Mahahiya : gue tebak next bab judulnya pasti Bagus manusia bertopeng Markonah : tersenyum manis bak kue lapis
Satu jam sebelumnyaMarsha berjalan cepat menuju perusahaan sang suami. Ia bahkan tak peduli dengan sapaan orang-orang dan langsung menerobos masuk. Peter, sekretaris tersetia suaminya pun tak bisa menghalangi. Marsha bahkan menunjukkan telapak tangan untuk mencegah Peter bicara lalu masuk ke dalam ruang kerja Jeremy.“Kak, antar aku ke butik!”Jeremy melongo, dia yang sedang sibuk mengecek laporan nampak melepaskan kacamatanya karena heran dengan tingkah sang istri.“Bukannya ada sopir? Ini jam kerja, Sayang!” Pundak Jeremy turun, dia seolah kecewa dengan sikap istri yang berumur empat belas tahun di bawahnya itu.“Antar aku, atau jatahmu aku mutilasi.” Ancaman Marsha membuat sang suami menelan saliva. Emosi ibu hamil yang satu ini terkadang memang tidak stabil, hingga mengharuskannya untuk lebih banyak menggunakan stok kesabaran yang dipunya.“Sayang, kalau hanya ke butik bukankah bisa mengajak Mami.” Jeremy masih memberi alasan, sampai Marsha mendekat dan memasang muka cemberut.“
“Pak, saya saudara Zie. Saya harus masuk ke dalam, ini sangat penting,” ucap Jeremy. Ia meninggalkan sang istri di mobil karena tidak mungkin membiarkan Marsha yang sedang hamil berdesak-desakan di depan seperti ini dengan para pendemo.“Tidak bisa, Pak. Mohon maaf, sampai konferensi pers selesai tidak ada orang yang boleh masuk ke dalam,” tolak salah satu aparat.Jeremy bingung, dia menoleh ke arah mobil di mana sang istri terlihat menatap dengan sorot mengiba, sudah sangat jelas itu adalah kode dari Marsha agar dirinya lebih berusaha.“Pak, tolong! ini masalah genting.” Jeremy masih berusaha membujuk, hingga tiba-tiba satu unit motor polisi pengawal membelah kerumunan, di belakangnya satu unit sedan mewah berwarna hitam dengan nomor polisi yang Jeremy sangat kenal. Itu mobil milik paman istrinya, Daniel Tyaga. Jeremy awalnya hanya melihat saja, tapi memutuskan mengetuk jendela.“Sean!”Jeremy terkejut melihat sepupu istrinya yang ternyata ada di dalam, beruntung dia cepat sadar dan
Ucapan Sean mengejutkan semua orang bahkan berhasil membuat wartawan yang mencecar Zie terdiam. Tak jauh dari keduanya, Bagus nampak sudah siap membongkar perbuatan jahat Joni.Semua orang bak sedang menyaksikan drama. Surya bahkan hampir ikut bicara tapi wartawan yang menyudutkan Zie tadi buka suara lagi. Kali ini dia berkata tidak ingin mendengar skenario yang dibuat oleh Zie dan timnya.“Apa ini drama? apa ini skenario yang sudah disiapkan?”Beberapa wartawan saling pandang seolah bisa mencium gelagat yang kurang baik dari rekan seprofesinya ini. Bukankah wartawan tidak boleh melakukan penghakiman? Lalu atas dasar apa si wartawan berkata demikian? orang dengan niatan tak baik itu menjadi perhatian banyak orang sekarang, dan pada akhirnya dia diminta menunjukkan kartu pers sebagai bukti identitas. Namun, gelagatnya malah semakin mencurigakan, karena menolak dan kabur dari sana.Setelah orang itu pergi semua kembali fokus ke Zie dan Sean, barulah situasi menegangkan yang disaksikan s
“Apa yang kamu lakukan? apa kamu mau mengganggu kakak?”Sean kaget karena hardikan Gani. Remaja itu masih saja bersikap dingin kepadanya. Sean tidak tahu apa salah dan dosanya hingga laki-laki yang seharusnya menghormati dirinya ini terkesan menganggapnya musuh.“Mengganggu apa? dia istriku aku suaminya, tidak ada kata mengganggu dalam hubungan suami istri.”“Tidak ada istilah itu kalau kamu baik dan mencintai kak Zie, kamu bahkan melupakannya dan tidak menganggap anak yang dikandung kakak adalah anakmu, pria cemen.” Gani menghina, dan kali ini Sean merasa telinganya gatal hingga memarahi adik iparnya itu.“Kamu yang sopan! meski kamu masih bocah, aku tidak segan memukulmu jika keterlaluan,” ancam Sean. Suara dua pria yang berdebat itu bahkan terdengar sampai dalam. Zie yang hendak merebahkan badan sampai bangun dan mencari karet rambutnya. Ia sibuk mencari benda yang sering sekali dia lupakan itu sambil mendengarkan perdebatan suami dan adiknya.“Pukul saja, apa kamu mau berduel? Ba
Gia masih berusaha membujuk Zie agar mengurungkan niat. Namun, putrinya itu bersikeras, hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk mengantar Zie ke rumah sang besan. Gia pamit ke sang suami yang duduk bersama dengan Sean dan Gani di ruang tengah. Sorot mata wanita itu tajam menghujam. Ingin rasanya Gia mengomel tapi lebih dulu sadar, kalau Airlangga pasti akan memarahi dua pria itu habis-habisan.“Zi mau pergi ke mana?”Sean memberanikan diri bertanya, dia bahkan berdiri sebelum Airlangga membentak memintanya untuk duduk kembali. “Pergi ke tempat yang tenang karena kalian mengganggu pikirannya, dia itu sudah banyak masalah tapi kalian malah menambah bebannya.” Gia mengangkat tangan seolah ingin memukul Gani. Anak sambungnya itu terkadang bisa hilang kendali jika sudah memiliki rasa benci ke seseorang.Benar saja sepanjang perjalanan Zie memilih untuk diam, dia memalingkan muka ke luar jendela tanpa sedikitpun ada niatan untuk mengobrol dengan Gia. Dalam keheningan kabin mobil itu, Zie
Di rumah, Sean dan Gani masih duduk bersisian untuk merenung. Mereka sama-sama merasa bersalah ke Airlangga, tapi terlalu angkuh untuk lebih dulu mengucapkan kata maaf.Merasa tidak ada yang perlu dia katakan ke Gani, Sean pun bangun. Namun, bersamaan dengan itu sang adik ipar buka suara, Gani meminta hal yang sama seperti apa yang Airlangga minta. Awalnya dia pikir ucapan Airlangga itu salah, tapi diam sejenak membuatnya bisa memikirkan apa yang sang papa inginkan.“Ceraikan kakak setelah bayinya lahir, dia akan jauh lebih bahagia karena kamu adalah alasan terbesar rasa sakit hati yang dia rasakan.”“Jangan memberi perintah padaku! Kamu hanya bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa,” jawab Sean tak kalah ketus.“Apa salah kak Zie?” Gani berdiri, tangannya mengepal kuat di sisi badan. Remaja itu sedang berusaha untuk menahan emosi yang masih ada di dalam dada. “Siapa kamu sampai membuat kak Zie seperti itu?”“Aku suaminya!” tegas Sean. “Tapi itu tidak bisa kamu jadikan alasan membuatny
“Sean jangan bodoh! mana mungkin aku melukaimu? Apa kamu ingin aku masuk penjara?”Zie takut, dia malah berpikir Sean sudah gila dengan meminta hal nyleneh itu kepadanya. Ia bahkan menduga ada sesuatu yang dikatakan Airlangga ke Sean tadi, sampai pria ini ingin dipukul menggunakan guci.“Siapa tahu ingatanku kembali, aku benar-benar tidak mau seperti ini Zie. Apa kamu pikir aku tidak bingung?” Sean malah mencurahkan isi hati. “Siapa yang harus aku percaya? Aaera? Mama? Papa? Kamu?”“Percaya pada hatimu! Itu hal yang paling mudah dilakukan.”“Sudah, makanya aku menolongmu memberi klarifikasi,”potong Sean cepat.“Lalu kenapa kamu begini?” Zie meraih guci dari tangan Sean. Merasa akan jauh lebih aman jika benda itu berada di tangannya.Namun, tak Zie sangka. Sean tiba-tiba mendekat dan menyentuh pinggangnya, pria itu secara sadar mengadu bibir mereka. Terang saja Zie syok, ini membuat guci di tangannya terlepas dan pecah berserakan. Mereka sama-sama kaget dan mundur ke belakang. Zie mera
“Rai.”Zie sampai tak bisa berkata-kata, semua orang terdiam di tempatnya begitu juga dengan Sean, dia bingung perasaan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Dadanya terasa panas mendengar Raiga menawarkan cinta untuk istrinya.“Rai jangan bercanda, tidak lucu tahu!” Ghea mencoba mencairkan suasana, dengan senyum yang sedikit dipaksakan dia menepuk sungkan paha Gia.“Aku tidak bercanda, aku menyukai Zie. Sejak dulu aku menyukainya, tapi dia tidak pernah membuka hatinya karena Sean.” Tatapan mata Raiga penuh kebencian, dia mencoba terus memancing sang kakak agar mengingat siapa Zie di dalam hidupnya.Benar, Sean terpancing. Tak lama dia mendekat untuk menyambar kunci mobil Ghea yang berada di atas meja. Sean meraih pergelangan tangan Zie. Ia melotot ke sang adik seolah sedang menantang .Tinggi badan mereka yang hanya selisih dua senti membuat mata keduanya bersirobok.“Ayo kita pergi, bukankah kamu bilang ada yang ingin dibicarakan?” Sean menggelandang sang istri keluar. Doni yang bel