberi senyum hangat.
"Aku Kiara Nek," Kiara membalas senyum hangat orang tersebut, Angkasa masuk ke dalam dan duduk di ruang tamu.
"Masuk yuk!"
Ajakan dari perempuam tadi membuat Kiara ikut masuk dan duduk di sebelah Angkasa.
"Mau minum apa?"
"Nggak usah repot-repot Nek."
"Nggak repot kok, teh manis ya?"
"Boleh Nek."
Setelah nenek Angkasa berlalu, Kiara menatap laki-laki disebelahnya dengan khawatir.
"Itu harus diobatin biar nggak infeksi."
Angkasa tidak menanggapi, hanya menatap kosong meja di depannya.
"Nah ini teh buat kamu," menyodorkan satu gelas teh manis ke hadapan Kiara.
"Makasih Nek."
"Iya, sama tolong obatin lukanya Angkasa ya?"
"Iya Nek."
Dengan telaten Kiara mengobati luka Angkasa, laki-laki itu meringis merasakan perih begitu obat merah Kiara teteskan di bagian pipi dan bibirnya yang luka.
"Udah."
Gadis itu menata kembali obat-obat tadi dan membuang kapas bekas darah ke dalam tempat sampah.
"Aku sempat lihat kamu tadi, kenapa si sampai harus berantem kaya gitu?"
Angkasa tidak menanggapi pertanyaan Kiara sama sekali, gadis itu menghelas nafas. Masih dengan debaran yang menggila ketika berdekatan dengan Angkasa, apalagi laki-laki itu kini beralih menatap dirinya dengan intens. Kiara salah tingkah, bergerak dengan gusar mencoba menghindari tatapan kekasihnya.
"Yang mukulin kamu siapa si?"
Gadis itu berhasil mengalihkan pandangan Angkasa terhadap dirinya, pertanyaan tadi seolah membuyarkan lamunan Angkasa.
"Bukan siapa-siapa."
BERSAMBUNG -
"Bukan siapa-siapa kok mukulin kamu?" Kiara terus merayu Angkasa untuk dia gali informasi sebenarnya.TIN TIN"Woi Angkasa!"Kiara dan Angkasa sama-sama menoleh keluar, ada delapan laki-laki yang bertengger di motor mereka masing-masing."Bentar gue ganti baju dulu.""Oke," seruan tadi memutus percakapan singkat Angkasa dan teman-temannya. Laki-laki itu masuk kedalam sebuah ruangan yang Kiara yakini adalah kamar laki-laki itu.Tidak berselang lama Angkasa keluar dan sudah berganti pakaian, Kiara berdiri menghampiri kekasihnya. Mencekal lengan Angkasa yang sudah berhasil keluar rumah."Tunggu!"Angkasa berhenti dan menoleh ke arah Kiara, gadis itu memperhatikan pipi Angkasa untuk mengecek luka tadi."Memarnya belum ilang, kamu ma
"Kakak mau kemana?"Gerak Kiara yang tengah menyiapkan piring untuk makan malam terhenti ketika melihat Intan yang akan pergi, yang ditanya sama sekali tidak menggubris. Terus melangkah dan sedikit berlari ketika sudah berada dijalan."Kakak kamu kemana?""Nggak tahu Bu, langsung pergi.""Yaudah kita makan dulu aja," Kiara menurut dan memakan dengan nikmat."Oh ya Bu, tadi sore kak Intan nanyain sertifikat rumah ini lo.""Kamu kasih tahu?"Kiara menggeleng, "kan aku nggak tahu dimana ibu naruhnya.""Emang buat apa si Bu?""Pokoknya kalau Intan nanya lagi, kamu bilang nggak tahu ya!""Kan emang nggak tahu Bu."******Ada bermacam makanan tersaji dengan lezat di sebuah meja makan, sang p
"Dor!"Sari menggertak sahabatnya yang tengah melamun, Kiara mengelus dadanya menetralkan detak jantung yang tidak teratur."Nggak usah ngagetin bisa nggak si?""Nggak bisa! Ngapain si lo melongo ditengah-tengah keramaian?""Angkasa-""Nggak nongol lagi?"Kiara menatap jengah Sari yang memutus perkataannya."Yaudah si, dibawa happy aja.""Lo nggak ngerti Sar, karena lo nggak jadi gue.""Kalau gue jadi lo, udah gue putusin tuh si Angkasa. Cakep si iya, tapi nggak jelas.""Iya, yang jelas emang cuma lo doang!"Entah marah atau tidak, tetapi Kiara langsung pergi setelah mengucapkan hal itu. Sari menatap kepergian sahabatnya dengan ekspresi tidak terkendali, baru kali ini Kiara membantah perkataannya.
"Jadi?"Kiara menaruh sendok pada piring yang telah kosong, menyeruput lemon tea yang masih penuh."Dia itu om-om yang gue ceritain.""Yang hampir nabrak lo?""Iya.""Ya ampun Ra, dia mah keren banget. Angkasa lewat."Kiara memutar bola matanya bosan, Sari terus saja membandingkan dengan Angkasa."Udah deh, pulang yuk!""Bentar, gue bayar dulu."SREKKursi yang tergeser dengan semangat itu sampai berbunyi, Kiara menghabiskan minumannya sebelun keluar restoran. Sari sudah selesai membayar dan menunggu Kiara untuk keluar bersama."Makasih ya, kenyang deh ni perut.""Santai aja kali.""Eh tunggu deh Ra," Sari menghentikan lengan Kiara, membuat gadis
Tidak ada yang bisa mengobati rasa rindu Kiara terhadap Angkasa, foto maupun kenangan manis yang bisa dia lihat dengan jelas. Hanya bayangan kejadian yang pernah dia alami bersama Angkasa, sangat sedikit dan itu hampir mengelupas disebagian ingatan Kiara.Gadis itu sudah bersiap untuk mengunjungi rumah Angkasa, sedikit berdandan mengenakan dress sederhana. Wajahnya terpoles bedak tipis dan lipgloss orange, begitu pas diwajah mungil Kiara.Melangkah dengan penuh pengharapan jika kekasihnya berada dirumah dengan keadaan baik-baik saja, mulai memasuki wilayah rumah yang dia tuju. Terus melangkah dengan mantap, sampai tiba tubuhnya didepan pagar kayu. Sepi dan tertutup, Kiara mengamati beberapa tanaman yang sudah mulai kering. Seperti tidak disiram, melongok kedalam kaca yang tidak begitu jelas karena letaknya dari pagar rumah lumayan jauh."Nyari siapa Dek?"Ibu-ibu berdaster
Hari senin, hari yang begitu menjengkelkan bagi seluruh siswa. Upacara pagi menjadi kegiatan rutin yang harus mereka hadiri, Kiara memang bukan murid teladan dan pintar. Prestasinya ditingkat menengah, tidak terlalu bodoh dan juga tidak diunggulkan. Gadis itu melakukan kegiatan sekolah tanpa beban, kalaupun harus mengikuti upacara ya tidak begitu menjadi masalah. Itu tugasnya sebagai seorang murid, berbeda dengan Sari yang terus menggerutu karena kepanasan.Kiara menoleh ke arah Sari yang wajahnya sudah memerah, gadis itu terkekeh."Dasar vampire, nggak bisa kena matahari.""Nggak usah ngeledek deh, kulit gue emang gampang merah."Percakapan singkat itu berakhir, waktu upacara hampir selesai karena petugas sudah sampai di acara berdoa.-------Kiara menyempatkan diri untuk mampir dikelas Angkasa, gadis itu masuk dan m
Semua perhatian diruang itu mengarah kepada Kiara, gadis itu menunggu permintaan maaf darinya."Gara-gara kamu, saya jadi gagal arisan!""Iya Bu, sekali lagi maaf ya?"Nenek angkasa menengahi antara Kiara dan perempuan itu, mengusap lembut lengan sang gadis."Maafin pacar cucu saya ya Bu, dia nggak sengaja kok."Ucapan dari mantan mertunya membuat ayah Angkasa berfikir keras, ternyata anaknya itu sudah memiliki kekasih."Yaudah, lain kali itu yang sopan."Perempuan tadi memperingatkan Kiara, Angkasa yang mendengar keributan kecil itu tersadar. Meski pandangannya tidak begitu jelas tapi sayup-sayup dia melihat seorang gadis berseragam SMA, kebetulan Kiara menoleh ke arah Angkasa sehingga hal itu semakin mempermudah penglihatan laki-laki itu.
Ayah dan nenek Angkasa mengurus seluruh keperluan laki-laki itu untuk pulang, kondisi yang memang sudah pulih namun tetap harus mengurangi aktifitas. Akhirnya angkasa tidak lagi menelan bubur menjijikan, laki-laki itu sedikit bersyukur."Semua biaya rumah sakit udah aku urus," ayah Angkasa berucap."Terimakasih Pak.""Emang udah tugas dia Nek, nggak usah makasih," Angkasa menyergah.Pria parubaya itu mencoba bersabar, tidak salah kalau anaknya berkata seperti tadi."Kalau begitu kita pulang dulu Pak.""Biar aku antar."Angkasa melangkah keluar lebih dulu, neneknya tahu kalau Angkasa tidak mungkin mau diantar oleh sang ayah."Nggak perlu, kita naik bus aja."Meninggalkan ruang rumah sakit itu, Angkasa melangkah cepat. Ingin segera terbe