“Berhentilah khawatir secara berlebihan sebab kita sudah sampai sekarang,” ucapnya dengan sorot mata yang dijejali oleh ledakan euforia.
Kami kemudian bergegas turun dari taksi setelah membayar tarif perjalanannya. Xaferius kembali menggandengku seperti sebelumnya. Senyum di sudut bibirnya terus melebar seiring dengan langkah panjangnya yang bergerak menuntunku masuk ke halaman rumah besar tipe minimalis modern—yang mengusung konsep kaca—yang elegan.
Nyaman.
Itu merupakan kesan pertama yang kudapat dari tempat tinggal orang tua Xaferius. Mereka sangat memahami cara menyelaraskan desain dan tema yang harus ditonjolkan pada sebuah bangunan sekaligus menciptakan nilai tambah yang apik. Aku bertanya-tanya apa profesi mereka selepas ‘pensiun’ d
“Apa kau suka memasak?” tanya Lucia yang mencoba menerka lagi. “Ya, tetapi aku sudah jarang melakukannya sekarang.” Kini kami berdua sedang duduk di atas kursi berkaki panjang yang terbuat dari bahan aluminium—dipoles sampai mengilat—seperti yang biasanya ada di area bar. Lucia kemudian menyerahkan segelas jus lemon dan memintaku untuk menghabiskannya tanpa sisa. “Terima kasih, Lucia. Kau membuatnya dengan sempurna. Rasanya sangat enak,” ucapku setelah berhasil menenggaknya separuh. “Benarkah? Tidak ada yang pernah memuji kemampuanku sebelumnya,” komentarnya dengan nada takjub. Tawaku seketika mengudara selepas mendengar pengakuan Lucia, “Apa itu
“Mengapa kalian harus kembali secepat itu?” keluh Lucia yang masih merangkulku dengan sikap tak rela.Aku mengumbar senyumku pada Xaferius kemudian kembali mengarahkannya pada Lucia yang masih gigih membujuk putranya agar tinggal lebih lama—tiga atau empat hari—lagi. Sudah dua minggu kami berada di New Orleans dan Xaferius ingin segera pulang ke Glasglow. Ada setumpuk pekerjaan yang sedang menantinya di sana.Shaunn juga beberapa kali meneleponku dan merengek tentang jadwal kepulangan kami. Kesepian menjadi salah satu alasan yang paling vokal dia ungkapkan, sementara suara Simon selalu meneriakinya dengan beragam kalimat sorakan yang menjadi latar belakang percakapan di antara kami. Pria itu mengolok-oloknya lewat julukan ‘Si Bocah Tantrum’.
“Pastikan kau selalu ditemani Xaferius atau para kawanan saat kau berada di luar rumah, Nak. Alexandr merupakan pemburu yang paling andal dari semua anggota kelompok. Kau akan menghadapi bahaya dan mimpi buruk di waktu yang sama selepas menjadi incaran makhluk itu,” pesan Gerald yang menggumam dengan nada parau.Sensasi yang sudah lama hilang dari tenggorokanku itu kembali merayap dan menyebar dengan cepat. Aku hanya mampu mengangguk, lantas menggali kenangan tentang sosok Alexandr yang muncul di area perbatasan waktu itu. Punggungku gemetar sesaat setelah mengingat sepasang taringnya yang runcing itu berkilau diterpa cahaya bulan.“Ada apa, Anna? Apa kau baik-baik saja?” bisik Xaferius yang menyadari perubahan pada tingkahku.“Tidak ada apa-apa
Kami sudah pulang dan ranjang menjadi satu-satunya tempat paling nyaman yang masuk di urutan nomor satu dalam kategori tempat terbaik untuk kuhabiskan bersama Xaferius. Dia sedang bergelung di bawah selimut—tanpa pakaian—denganku sekarang. Kadang-kadang mendengkur, kadang-kadang mengigau tentang pekerjaannya.Aku memandangi wajah Xaferius—rupa yang masih tetap sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya—sejak tadi, lantas mendesah heran. Mengapa dia sesempurna itu? Namun, aku juga senang setelah menemukan satu fakta menarik lainnya bahwa pria yang tengah terlelap itu milikku.Ada sejenis guyuran emosional yang mengirimkan simbol peringatan di kepalaku. Aku kembali memutar kilas balik memori antara kami berdua, kemu
“Kau juga pernah melihatnya di tubuh seseorang selain aku, bukan?”Apa aku harus menjawabnya? Aku tahu Xaferius sedang memancing seluruh pengakuanku. Ternyata dia masih marah tentang insiden antara aku dan Aldrich tempo lalu. Sungguh, tiada yang salah dengan itu.Xaferius memang berhak marah padaku. Seribu rajam atau sejuta makian pun tak akan pernah membuat satu kesalahan fatal cukup untuk dimaafkan semudah itu. Manusia sepertiku akan selalu dikuasai oleh ego dan serakah, tetapi bukan berarti aku juga membenarkan sikap kelewat batasku.Aku menyesali sekaligus menikmatinya dan kupikir menikmati sesuatu yang bukan milikku adalah rasa yang paling memuaskan. Dua perasaan ganjil itu sukses mendominasi sebagian besar diriku selepas kami melalui begitu banyak hal yang
Kami tengah duduk di ruang makan dan membicarakan iklim di daerah portal sekarang. Suhu serta kelembapan yang selalu sama mendadak menarik minatku untuk datang berkunjung. Kau hanya akan menemukan musim semi yang berguling sepanjang waktu di sana, kata Xaferius tadi.Tiada musim dingin yang akan membuatmu menggertakkan gigi atau musim gugur yang akan membuatmu menggigil oleh tiupan angin. Dunia magis itu juga sesuai seperti namanya; ajaib. Aneh, tetapi berhasil mengundang seluruh rasa ingin tahuku yang memang kelewat besar.“Apa itu benar?”“Kapan aku pernah berbohong padamu?” balas Xaferius yang kedua alisnya bertaut heran.“Ajak aku ke sana,” pintaku kemudian yang setengah memak
Kencan bersama para kawanan tergolong sangat aneh, tetapi sekaligus mendebarkan. Aku telah berhenti membayangkan bahwa aku akan pergi makan romantis di restoran atau jenis kencan normal dengan sosok yang juga normal secara harfiah sejak lama. Aku tahu aku tak akan pernah merasakannya sebab ingar bingar dunia manusia sama sekali bukan prinsip hidup yang Xaferius pegang.Aku mematut diriku di depan cermin sekarang—menaruh perhatian lebih pada rambut kusamku yang kurang menarik, lantas berputar membelakangi benda yang memantulkan bayangan kikuk diriku sendiri di sana. Ekor mataku menangkap lekukan pinggulku dalam balutan busana feminin—crop top hitam berpunggung terbuka dan rok berpotongan rendah sebatas lutut de
Nyaliku mendadak ciut setelah mendengar suara Shaunn menggema di lantai bawah. Jadi, aku membatalkan niatku untuk mengenakan pakaian minim itu. Aku menyuruh Xaferius keluar menemui para kawanan agar aku lebih leluasa memilih model baju yang jauh lebih pas untuk dipakai.Aku harus melompat dan menunggangi seekor serigala raksasa nantinya. Pilihanku kemudian jatuh pada blazer—sebagai setelan luar—serta blus dengan motif kotak-kotak dan celana panjang favoritku. Aku mematut diriku sekali lagi—memastikan semuanya sudah sesuai di tubuhku—sampai akhirnya kalimat “aku siap” terucap tanpa kusadari.“Anna? Mengapa kau lama sekali? Apa kau sedang berhibernasi?” teriak Shaunn yang menggodaku dari depan pintu kamar.Aku tersentak oleh jeri