Hari menjelang siang, saat Amanda membantu Panji membersihkan rumah kontrakan pria itu. Rumah yang memang tidak terlalu besar, tetapi nyaman ditinggali. Tidak begitu kotor juga, karena penghuni sebelumnya rajin bebersih. Perabotan penting seperti kasur, peralatan dapur, dan sofa untuk ruang tamu memang sudah disiapkan oleh pemilik kontrakan, yang tidak lain adalah Puspa, budhenya Amanda.
Saat sibuk bebersih itu, Puspa datang. "Manda, Panji, gimana? Suka dengan tempatnya?"
"Tempatnya bagus, Budhe. Terima kasih," kata Panji. "Lebih dari bagus malah."
"Oh ya, nanti air dan listrik, kamu usaha sendiri. Soalnya meterannya beda dengan yang di rumah. Pengontrak yang lain juga gitu." Rupanya Puspa datang untuk membahas hal itu.
"Baik, Budhe. Gak papa. Nanti sambil kuliah, Panji juga akan cari kerjaan sampingan." Rencana Panji ini baru banget diketahui oleh Amanda. Memang ada beberapa hal yang tidak diceritakannya pada sang kekasih.
"Ya udah. Gimana nyamannya saja. Kalau butuh motor, bisa pakai punya Gibran. Udah jarang dipakai juga itu motor, karena si Gibran lebih sibuk kerja bareng papanya." Puspa sangat baik, sampai sejoli itu tidak tahu harus mengatakan apa sebagai bentuk rasa terima kasih mereka. "Yo wis, silakan dilanjut," kata Puspa seraya pamit kembali ke rumah.
Setelah Puspa menghilang di ujung gang yang memang merupakan tikungan menuju ke rumahnya, barulah Amanda ingin memuaskan rasa ingin tahunya. "Yank, kamu mau cari kerja sampingan, itu maksudnya gimana?"
Panji sudah bisa menduga kalau Amanda pasti akan bertanya. Seharusnya tadi ia tidak ungkapkan rencana itu pada Puspa. "Em, gimana ceritanya, ya?" Ia menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Ceritain apa yang perlu aku tahu sekarang," pinta Amanda. "Aku gak mau jadi orang yang bodoh dengan gak tahu kesulitan yang dihadapi pacarnya."
"Oke, aku ceritain. Duduk dulu." Panji mengajak gadis itu duduk bersama di satu sofa. "Sebenernya aku itu kabur dari rumah, ikut kamu ke Jakarta."
Amanda terkejut. "Kenapa harus kabur? Kenapa kamu gak cerita dari sebelum-sebelumnya?"
"Papaku itu inginnya aku sekolah bisnis ke luar negeri," beber Panji, mulai menceritakan. "Tapi aku gak mau. Karena aku gak ingin jauh dari kamu."
"Astaga, Yank! Luar negeri, kan kamu masih bisa pulang. Emangnya kamu takut kegaet bule di sana?" Amanda tidak habis pikir dengan alasan Panji. Tidak masuk akal, menentang orang tua hanya demi pacarnya. Bila gadis lain, mungkin akan tersanjung mendengarnya, namun tidak bagi Amanda. Ia tidak suka menjadi penghalang bagi orang lain.
"Ya bukan hanya itu," lanjut Panji. "Aku memang gak ingin sekolah bisnis. Kamu kan tahu, aku ingin jadi dokter. Nilai pelajaranku di kelas IPA itu aku dapat dari belajar sungguh-sungguh, karena ingin meraih cita-citaku."
Amanda menghela napas panjang. Ia mulai mengerti permasalahan yang disimpan Panji.
"Mama ngasih uang buat aku kuliah, juga hidup di Jakarta. Tapi kalau gak cari kerja sampingan, aku dapat pemasukan dari mana, coba? Kontrakan dan seisinya ini kan juga butuh biaya." Apa yang Panji katakan memang ada benarnya.
"Aku juga rencananya ingin cari kerja sampingan. Aku gak ingin terus-terusan merepotkan Budhe dan keluarganya." Amanda pun tidak lagi mempermasalahkan rencana Panji ke depannya seperti apa. "Yang penting sekarang, kita harus kuliah yang bener. Belajar sungguh-sungguh. Kalau kamu udah sukses jadi dokter, aku yakin, papa kamu akan ikut bangga. Jangan sia-siain kesempatan yang dibuka oleh mama kamu."
Panji tersenyum. Kata-kata Amanda sungguh membesarkan hatinya. Menyuntikkan semangat yang luar biasa menguatkannya. "Aku sayang kamu pake banget!"
Amanda tersenyum. Ia lantas memeluk Panji. "Aku juga sayang kamu pake be-ge-te."
Satu bulan kemudian.
Panji mulai bekerja di sebuah kafe sebagai pramusaji setiap malam hari. Lokasi kafe juga tidak jauh dari tempatnya tinggal. Awalnya, dia pergi dan pulang dengan berjalan kaki. Sampai suatu hari tidak sengaja melihat sepeda bekas milik Gibran, anaknya Budhe Puspa. Sudah lama tidak dipakai, sampai rantainya berkarat dan rodanya harus diganti. Gaji pertamanya digunakan untuk memperbaiki sepeda itu, sehingga bisa digunakannya untuk pergi dan pulang kerja di kafe.
Sedangkan Amanda masih mencari-cari pekerjaan yang bisa mengimbangi jadwal kuliahnya. Selama ini, dirinya hanya fokus mendalami seni rupa, sehingga tidak sempat mempelajari hal-hal kewanitaan seperti memasak, menjahit, atau apalah itu. Baginya, itu sungguh membosankan. Masak, dirinya hanya tahu masak nasi dan menggoreng telur, serta masakan-masakan mudah lainnya, yang hanya berani dimakannya sendiri, atau setidaknya kalau Panji bilang itu enak, pasti dimakan bareng.
Di kampus, tidak sengaja Amanda melihat sebuah pengumuman casting pemain teater untuk acara Tujuh Belasan.
Begitu pulang kuliah, Amanda langsung memberi tahu Panji. "Seperti kamu yang ingin jadi dokter, aku juga punya cita-cita. Aku mau jadi aktris! Mungkin inilah langkah awalnya."
Panji menyetujui rencana Amanda. Ia mendukung keinginan sang kekasih. "Aku akan jadi fans nomor satu kamu, yang selalu memuja-muja kamu."
"Harus, dong!" Amanda senang, karena mereka berdua memiliki hubungan sehat yang saling mendukung satu sama lain.
Amanda harus berusaha dengan kemampuannya sendiri. Ketika ia mendafar jadi pemain teater yang mengusung cerita tentang proklamasi kemerdekaan itu, Amanda pergi sendiri tanpa didampingi siapa pun. Karena di jam yang sama, Panji juga sedang kuliah, dan Vero pun sibuk dengan kuliahnya.
Ada banyak orang yang mendaftar. Mereka diarahkan menunggu giliran dipanggil. Ruangan itu berupa tempat yang disekat dengan kelambu, dan diberi beberapa kursi untuk mereka duduk. Di balik kelambu itulah berisi ruang pentas yang dipakai casting. Ada satu set panggung dan lima orang juri yang terdiri dari dua orang dosen dan tiga orang mahasiswa senior.
Saat Amanda baru duduk, ia disapa oleh seorang mahasiswi berambut pendek. "Hai!" sapanya. "Aku Litha." Ia memperkenalkan diri. "Kamu?"
"Aku Amanda," jawab Amanda.
"Baru kelihatan, kamu anak baru?" Litha mengajak Amanda ngobrol.
Amanda mengangguk. Diajak ngobrol ini lebih baik daripada saling diam, yang hanya akan menambah ketegangan. Litha bercerita bahwa dirinya sudah semester empat di kampus ini. Ambil seni peran juga. Ini bukan pertama kalinya mengikuti casting. Hanya saja belum pernah lolos. Informasi dari Litha juga, kalau casting ini, salah satunya mencari pemeran wanita untuk tokoh Ibu Fatmawati, istri dari Bung Karno yang perannya dalam kemerdekaan Republik Indonesia sangat penting. Beliaulah yang pertama kali menjahit bendera merah putih itu. Pantas saja, saat mendaftar, para peserta langsung diberi gambaran tokoh Ibu Fatmawati seperti apa, dan karakter seperti apa yang dibutuhkan untuk membentuk karakter seorang Ibu Fatmawati itu.
Setelah beberapa pemain unjuk kemampuan dalam audisi, giliran Amanda yang dipanggil. Gadis itu memasuki ruang seni. Di atas panggung ada dua helai kain berwarna merah dan putih, juga peralatan menjahit model masa itu, yaitu mesin jahit Singer kuno. Entah dapat dari mana tim properti ini.
Rupanya, Amanda harus menunjukkan karakter seorang Ibu Fatmawati yang lembut dan penuh penghayatan saat menjahit bendera tersebut. Yang kala itu, Ibu Fatmawati menjahit bendera dalam kondisi hamil tua dan hampir melahirkan putra tertuanya. Sembari meneteskan air mata, ia tetap menguatkan diri dengan tubuhnya yang rentan, menjahit bendera merah putih itu sampai selesai.
Tidak ada dialog dalam adegan ini, sehingga pemain harus menunjukkan ekspresi melalui gerak tubuh.
Usai melakukan audisi, Amanda segera keluar dari ruang seni. Ini memang bukan pertama kalinya tampil di panggung. Hanya saja, sensasinya tentu berbeda dari saat ia manggung di sekolah. Ia merasa berdebar dan sempat grogi. Kabarnya, hari itu juga, pengumuman akan keluar. Sambil menunggu, ia kembali ke kelas, mengikuti jadwal perkuliahan.
Pengumuman hasil audisi telah ditempel di papan pengumuman majalah dinding, yang letaknya di depan ruang seni tadi. Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berkumpul. Baik mereka yang ikut audisi, bahkan yang tidak. Amanda berdiri tidak jauh dari mereka. Bagaimana bisa melihat, kalau suasananya seramai itu?
Kemudian, lagi-lagi Amanda bertemu dengan Litha. "Manda! Kamu sudah lihat?"
Amanda menggeleng. "Rame banget."
"Lah! Ayo sini sini!" Litha menarik tangan Amanda, merangsek, menerobos kerumunan anak-anak itu.
Terdengar suara-suara yang saling bertanya dalam kerumunan itu, "Siapa sih, Amanda Syailendra?"
Yang lain menjawab, "Gak tahu!"
Bukankah itu namanya? Amanda menjawab dalam hati. Ia belum sempat melihat pengumumannya, tiba-tiba Litha menjerit kegirangan. "Manda, kamu lolos!"
Amanda pun terkejut. Benarkah, tidak salah dengar ini? Ia segera membaca baik-baik pengumuman itu. Ternyata benar. Namanya dinyatakan lolos sebagai pemeran Ibu Fatmawati dalam Teater Proklamasi Kemerdekaan.
Saking bahagianya, Amanda segera pulang dari kampus. Ia tidak sabar ingin memberi tahu Panji kabar gembira ini. Ia melihat Panji baru menyandarkan sepeda di pagar tembok di depan rumah kontrakannya, mau masuk.
"Yang!!" Amanda memanggil.
Panji menoleh. "Eh, Yang? Tumben udah balik jam segini?"
Amanda tidak sempat bicara lagi. Ia menghambur dan memeluk Panji.
"Ya ampun, ada apa ini? Kamu seneng banget kayaknya?" Panji senang-senang saja mendapat pelukan gembira dari sang kekasih.
Amanda lantas melepas pelukan itu dan bicara dengan senangnya. "Aku lolos casting! Aku akan meranin Ibu Fatmawati di pementasan itu, Tujuhbelasan bulan depan."
Panji ikut senang mendengarnya. "Selamat ya, Sayang! Aku tahu, kamu pasti bisa!"
Kabar gembira ini juga disampaikan Amanda kepada Puspa dan keluarga. Dengan senang hati, Puspa ingin merayakannya, dengan memasak makan malam untuk mereka semua. Pas banget, sang pakdhe Syamsul dan Gibran ada di rumah juga.
"Dulu yang demen main pentasan gitu itu, ibumu, Manda. Bakatnya juga turun dari nenekmu. Eh, sekarang kamulah yang mewarisi bakat tersebut. Budhe senang melihatnya." Puspa lantas menceritakan kembali bagaimana seriusnya almarhum ibunya Amanda dalam memainkan setiap karakter yang didapatnya. "Sayangnya, karena kurangnya biaya, ibumu gak sempat sekolah kesenian. Dia banting setir belajar masak, karena memutuskan menikah dengan ayahmu."
"Sekarang, Amanda ingin melanjutkan cita-cita Ibu yang belum kesampaian. Semoga, ibu bahagia melihat semua prestasi Amanda dalam bidang seni peran ini." Amanda berjanji akan menjadi pemeran yang baik.
Kemudian, Vero memberi tahu Amanda, kalau dia punya brosur pencarian pemain untuk peran figuran. "Kali aja, kamu minat main film, Manda."
Amanda sangat senang. Ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan dukungan dari setiap orang yang menyayanginya ini.
Waktu berlalu, tidak terasa, sudah dua tahun Panji dan Amanda berkuliah dan hidup di Jakarta. Panji menjalani kuliahnya yang semakin sibuk, dan pekerjaan sampingan juga menyita waktu. Hampir tidak tersisa waktu untuk berkencan dengan Amanda. Tetapi ia selalu sempatkan setiap malam minggu, atau ketika hari libur, ia akan meninggalkan yang bisa ditinggalkan, demi bisa menumpahkan perhatiannya pada sang kekasih. Sebenarnya kesibukan Amanda juga tidak kalah gila. Di hari biasa ia mengikuti jadwal perkuliahan, sementara di hari libur, Amanda pergi mengikuti jadwal syuting. Benar! Setelah berhasil mementaskan sosok Ibu Fatmawati beberapa tahun lalu di kampus, bakatnya dalam seni peran. Ia jadi sering dapat tawaran untuk syuting iklan atau film televisi, mengisi peran-peran figuran. Lama-lama, dapat jatah peran pendukung. Sebenarnya tawaran membintangi film atau sinetron remaja sebagai pemeran utama banyak datang, hanya saja Amanda sering menolak, karena tidak ingin kuliahnya jadi keteteran.
Menginjak tahun ketiga kuliah kedokteran ini, Panji kian disibukkan dengan kegiatan persiapan Program Profesi Dokter atau biasa disebut dengan koas. "Jadi, ini kamu koas di Bandung, Yank?" tanya Amanda, setelah mendapat kabar itu dari Panji. Bandung memang tidak terlalu jauh. Tetapi namanya berjauhan, apalagi ini dalam waktu yang lama, akan menyebabkan kerinduan panjang. "Koasnya memang dua tahun, pindah-pindah, tapi selama bisa pulang ke sini, aku pasti pulang." Panji coba menghibur kekasihnya. "Aku bukannya gak ingin kamu koas, tapi, aku bakalan kangen banget sama kamu, Yank." Amanda mengungkapkan perasaannya. "Iya, aku tahu. Aku juga pasti kangen banget sama kamu." Ia mengusap kepala Amanda, yang lantas memeluknya. "Kok mendadak jadi manja begini?" candanya. "Kapan lagi bisa meluk kamu, kalo bukan sekarang-sekarang ini?" sahut Amanda, membulatkan suaranya. Panji pun mendekapnya erat. Minggu itu, Panji pun berangkat koas di Bandung. Di sana, program profesi dokternya akan berl
Kereta api memasuki Stasiun Jember di daerah Jemberlor, Patrang. Semua penumpang berangsur turun, termasuk Panji. Ia sudah menelepon adiknya, Pratiwi untuk menjemput. Pulang ke Jember, bagi Panji urusannya bukan hanya mau koas terakhir, tetapi juga ingin berdamai dengan ayahnya, serta mengabarkan soal pertunangannya dengan Amanda. Tampak, seorang gadis berkaos hijau muda dan celana jeans berdiri di depan bangsal kedatangan penumpang. Dialah Pratiwi, adik Panji satu-satunya. Sekarang dia berkuliah di Unej, jurusan ekonomi. Cocoklah, untuk meneruskan perusahaan keluarga. Ia bersama Pak Toha, sopir mereka. "Mas Panji!" panggil Pratiwi, sambil melambaikan tangan. Panji pun menghampirinya. "Udah tadi?" "Barusan aja, kok. Yuk, cepetan pulang!" Pratiwi membantu membawakan tas berisi semacam oleh-oleh gitu. Memasukkannya ke bagasi mobil, berikut dengan tas koper dan tas ranselnya. "Mama bilang, Mas Panji gak boleh mampir-mampir, harus sampai ke rumah." "Lagian yang mau mampir-mampir tuh s
Panji mendapat kabar yang kurang bagus dari Pratiwi. Sebagai dokter, dirinya tahu seberapa parah penyakit yang diidap Padmi, ibunya. Kanker otak, yang sudah naik jadi stadium tiga. Ia segera mengajukan cuti, dan pulang ke Jember. Ia belum sempat memberi tahu Amanda soal ini. Sesampainya di Jember, Panji langsung menemui Padmi di rumah sakit tempatnya di kemoterapi. "Maafin Panji, Ma. Udah bikin Mama marah." Panji memeluk lutut ibunya. "Mama harus sembuh. Panji janji akan menuruti semua keinginan Mama." "Semua?" Padmi memastikan tidak salah dengar. Sepertinya di sinilah Panji mengawali semua kesalahan yang akan ditanggungnya seumur hidup. "Se-semuanya." Panji pasrah, benar-benar menuruti semua keinginan mamanya, termasuk menikahi Selma Hayati, perempuan yang telah dijodohkan dengannya bahkan semenjak mereka belum dilahirkan ke dunia ini. Ia tidak berani memberi tahu Amanda soal ini semua. Ia tidak siap menghadapi kemarahan kekasihnya itu. Ia hanya membiarkan handphone terus berbuny
Amanda segera mendapat pertolongan di ruang UGD. Vero meminta para petugas untuk tidak menceritakan yang terjadi kepada selain yang berhubungan. Yang paling penting adalah harus merahasiakan hal ini dari awak media. Menunggu Amanda ditangani para dokter, Vero menunggu di luar. Datanglah Puspa dan Syamsul. "Gimana kondisi Amanda?" tanya Puspa. Ia sudah tahu apa yang terjadi antara keponakannya dan Panji. "Ma!" Vero menangis, memeluk ibunya. "Kasihan Manda, Ma. Kenapa dia harus mengalami masalah seperti ini, saat karirnya naik, kebahagiaan sudah dalam genggaman tangannya. Kenapa Panji tega melakukan semua ini sama Manda? Salah Manda apa?" "Udah, udah, kamu jangan ikutan down begini. Kita semua harus kuat. Terutama kamu, yang paling dekat sama dia." Puspa menepuk-nepuk pelan punggung Vero, menenangkan anak gadisnya. "Tetap saja, Panji harus memberikan penjelasan pada kita. Kalau pun Amanda gak mau dengar, kita yang mewakili." Begitu kata Syamsul. Sementara itu, Panji tidak tahu haru
Cinta adalah sebuah simbol perasaan yang suci. Siapapun berhak memiliki. Termasuk yang dilarang. Status hubungan Amanda dan Panji memasuki ranah terlarang. Sudah tidak bisa bersatu seperti yang mereka impikan. Tetapi, apakah mereka berdua dapat menerima keputusan takdir? Terutama Panji, tidak! Hari itu, Panji pulang ke rumah kontrakannya, mau mengambil pakaian bersih. Selama Selma masih tinggal di rumahnya, ia lebih memilih tinggal di asrama dokter. Selma menyambutnya. "Mas Panji, kamu sudah pulang? Aku buatkan makan malam, ya?" Perempuan berhijab tengah berusaha melayani suaminya dengan baik. Panji hanya diam, tidak mempedulikannya. Melihat rumah sudah sepi, sepertinya Pratiwi juga sudah pulang ke Jember. Selma sendirian. Selma mengekor di belakangnya, hingga hampir naik ke lantai dua, di mana kamarnya berada. Panji langsung menyuruhnya berhenti mengikuti. "Jangan pernah naik ke atas, di mana kamarku berada!" "Ke-kenapa memangnya, Mas?" tanya Selma. Sepertinya kali ini Panji haru
Setelah beberapa hari rawat inap, dan memastikan Amanda baik-baik saja, Dokter Iqbal mengizinkannya pulang, untuk menjalani rawat jalan di rumah. Dokter Iqbal berpesan berulang kali pada Panji, kalau untuk sementara ini Amanda tidak boleh mengalami tekanan mental dulu. Jangan memberinya masalah-masalah yang berat. "Lo tahu kan, akibatnya apa?""Iya, gue tahu," kata Panji.Hari itu, Panji membawa Amanda pulang ke apartemennya, yang sudah bersih dan rapi, berkat Vero yang mengatur."Yang, aku boleh makan rujak manis, gak?" tanya Amanda."Belum boleh, Sayang," jawab Panji. "Kamu baru keluar dari rumah sakit. Makan yang healthy food dulu gitu. Aku bikinin salad buah aja, ya?""Ya, Pak Dokter. Pasien nurut." Amanda begitu terlihat manja hari ini. Ia membiarkan Panji membantunya berbaring di tempat tidur."Kamu istirahatlah." Panji membetulkan selimut.Amanda menarik tangan Panji. "Yang...""Hm?" Panji menoleh."Jangan tinggalin aku," kata Amanda.Panji pun duduk di sisi tempat tidur. Memeg
Selma meyakini, bahwa apa yang sudah ditetapkan Tuhan, harus ia jaga dan pertahankan, termasuk suami yang tidak mencintainya. Ia percaya, bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha. Saat ini baginya, Panji bagaikan batu yang butuh ditetesi hujan, agar hatinya tersentuh. Maka, sekali lagi ia menemui Panji pada suatu hari di rumah sakit. Ia cukup beruntung karena Panji ada, dan sedang dinas.Panji tampak enggan bicara dengan Selma yang dianggapnya kepala batu. Seperti tidak mengerti bahasa manusia, untuk memahami situasi yang tengah mereka hadapi. Tapi baiklah, ia ingin coba dengar, apa yang mau Selma katakan.Mereka berdua bicara di sebuah kafe, dekat rumah sakit, pas di jam makan siang, sehingga tidak mengganggu pekerjaan Panji sebagai dokter."Kamu bilang, butuh waktu untuk membuat pernikahan ini berjalan cukup lama sampai berakhir dalam perceraian, bukan? Oke, aku setuju." Selma menyeruput teh hangat yang dipesannya.Panji tidak menyangka, Selma akan menyetujui ini. Tapi ia yakin, ti