Aku mulai kembali menghadiri diskusi grup ODP. Setelah sekian lama (sebenarnya hanya 2 hari) aku absen, ternyata ada anggota baru. Namanya Lydia, ia seorang perempuan yang kutaksir usianya sekitar dua puluhan, mungkin seumur denganku.
Tapi ia nampak pucat. Selain itu, entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, menurutku ia terlalu kurus. Kutepis pikiranku dari anggapan macam-macam. Bisa saja ia memang berbakat kurus sejak awal. Tidak ada yang perlu kupikirkan secara berlebih, terutama urusan orang lain, pikirku.
Mirka membuka sesi grup dengan gayanya seperti biasa. Ia menceritakan kisah-kisah indah dan mengatakan bahwa betapa beruntungnya kami semua sekarang.
Di antara peserta, nampak ada Markus. Ia mengenakan masker dan terlihat latar belakang kamar rumah sakit dari layarnya. Ya, tentu saja, memangnya dia mau berada di mana lagi? Bioskop?
Mirka menyapa Markus dan menanyakan keadaannya. Markus mengatakan bahwa sejauh ini ia baik-baik saja. Hanya batuk-ba
Salman membuat sebuah acara “Nonton Bareng” di Facebook dan mengundangku. Aku merasa sangat kurang pergaulan karena baru mengetahui keberadaan fitur ini sekarang. Memang aku sering mendengarnya, tapi aku tidak pernah ambil peduli tentang apa itu.Ternyata fitur ini membuat kita bisa menonton bersama sebuah video yang diunggah ke Facebook. Orang-orang yang bisa menyaksikan video ini hanyalah mereka yang diundang oleh pemilik atau pengunggah video tersebut.Dalam hal ini, Salman hanya mengundangku. Sehingga secara tidak langsung, kami seperti sedang menonton di sebuah bioskop, hanya berdua. Seolah bioskop ini kami sewa hanya untuk kami berdua.Video yang diunggah oleh Salman sebenarnya adalah sebuah film berdurasi hampir dua jam. Film dokumenter tentang perjalanan ke Himalaya yang dilakukan oleh seorang travel writer. Aku tidak tahu apakah yang dilakukan Salman ini legal ataukah dapat dikategorikan sebagai pembajakan. Saat ini aku tida
Ucapan Salman membuatku tidak berhenti memikirkannya. Itu berlangsung hingga beberapa jam. Aku bahkan sampai lupa untuk makan malam andai Mama tidak memanggilku.Aku makan dalam diam di meja makan.“Lama sekali kamu makan, Sari. Ada apa?” tanya Mama.“Enggak ada apa-apa, Ma.” Hanya itu jawabku.Baru kusadari bahwa aku telah menghabiskan hampir satu jam di meja makan. Pantas saja jika Mama merasa heran. Segera kubereskan peralatan makanku dan mencucinya.Aku tidak memeriksa ponselku saat tiba di kamar. Entah kenapa aku sedikit was-was apabila ada pesan dari Salman di sana. Cukup berat godaan untuk tidak membuka ponsel. Terlebih lagi tidak banyak yang bisa kulakukan di dalam kamar.Untungnya tidak lama kemudian aku mengantuk. Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.Paginya aku bangun dan menimbang-nimbang kesadaranku. Aku masih bertanya-tanya apakah kejadian kemarin benar-benar terjadi ataukah hanya mimpi.Apak
Setelah itu, kami memang tetap banyak saling berbagi cerita. Tapi harus kuakui bahwa setelah Salman menyatakan cintanya, terkadang aku menjadi kikuk saat melakukan panggilan video dengannya. Entah, sepertinya aku merasa grogi atau bagaimana.Aku juga tidak tahu kenapa aku yang grogi. Seharusnya ‘kan dia.Apakah karena aku juga sebenarnya menginginkan ia menyatakan cintanya?Ah, ini jadi terasa begitu rumit.“Kalau kamu jadi tokoh di cerita Aladdin, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Salman saat kami melakukan panggilan video.“Maksudmu aku ada di dongeng Aladdin, gitu?” aku bertanya balik.“Iya.” Jawabnya.“Jadi siapa memangnya aku?” tanyaku lagi.“Ya, jadi Aladdin.” Jawabnya.“Lho, nggak mungkinlah.” Kataku.“Kenapa nggak mungkin?” tanyanya.“Aku kan cewek, Aladdin kan cowok.” Kataku lagi.
Salman tidak menghubungiku selama sehari penuh esoknya. Aku bertanya-tanya, apakah ia marah kepadaku. Atau apakah karena ia telah menyatakan cintanya kepadaku, namun aku tidak pernah membalasnya?Tidak, aku tidak mengerti.Yang lebih tidak kumengerti lagi, kenapa aku begitu gelisah saat ini?Aku menghubungkannya dengan perasaanku kepada Salman. Aku gelisah saat ia tidak menghubungiku. Tapi aku justru belum memberikan jawaban tegas atas pernyataan cintanya.Bingung ‘kan?Ya, sama, aku juga bingung dengan diriku. Entah apa yang kuinginkan, aku sendiri juga seperti tidak mengerti.Tapi aku juga tidak ingin membiarkan ini berlarut-larut.Malamnya, kukirimkan pesan Whatsapp kepadanya.“Apakah kau baik-baik saja?” tanyaku.Lima hingga sepuluh menit kutunggu, namun ia tidak menjawab juga. Tanda di pesannya tidak berubah menjadi biru, tapi karena memang tidak akan berubah menjadi demikian. Salman mematikan fitu
Kami melanjutkan diskusi di grup ODP seperti biasa, setelah waktu makan siang. Markus secara mengejutkan ikut lagi dalam grup tersebut. Ia nampak agak lebih baik.“Hai, Markus, apa kabar?” tanya Mirka.“Baik, ‘kak. Terima kasih.” Jawab Markus.“Semuanya baik-baik saja?” tanyanya lagi.“Iya, hanya sedikit batuk.” Jawab Markus.“Bagus, ayo teman-teman, sapa Markus.” Kata Mirka kepada semua peserta.Kami semua menyapanya. Markus balik menyapa kami semua. Melihat dirinya, aku merasa lebih baik. Mungkin karena menyaksikan keadaannya yang telah divonis positif mengidap Corona, namun tidak terlihat perubahan pada fisiknya.Semula kukira mereka yang divonis positif akan seperti orang-orang yang menderita HIV. Kenyataannya Markus hanya sedikit batuk. Sepertinya memang tidak semua orang akan menjadi separah yang kukira. Semua tergantung kepada kondisinya masing-masing.Usa
Esok harinya, aku mendengar kabar dari Markus bahwa Salman sedang sakit batuk. Aku langsung menghubunginya dan menanyakan keadaannya. Sejenak kulupakan perasaan sebalku kemarin.“Tenang, ini batuk biasa.” Katanya setelah kukonfirmasi kabar yang kudapat tadi. .“Batuk biasa bagaimana?” tanyaku balik.“Ya, karena aku kemarin begadang nonton film.” Jawabnya enteng.“Jadi kamu kemarin begadang?” tanyaku.“Iya.” Jawabnya singkat.“Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa tidur cukup akan dapat meningkatkan imun kita?” aku bertanya, retoris.“Ya, maaf.” Katanya.“Jangan ulangi lagi.” Timpalku.“Maaf...” ia mengulanginya.“Sekarang gimana keadaanmu?” tanyaku.“Aku baik-baik kok.” Jawabnya singkat.“Suaramu terdengar beda.” Memang demikian kedengarannya bagiku.
Batuk Salman belum juga sembuh esok harinya. Aku mendapatinya masih seperti itu saat kami melakukan panggilan video.“Tenanglah, Sari. Dokter sudah bilang bahwa ini hanya batuk biasa.” Katanya.“Dokter? Dokter yang mana?” tanyaku.“Kemarin kami memanggil dokter ke rumah.” Kata Salman. “Dia sudah memeriksaku.”“Lalu apa katanya?” kejarku.“Seperti yang kubilang, ini hanya batuk biasa. Radang tenggorokan.” Jawabnya.“Hanya itu?” tanyaku kurang yakin.“Iya, hanya itu.” ia menegaskan“Syukurlah kalau demikian.” aku merasa lega atas keterangannya.“Ya, kamu nggak perlu khawatir. Hei, dengar, kita akan melewati ini semua, oke?” tanyanya.“Iya.” Aku menjawab singkat.“Jangan nggak semangat gitu dong jawabnya.” Ia berkata lagi.“Terus aku harus jawab gimana?&rd
Aku tidak tahu apakah hari ini aku sedang PMS atau bagaimana, tapi rasanya yang ingin kulakukan hanyalah merajuk. Aku memang sudah lama tidak menyaksikan berita tentang Corona. Tapi aku tidak bisa menghilangkan kekesalanku akan virus ini.“Aku mengutuk keberadaan virus ini!” kataku kepada Salman. “Dan juga orang-orang yang menyebarkannya!”“Sayang,” jawab Salman. “Mereka yang menyebarkannya tidaklah berniat demikian. Bahkan itu terjadi tanpa mereka sadari. Kalau mereka punya pilihan, tentu mereka nggak akan melakukannya.”“Tapi mereka menyebarkannya, dan membuat orang lain menderita.” Kataku.“Bagaimana jika kita yang menjadi penyebar?” tanya Salman.Aku terdiam dan merasa seperti tertohok oleh pertanyaannya.“Sudahlah,” Kata Salman. “Pada dasarnya nggak ada orang yang berniat jahat. Bahkan virus ini pun nggak berniat jahat. Dia hanya ingin hidup melalu