12 tahun yang lalu ...
Alexander, menurut banyak orang adalah keluarga harmonis. Juga keluarga terpandang, karena terkenal dalam dunia bisnis. Keluarga Alexander pemilik perusahaan Xander Corp, yang begitu diminati para pebisnis lain, untuk melakukan kontrak kerja sama.
Saat itu Risa sedang mengandung. Dokter melakukan USG awalnya satu anak laki-laki, tapi saat kehamilannya menginjak usia sembilan bulan, di mana anaknya akan lahir, ternyata terlahir kembar.
Mereka hanya menginginkan anak tunggal sebagai penerusnya, karena terlahir kembar mereka tetap menerimanya, lalu diberi nama Rafan dan Refan. Akan tetapi, mereka mulai dibutakan oleh keinginannya. Terbukti, mereka lebih memilih merawat dan diperkenalkan pada publik hanya anak bungsu saja yaitu Refan Alexander.
Sedangkan Rafan Alexander sebagai anak sulung tidak, sejak lahir pun langsung diasuh oleh pembantunya. Hingga, Rafan baru menginjak umur empat tahun. Tidak lama kemudian, kabar buruk datang, yaitu pembantu yang mengasuh Rafan meninggal karena sakit.
Namun, mereka tetap tidak ada niat untuk merawatnya, akhirnya Rafan mengurus dirinya sendiri, terkadang Rafan suka iri melihat adik kembarnya disayang. Lambat laun, Rafan mulai mengabaikan keluarganya dan menjadi pribadi tertutup.
****
Akibat tidak dianggap oleh keluarganya sendiri, Rafan mulai mengalami depresi ringan, selalu mencoba menenangkan dirinya dengan cara self injury. Rafan suka melukai tubuhnya, seperti mengores pisau ke setiap lengannya hingga banyak darah yang menetes. Awalnya memang menyakitkan, tetapi perlahan tidak. Bahkan bisa membuatnya tenang, saat depresi kembali dialaminya. Hal itu, membuatnya mulai menyukai darah. Rafan seperti memiliki sisi gelap atau mungkin mengerikan yaitu—psikopat.
Bisa dibilang, sudah amat membahayakan dan bisa saja ada hasrat untuk melukai keluarganya sendiri. Namun, Rafan langsung menahan hasrat haus darahnya. Yang tahu Rafan mengalami depresi ringan yang perlahan menjadi depresi berat—hanya dirinya sendiri. Sedangkan orang tuanya tidak tahu apapun, begitu juga dengan adik kembarnya.
Jika rumah sepi, tidak ada rekan kerja Rivo yang berkunjung. Rafan akan keluar dari kamarnya, sekadar duduk di halaman belakang rumah untuk menghilangkan bosan—akibat terkurung. Saat menikmati ketenangannya, dan mencoba menghilangkan rasa bosan. Tiba-tiba Refan mendatanginya.
“Kau kakakku, ‘kan?” tanya Refan pelan, bahkan mulai mendekati Rafan. Selama ini, Refan hanya menatap Rafan dari jauh. Mencoba untuk tidak takut, karena Rafan menatap dingin dirinya. Refan perlahan mendudukkan dirinya di sebelah Rafan.
Rafan masih diam saja, melihat kehadiran Refan. Setelahnya, mengabaikan Refan yang duduk di sebelahnya.
Refan menghela napas pasrah, karena diabaikan. Malah semakin, mencoba untuk akrab. “Buktinya, wajah kita mirip, Kenapa di—”
“Refan sedang apa di sini? Cepat masuk!” panggil Risa, langsung menarik paksa Refan. Bahkan seperti, tidak menyadari keberadaan Rafan.
“Mau bersama kakak, Bu. Lepas!” bantah Refan, sambil berusaha melepas tangan Risa yang terus menarik paksa dirinya, tapi tetap gagal.
“Masuk!” Risa kesal, semakin menarik paksa Refan, hingga masuk ke dalam rumah.
Rafan hanya diam melihat Refan ditarik paksa untuk masuk ke rumah oleh Risa, perlahan beranjak dan berjalan masuk ke rumah lewat pintu belakang dan pergi ke kamarnya. Seperti biasa, mengurung diri dan melampiaskan depresinya.
Depresinya hampir saja terlihat, ketika Risa datang bahkan seperti sengaja tidak menyadari dirinya. Apabila Rafan tidak menahan depresinya, bisa gawat dan malah akan menyerang mungkin?
Terkadang Rafan berpikir, apabila depresinya terlihat di depan mereka. Apa mereka akan merawat dan memberi semangat untuk sembuh dari depresinya?
Itu, tidak mungkin. Lagi pula, mereka tidak mengharapkan kehadiranku. Haha!
****
Beberapa hari kemudian, di kediaman keluarga Alexander. Rivo sedang mengadakan rapat bisnis lagi, mengenai keuntungan perusahaan. Setiap ada rekan kerja Rivo datang ke rumah, sekadar untuk berkunjung atau rapat, Rafan kembali mengurung diri di kamarnya. Atau bisa dibilang, Rivo memang mengurungnya.
Hingga masalah pun terjadi, salah satu rekan kerja Rivo yaitu Bram Revaldo tanpa sengaja melihat Rafan yang kebetulan ada di dapur, dan ingin kembali ke kamarnya.
Di rumah, kebetulan baru Bram Revaldo saja yang datang untuk rapat. Sedangkan yang lain masih dalam perjalanan.
“Tuan Rivo dia siapa? anakmu itu tunggal atau kembar?” tanya Bram, sambil menunjuk ke arah Rafan.
“Itu hanya anak pembantu,” balas Rivo cepat, bahkan kesal karena Rafan tidak terkurung di kamar.
Rafan yang mendengarnya, hanya diam saja. Tanpa ada niat untuk membela diri, lagi pula percuma saja bila melakukan pembelaan.
“Tapi kenapa mirip dengan Ref—” ucap Bram terpotong.
“Bukan! Sebaiknya kembali ke ruang tengah, sepertinya yang lain sudah sampai," potong Rivo cepat, semakin kesal.
Bram kembali ke ruang tengah, tapi sebelum itu dia sempat melihat Rivo saat membentak Rafan.
****
Rafan masih terdiam, saat Rivo mulai membentaknya.
“Sudah kubilang jangan keluar kamar!” bentak Rivo, lalu menarik Rafan dengan kasar.
“Hanya ingin ke dapur sebentar ayah,” jelas Rafan singkat meskipun dibentak, bahkan membiarkan dirinya ditarik kasar.
“Diam cepat masuk!” bentak Rivo, sambil mendorong Rafan masuk dan menguncinya. Setelah itu pergi ke ruang tengah dan memulai rapat mengenai peningkatan keuntungan perusahaan.
Sedangkan Rafan, karena sudah biasa dibentak bahkan dikurung. Sekarang dia hanya duduk di balkon kamarnya, sambil menatap kosong ke arah langit.
“Haha! Hidupku menyedihkan sekali ya?” ucap Rafan lirih, lalu menoleh ke arah balkon sebelahnya karena merasa ada yang menatapnya.
Refan sejak awal melihat Rafan dari balkon kamarnya, yang kebetulan bersebelahan.
“Kakak,” panggil Refan, mencoba untuk mengakrabkan diri lagi.
Rafan hanya diam, lalu beranjak masuk ke kamarnya tanpa membalas panggilan Refan. Menutup rapat jendela kamarnya, kemudian mengambil salah satu pisau lipat yang diam-diam disimpannya di dalam lemari, mulai menggoreskan pada lengannya.
“Haha!” Rafan mulai tertawa depresi, lalu menyentuh darahnya yang menetes di lantai, kemudian mengoleskannya pada dinding kamarnya. Rafan selalu bermain-main dengan darahnya yang menetes di lantai.
****
Refan yang masih berada di balkon, hanya menghela napas pasrah, melihat Rafan masuk, Refan juga masuk ke kamarnya.
Kenapa kakak selalu diam, apa kakak membenciku?
Refan merebahkan diri di tempat tidur, tapi masih memikirkan Rafan. Ingin sekali, bisa akrab dengan kakak kembarnya.
Bram sejak awal bergabung dengan Xander Corp, memiliki niat licik ingin merebut secara perlahan perusahaan Xander Corp, tetapi selalu gagal. Akan tetapi, keesokan harinya Bram kembali berkunjung ke rumah keluarga Alexander, mulai mencoba menjalankan rencana liciknya lagi, Bram berjalan mengendap-endap menuju ruang kerja milik Rivo, langsung mendekati tempat penyimpanan, berkas penting.Bersamaan dengan Rafan baru, yang saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa ingin pergi ke halaman belakang rumah.Lagi pula tidak ada rapat?Rafan mulai melangkah di setiap anak tangga, hingga sampai dipijakan terakhir. Kemudian, berjalan menuju pintu keluar, tetapi langkahnya terhenti saat melewati ruang kerja Rivo. Rafan melihat Bram sedang mencari sesuatu, awalnya mengabaikan dan berniat pergi menuju halaman belakang, tapi terhenti lagi ketika Bram menyadari kehadirannya.“Ini dia berk—” ucap Bram terhenti saat melihat Rafan,
Satu bulan terlah berlalu, paginya polisi datang dan bertanya lagi, tetapi Rafan masih tidak mau menjawab. Kondisi Rafan sudah pulih kembali, meskipun wajahnya masih ada memar biru, bahkan sudah diperbolehkan pulang. Polisi ingin mengantarnya pulang, tetapi Rafan menolak.“Kami antar ke rumah ya, kau ingat tinggal di mana?” tanya Polisi.“Tidak,” balas Rafan bohong lagi.Lagi pula aku kan sudah diusir dari rumah. Lebih baik pura-pura tidak ingat.Rafan, mulai berjalan keluar dari rumah sakit.“Ayo, kau tinggal di panti asuhan saja.” Polisi menggenggam tangan Rafan, lalu menariknya untuk masuk ke mobil dan pergi.Sampai di panti asuhan, polisi langsung menemui ibu panti dan akhirnya menerima Rafan untuk tinggal di sana.Lebih baik aku tinggal di sini dulu, sambil mencari tempat untuk tinggal sendiri.Rafan ikut masuk, saat tanganny
Rafan masih duduk di atap gedung, setelah mengingat kembali masa lalunya yang kelam dan begitu pahit baginya.“Sudah 12 tahun berlalu, sepertinya Bram Revaldo menikmati sekali kehidupannya, setelah berhasil membuatku diusir dan hampir mati," gumam Rafan.Kebetulan Rafan duduk di atap gedung, yang bersebelahan dengan SMA 01 Golden. Sekolah yang memiliki tingkat reputasi sangat tinggi, karena banyak sekali murid berprestasi. Lalu tidak sengaja melihat gerak-gerik aneh dari empat orang, yang semenjak pagi sudah ada di depan gedung sekolah itu.“Hee, polisi menyamar jadi warga biasa kah? Mudah sekali tertebak, pasti polisi itu sedang mengintai Refan Alexander!” gumam Rafan.Refan Alexander, salah satu siswa di SMA 01 Golden. Lebih tepatnya adalah adik kembar Rafan. Rafan terus memperhatikan beberapa polisi yang menyamar.****Di ruang makan sebuah keluarga sarapan bersama, tanpa merasa kurang atau cemas. Jika,
Polisi dan ketiga teman Refan terdiam, setelah mendengar penjelasan Refan, ternyata memiliki kakak kembar.“Tunggu sebentar, kakak? Bukankah kau anak tunggal?” tanya Polisi bingung.“Sebenarnya aku memiliki kakak kembar,” jelas Refan.Jadi Refan terlahir kembar!Ketiga temannya, terkejut.“Bisa dijelaskan Tuan Rivo?” tegas Polisi.“Oke! Memang benar anakku kembar. Tapi dia per—” ucap Rivo terhenti.“Kakak tidak pergi! Tapi diusir!” potong Refan kesal, mendengar penuturan Rivo.“Refan diam!” balas Rivo kesal.“Tidak! Selama ini aku bingung. Sebenarnya apa salah kakak? Sampai ayah ataupun ibu tidak pernah ada untuknya. Bahkan kehadirannya tidak dianggap!" ucap Refan lirih.“Kau tidak perlu ta—”“Aku ingin tau! Karena dia kakak kembarku!” teriak Refan kesal.“Sudah kubilang di
Sore hari di tengah kota mendadak hening, biasanya banyak orang yang berlalu lalang. Kali ini tidak, karena mereka bersembunyi sambil menatap seorang pemuda dari jauh. Jadi, hanya kendaraan saja yang melintas di jalan besar.Pemuda itu adalah Rafan, wajar mereka takut. Penampilan Rafan sedikit kotor, di kedua telapak tangannya dan pisau lipat yang dia genggam penuh darah. Bahkan di pakaiannya ada sedikit bercak darah, karena baru saja membunuh Bram Revaldo. Rafan berjalan di tengah kota, sambil menatap kosong ke depan.Sejak berita pembantaian yang tadi dia lakukan sudah tersebar, semua orang di kota terkejut. Keluarga Alexander sebenarnya memiliki anak kembar, dan masih tidak percaya bila pemuda kejam itu anak sulungnya. Setelah Rafan tidak terlihat di tengah kota, semua orang kembali berlalu lalang.****Sampai di ujung kota, Rafan tidak ke rumah kecilnya. Melainkan masuk kedalam hutan, menuju bukit tempat biasa duduk. Lalu merebahkan d
Di rumah kecil, ujung kota terlihat Rafan sedang duduk terdiam. Lalu beranjak menuju hutan lagi. Mulai berjalan santai mengelilingi luasnya hutan, semenjak kematian Bram. Rafan tidak mood membuat teror, dia hanya melakukannya bila ada yang mengusiknya saja.Masih berkeliling, lalu duduk di atas bebatuan besar, sambil melihat hewan liar berkeliaran di dalam hutan. Tanpa takut diserang, lagi pula Rafan tidak mengganggu hewan liar hanya melihat saja.“Lebih tenang, dibandingkan bersama orang-orang di kota,” gumam Rafan, terus memperhatikan berbagai hewan liar yang mulai berkeliaran di sekitarnya. Lalu ada anjing liar yang mendekat, tetapi tidak menyerang Rafan. Hanya mengendusnya sebentar, lalu duduk di sebelah Rafan.Rafan mencoba menyentuh kepala anjing itu, awalnya terganggu dan berniat menyerang. Rafan terus mencoba, akhirnya berhasil lalu mengelus kepala anjing liar itu, menjadi tenang dan jinak. Perlahan anjing liar lain mendekat, bahkan
Pagi hari, saat sarapan Refan masih terdiam. Ketika hendak berangkat, orang tuanya langsung menarik tangannya dan mengajak berangkat bersama, kebetulan ada rapat orang tua di sekolah. Refan hanya diam, mengikuti mereka masuk ke mobil. Selama di perjalanan menuju sekolah, suasana begitu hening. Refan terus menatap ke arah jendela mobil, hingga sampai di sekolah.“Ayo,” ajak orang tuanya.Refan hanya menatap orang tuanya sebentar, tidak menjawab, dan memilih diam di dalam mobil. Orang tuanya hanya menghela napas pasrah, lalu masuk ke aula untuk rapat. Setelah orangtuanya masuk, Refan masih di dalam mobil, kebetulan rapat jadi free class. Tidak lama kemudian, ketiga temannya datang menghampirinya.“Tidak mau keluar?” tanya Kevan.Lagi-lagi Refan hanya diam, sambil menatap kosong ke arah mereka. Ketiga temannya bingung harus melakukan apa lagi, supaya Refan mau bicara. Kevan menarik tangan Refan, lalu mengajaknya keluar dari m
Rafan keluar dari hutan, berjalan menuju jalan besar. Langkahnya terhenti, saat melihat Refan berlari dikejar lima orang asing.“Jadi sudah dimulai kah? Dasar licik.” Rafan langsung mengikuti mereka.Sementara itu, Refan terus meracau. “Pergi! Pergi! Pergi!” Beringsut menjauh dari mereka, melihat ada celah Refan langsung lari keluar dari gang. Akan tetapi gagal, karena mereka berhasil menangkapnya lagi.“Lepas! Lepas!” racau Refan, berusaha melepaskan diri dari mereka.“Tidak, sebelum tugas kami selesai. Mambuatmu tertekan dan gila. Mati kau!” seru mereka, sambil menakuti Refan dengan pisau lipatnya lagi seolah-olah ingin membunuh.“Haaaa! Pergi! Pergi!” teriak Refan histeris, sambil menutup mata dan kedua tangannya menutup telinga.Mereka berhasil membuat Refan tertekan, ditambah Refan sudah kacau semakin mempermudah tugas mereka.“Sepertinya seru, bila melukainya sedi