Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak.
"Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.
Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku.
"Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini.
"Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara
"Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp
"errghhh .... Aduuhh, Pakkk," erangku dengan mata sedikit terpejam. Himpitan di kakiku membuat luka yang menganga itu semakin terasa sakit. Aku menggigit bibir bawahku dengan kencang, jemari di tanganku mencengkeram kursi. Jika bukan karena sedang berada di kantor, tentu saat ini aku pasti sedang menangis.'brakkkk'Aku menoleh pada pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka. Satu, dua, tiga, empat, dan seketika banyak orang yang kini sudah ada di dalam ruang kerja Pak Bima, mereka merangsek masuk, menerobos pintu yang terbuat dari kaca tebal itu."Apa-apaan ini? Apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan di kantor saya, HAH?" Setelah pintu ruangan terbuka, Pak Hans, selaku pemilik perusahaan masuk dengan muka yang merah padam. Merasa berada pada situasi yang tidak aman, badanku mendadak terasa dingin dan juga sedikit begetar. Aku menggigil bukan karena tidak enak
'PLAK'Suara tamparan menggema di langit-langit ruangan. Aku semakin beringsut mundur dari kursi yang sedang kududuki. Kakiku gemetaran, dan tubuhku pun rasanya sudah tidak karuan. Panas dan dingin bercampur menjadi satu. Kedua telapak tanganku reflek menutupi mulut yang saati itu sedang menganga karena kaget."Ini bukan hanya tentang menikah atau tidak menikah, tapi juga tentang harga diri keluarga yang kau jatuhkan begitu saja." Tangan Pak Hans mengepal di samping pinggangnya, "aku kecewa padamu, Bima.""Lalu, selain menikahinya, apa yang bisa Bima lakukan, Yah?" Suara Pak Bima juga ikut meningggi, "Sedari dulu, sejak Bima masih anak-anak, Ayah selalu bilang bahwa Bima hanya bisa mengecewakan ... Itulah sebabnya kenapa Bima tidak pernah mendengarkan apa yang Ayah katakan."'PLAK'Tamparan
"Kiara, bilang kepada Ayah dan Ibumu, aku beserta dengan keluargaku akan berkunjung ke rumahmu ba'da Isya."Kubaca lagi pesan yang dikirimkan Pak Bima beberapa jam yang lalu. Aku melirik jam yang terletak di atas nakas. Semakin malam, perasaanku justru semakin kalut. Aku tidak bisa membayangkan reaksi ayah, jika nanti orang tua Pak Bima menceritakan kejadian di kantor siang tadi. Meskipun itu hanyalah kesalahpahaman semata, namun aku yakin, Ayah dan Ibu pasti marah padaku. Aku tidak memiliki bukti yang kuat untuk menyangkal semuanya, sebab satu-satunya bukti yang bisa kuperlihatkan juga bisa bersuara. Tidak bisa membantuku menjelaskan kejadian sebenarnya kepada orang-orang.Ruang tamu sudah tertata rapi, jamuan untuk para tamu juga sudah tersaji. Ibu sepertinya sangat senang, mengetahui anak gadisnya akan dilamar oleh orang. Segala hal yang berkaitan dengan penyambutan tamu sudah ibu siapkan dengan baik, meskipun acara lamaran ini sangat mendadak sekali.S
Aku masih menunduk dengan bibir yang bergetar karena menahan isak. Debaran di dadaku semakin lama justru semakin kencang. Mataku masih saja meneteskan bulir bening dengan derasnya."Yah ... Kiara mohon, percaya sama Kiara," pintaku sambil terisak, "Kiara berani bersumpah, bahwa kami tidak melakukan apapun di dalam ruang kerja Pak Bima," imbuhku."Diam Kiara! Jangan bersumpah jika kamu tidak punya bukti apapun!" bentak ayah.Hatiku rasanya perih, bukan karena bentakan dari ayah. Namun, baru kali ini, ayah tidak mempercayai ucapanku meskipun aku sudah bersumpah di depan kitab suci. Sepertinya rasa percaya ayah terhadapku sudah patah akibat kesalahpahaman ini.Aku sebenarnya bisa saja memberikan rekaman CCTV kepada mereka semua. Namun, semua itu kurasa percuma. Hati dan pikiran mereka sudah tertutup rapat, dan lagi rekaman CCTV itu tidak bersuara, jadi untuk apa kutunjukkan. Tidak bisa membantuku untuk
Aku langsung masuk ke kamar setelah semua keluarga Pak Bima pulang. Riuh yang tadi diciptakan oleh puluhan orang, kini hanya menyisakan suara dari detak jarum jam, berjalan dari detik satu ke detik berikutnya.Setelah 2 jam sibuk menyambut tamu dari keluarga Pak Bima, badanku rasanya capai sekali. Kaki yang biasa kugunakan untuk berjalan, sekarang terasa pegal-pegal, mungkin karena terlalu lama berdiri diatas sepatu highhells yang tingginya tujuh cm. Seluruh tulang dan juga persendianku juga ikut sakit. Aku duduk di atas kasur, kemudian menyejajarkan kaki agar rasa pegalnya sedikit berkurang. Sedih rasanya jika harus meninggalkan ruangan yang sudah kutempati selama hampir 30 tahun ini. Namun, tidak mungkin jika seorang bos seperti Pak Bima bersedia untuk tidur di ruangan sempit seperti ini. Aku mengamati dengan saksama setiap sudut ruangan yang kusebut dengan kamar, terlalu banyak kenangan dan juga cerita yang tersimpan disini.Pintu kamar terbuka perlahan. Pak
Aku yakin, mukaku sekarang pasti sudah memerah seperti kepiting rebus. Rasa malu yang aku rasakan, menjalar begitu cepat ke sekujur tubuh. Mukaku panas, dan kakiku mendadak terasa lemas, lumpuh seketika.Aku menyeka ujung mataku dengan ibu jari. Ya ampun, aku nangis saking malunya. Kalau Tuhan kasih aku satu permintaan, tentu saja aku ingin Tuhan menghapus ingatan Pak Bima saat ini juga, biarin deh Pak Bima hilang ingatan sampe dia kakek-kakek nanti. Aduh, tapi kalau Pak Bima amnesia, nasibku nanti gimana dong?Kepalaku sebelah kiri tiba-tiba berdenyut kencang. Ternyata semakin dipikirkan, justru membuat kedua kakiku menjadi semakin lemas. Badanku ambruk seketika."Kiara, kenapa? Kamu jatuh?" suara Pak Bima terdengar sangat jelas di telingaku."Eng-enggak, Pak. Saya baik-baik saja," jawabku dengan suara yang agak bergetar. Udara di dalam kamar mandi ini sebenarnya panas, tapi tubuhku merinding
Setiap kali teringat kejadian semalam, pipiku pasti langsung memerah dan terasa sedikit panas. Rasa malu itu masih ada, meski aku sudah berusaha melupakan kejadian semalam.Setelah Pak Bima memergoki rambutku yang masih lengket akibat bilasan sabun yang kurang bersih, aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengguyurkan air ke sekujur badan. Bibirku mencebik ketika sadar bahwa baju yang kukenakan masih lengkap dan melekat di tubuhku."Kamu ngapain basah-basahan begitu? Emang gak dingin?" Pak Bima mungkin merasa aneh melihatku mandi dengan pakaian yang masih lengkap."BAPAK, NGAPAIN ADA DI SITU?" teriakku kepadanya.Dia menopang dagu, kemudian menjawab pertanyaanku dengan santai, "saya dari tadi duduk di sini sambil kerja, dan kamu tau itu. Kok tiba-tiba sekarang nanya ngapain saya di sini? Aneh." Dia menggelengkan kepalanya pelan."BAPAK, SAYA BARU MANDI!" bentakku.