KALAU dipikir-pikir lagi, ini memang pertama kalinya Irin pergi ke mall bersama Rein. Walaupun mereka berteman baik sejak dulu, tapi sebelumnya Rein belum pernah menemaninya belanja.Irin menarik napasnya panjang, kemudian mengembuskan napasnya secara perlahan. Dia merasa gugup, cemas, khawatir, juga takut. Rein tidak suka buang-buang waktu, tapi Irin kebalikan dari itu.Irin suka kalap dan kadang sampai lupa waktu ketika sedang belanja. Orang tuanya saja sampai marah-marah soal ini, terutama ayahnya. Ini masih belum soal tagihan kartu kredit yang akan membengkak setelah dia menggunakannya. Satu alasan lain yang membuat ayahnya semakin khawatir saja soal dirinya.Irin menggigit bibir bawahnya dan berdoa dalam hati, semoga kali ini dia bisa menahan diri atau Rein akan menyetujui rencana mereka yang akan bercerai dua bulan lagi.Rein sepertinya menyadari kecemasan istrinya itu, karena detik berikutnya dia bertanya, "Lo kenapa?" Tanpa menghentikan langkah kakinya yang sedang berjalan men
BIARPUN diminta untuk tidak jelalatan, tapi kalau tempatnya seperti ini sudah pasti tatapan matanya bakal jalan-jalan. Apalagi saat Rein melihat Irin mengambil beberapa potong pakaian dalam di depan matanya, dia bisa langsung membayangkan Irin dengan semua pakaian-pakaian dalam itu membungkus tubuhnya.Rein menarik napas panjang, lalu mengembuskan napasnya secara perlahan. Berusaha menenangkan diri juga menenangkan isi pikirannya yang mulai tak keruan."Hei, Rein! Bagusan yang mana? Gue suka warna ungu, tapi warna pink juga lucu," kata Irin sembari menyodorkan dua pasang pakaian dalam itu ke depan wajahnya.Dengan sebuah senyum cerah ditambah wajah tanpa dosa, Irin menggoyang-goyangkan pakaian dalam yang masih berada dalam gantungan itu di depan wajahnya.Rein merasa wajahnya panas hingga merasa ada sesuatu yang meledak di atas kepalanya. Irin pasti sudah gila, kenapa dia malah memamerkan hal seperti ini tepat di depan wajahnya?!Dia memang pernah melihatnya. Berulang kali dia melihat
REIN terpaksa harus membuang rasa malu saat mengambil beberapa pakaian dalam yang ada di jejeran rak gantung di samping tubuhnya. Berani sumpah, dia tidak semesum itu. Rein bukan Jake yang memang terkenal playboy dan berengsek. Dia termasuk kategori pria yang biasa saja, tidak alim tidak juga bajingan.Namun, demi istrinya dan demi kesehatan mentalnya, dia harus segera mengakhiri sesi belanja ini secepatnya.Rein mulai merasa tidak nyaman saat melihat orang-orang di sana sedang melirik mereka berdua dengan wajah penasaran.Ayolah! Dia bukan aktor tampan negeri ini seperti Jake, tapi kenapa mereka melihatnya layaknya Rein seorang aktor terkenal yang sudah biasa menjadi pusat perhatian media?Irin keluar dari ruang ganti dengan pakaiannya sebelum ini. Jangan kira Irin keluar dari sana hanya menggunakan pakaian dalam saja, karena perempuan itu jelas masih tahu malu saat mau melakukannya.Apalagi ada beberapa pria lain yang sedang menemani istri atau pacarnya belanja, kini sedang menatap
"RIN, lo mau bulan madu, nggak?"Irin yang berniat memejamkan mata dan beristirahat begitu mereka sampai apartemen pun sontak membuka kembali matanya lebar-lebar. Irin menatap Rein.Rein sedang duduk di lantai menggunakan kaki sebagai tumpuan, sambil menyangga kepala menggunakan kedua tangan yang berada di atas ranjang, dan menatap Irin dengan tatapan menghanyutkan.Rein tersenyum manis. Senyuman yang malah membuatnya terlihat layaknya sedang mengejek Irin yang gagal beristirahat lagi hari ini."Harus gitu lo nanyanya sekarang? Kenapa nggak besok-besok aja? Kenapa harus sekarang coba?" tanyanya dengan rasa kesal menggerogoti hatinya.Irin lelah. Dia cape luar biasa setelah semua yang mereka lakukan hari ini. Sejak pagi sampai siang, Rein terus mengajaknya bercinta. Lalu setelah itu, dia mengajak Irin pergi, masuk mall, belanja, makan siang, dan mereka tak kunjung kembali hingga petang.Irin hanya ingin merebahkan badannya, memejamkan matanya, dan mengistirahatkan tubuhnya sebelum Rein
"EMANGNYA lo cinta sama gue?" Detik pertama, Rein mengerjap. Dia bisa saja jujur dan mengiyakannya. Namun, taruhannya terlalu besar. Jika Irin setuju mereka benar-benar akan hidup bahagia, tapi jika tidak ... hubungan mereka akan berubah menjadi canggung dan itu sangat berbahaya. Rein pun berpikir untuk mengiyakan sekaligus menyerang balik istrinya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Irin yang kini sedang duduk di depannya. "Emangnya lo nggak?" Irin tampak terkejut mendengar pertanyaan yang balik menyerangnya itu. Wajahnya dengan perlahan mulai memerah, tapi hanya sebentar karena detik berikutnya dia mulai menggelengkan kepala dan menatap Rein tajam. "Alah, lo bilang kayak gitu paling karena mau minta jatah lagi dari gue, kan?" Irin menebak, langsung tepat sasaran dan menusuk Rein yang diam-diam ingin mencuri sebuah ciuman. Rein tersenyum masam. Dia langsung menjauhkan wajahnya dan menatap Irin dengan tatap putus asa. Padahal dia sangat berharap ini adalah sebuah kesempatan yang se
SEJAK tadi mereka terus seperti ini. Irin ingin segera melepaskan diri. Dia ingin mandi, membersihkan tubuh, kemudian membuatkan sarapan untuk mereka pagi ini. Namun, Rein belum mau berhenti. Setelah percintaan panas mereka selesai, Rein terus menerus menghujani wajah Irin dengan ciuman kecilnya. Pria itu tidak mau berhenti, bahkan saat Irin merengek atau menutupi wajahnya menggunakan tangan, Rein hanya berpindah ke tempat lain yang tidak tertutupi kedua tangannya. Irin sempat berpikir pria itu menginginkannya lagi, mengingat kebiasaan mereka yang selalu melakukannya lebih dari tiga kali. Namun, pria itu tidak meminta seperti biasa saat Rein menginginkannya lagi. Rein hanya memeluk tubuh Irin dengan erat dan menciumi seluruh bagian wajahnya, tanpa terkecuali. Perbuatan itu layaknya dia sangat menyayangi Irin dan tidak ingin melepaskan Irin dari dekapan kedua tangannya. Irin mengembuskan napas pasrah. "Rein, sampai kapan mau kayak gini? Gue mau bikin sarapan, bentar lagi lo mau ber
REIN menyempatkan diri untuk mengirim pesan di sela kesibukan. Padahal Rein nyaris tidak pernah menggunakan ponsel jika tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Alasan itu pula yang membuat Jake harus mendatanginya ke kantor, hanya untuk meminta nomor Syila.Rein : Udah berangkat?Namun untuk Irin, Rein pasti akan membuat pengecualian.Selama ini, Rein selalu berharap Irin mau menghubunginya lebih dulu. Minimal mengirim sebuah pesan padanya. Namun, Irin tidak pernah mau melakukannya.Irin sepertinya sadar, jika Rein nyaris tidak pernah menggunakan ponsel saat sedang bersamanya. Terbukti saat Rein berkata, kata sandi ponselnya tidak pernah berubah sejak masih SMA. Rein pasti tidak pernah mengotak-atik ponselnya seperti kebanyakan orang yang nyaris tidak pernah lepas dari benda segiempat tersebut.Tak lama kemudian jawaban dari Irin masuk ke ponselnya.Irin : Belum. Gue masih males, masih mau tidur.Jawaban itu membuat Rein menghentikan tangannya yang sedang mengetik sebuah laporan. Dia
SEJAK pagi Irin memang merasa malas melakukan apa-apa. Terlebih setelah Rein berangkat kerja. Bukannya dia lelah setelah seks panas yang mereka lakukan sebelumnya. Irin lebih curiga kalau tamu bulanannya sudah hampir tiba.Irin memang biasanya merasa malas melakukan apa pun saat tamu bulanannya datang. Dia yang setiap hari selalu dilayani pembantu rumahnya jadi semakin malas bergerak setiap kali tamu bulanannya hampir tiba. Namun, kini dia tidak lagi tinggal di rumah megah milik orang tuanya.Dia memutuskan pergi. Tidak. Dia memang mau melarikan diri.Rumah mewah itu laksana sebuah penjara yang sengaja mengurung Irin di dalamnya. Menjadikannya seekor burung yang disembunyikan di balik sangkar tanpa adanya sebuah pintu keluar. Entah sejak kapan semuanya bermula, tapi sayapnya telah tiada sejak dia meninggalkan bangku SMA.Tidak. Irin tahu pasti kenapa semuanya bisa jadi seperti ini. Kenapa dia bisa kehilangan kendali dan tidak pernah sekali pun bisa menjadi mandiri.Setelah peristiwa i