Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A
"Aku sudah lelah mengurus Abang. Tidakkah Abang kasihan melihatku dan anak-anak?" Kudengar keluhan Ibu dari ambang pintu. "Maafkan Abang, Risma. Abang memang laki-laki yang tidak berguna." Ayah menjawab dengan lirih. "Kalau Abang sadar, seharusnya Abang tahu diri dan tidak lagi menyusahkan kami."Suara tangis Ibu terdengar bahkan sampai ke halaman depan. Tidakkah dia malu bila didengar tetangga yang jaraknya tidak sampai satu jengkal baik di sebelah kiri dan sebelah kanan? Aku hanya tertunduk pilu mendengar keseharian Ibuku yang hanya bisa mengomel dan memarahi Ayah. "Apa saja yang Abang lakukan seharian di rumah? Kenapa sampai masak nasi saja tidak sempat? Abang pikir kita masih sanggup membayar pembantu di rumah ini, ha?" Ibu kembali meninggikan suara. "Maaf, Risma. Abang pikir tadi sudah dimasak sama Dara.""Halah, alasan saja.""Ya, sudah. Biar Abang masak sekarang."Kulihat Ayah berusaha bangkit dari duduknya. Berjalan melangkah menuju dapur. Tak sampai lima langkah, kudeng
Seminggu sudah Ibu dan Dara pergi. Ayah kembali tak banyak bicara. Namun tak ada lagi rasa tangis dan sesal di hatinya. Mungkin asalkan mereka bahagia, itu sudah cukup baginya. Mengurus Ayah tidaklah sesulit yang Ibu katakan. Meski dengan bantuan tongkat yang dia apit di kedua belah ketiak, dia masih sanggup untuk berjalan. Tak perlu dibantu untuk hanya sekedar ke kamar mandi dan mengganti pakaian. Ayah masih sanggup melakukannya sendiri. Yang Ibu kesalkan hanya karena Ayah tak sanggup lagi bekerja dan menghasilkan uang. Selebihnya, Ayah masih bisa melakukan. Ibu memang sungguh tak tahu diri. Selepas kematian suami pertamanya_Ayah kandungku_kami terus hidup dalam kesusahan. Keluarga Ayah sama sekali tak ada yang ingin menolong, karena pernikahan mereka memang tanpa restu dari keluarga Ayah. Untunglah Ibu bertemu dengan Ayahku yang sekarang. Mereka kemudian menikah dan derajat kami mulai terangkat. Hidup kamipun mulai membaik. Serta kasih sayang Ayah begitu besar terhadap kami. Set
Kereta berhenti di stasiun tujuanku. Kulirik benda berbentuk bulat kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Memang tepat lima jam perjalanan yang sudah kutempuh. Bisa kupastikan karena aku juga melakukan hal yang sama pada tangan kiriku sesaat setelah kereta bergerak, tepat jam dua belas teng. Kubaca lagi alamat yang dikirimkan Ibu. Semenjak dia menjual rumah, nomor ponselnya berubah. Biasanya dia menghubungi lewat ponsel Dara. Seperti dugaanku, sebentar lagi uang hasil penjualan rumah akan segera habis sebelum tahun ajaran baru dimulai. Dan angan-angan Dara untuk kuliah hanya akan tinggal cerita saja. Aku memanggil becak yang berderet-deret di di pintu luar stasiun. Kusebutkan alamat tersebut dan dengan cepat dia mengiyakan. Jalan yang kulewati hanyalah jalan lintas yang di sepanjang jalan kiri dan kanan berbaris pohon-pohon sawit. Terdapat juga rumah-rumah berbentuk serupa. Pastilah itu mess bagi karyawan yang telah disediakan o
Ibu terus saja menghubungi sekembalinya aku dari kampung. Dia terus saja mendesak agar aku berkata jujur. Barulah kutahu apa maksud dan tujuannya menyuruhku ke sana. "Percuma saja kau kuliah. Kalau pikiranmu masih blo on juga," ketus Ibu saat ku angkat panggilannya."Sudahlah, Bu. Jangan serakah. Apa Ibu pikir Sarah tidak malu? Mereka menerima Sarah saja itu sudah cukup." Aku membela diri."Memang kau tidak berguna. Seharusnya kau bilang keadaan kau yang sebenarnya. Setidaknya mereka bisa memberikan kehidupan yang layak buat kau. Tak tahu kah bahwa Ibu juga memikirkan keadaan kau di sana?""Kalau Ibu memikirkan Sarah, seharusnya Ibu tidak pergi meninggalkan kami. Ibu sama sekali tidak pantas memperlakukan Ayah seperti itu.""Terserah kau sajalah. Kau sendiri yang merasakan kesusahan itu.".Aku kembali menghela nafas. Bersandar pada kursi kasir agar hilang penat tubuh dan pikiran. Kulihat pemuda tempo hari yang mengaku bernama Andar kembali masuk dan duduk di kursi pojok. Dia sama s
"Lebih tidak masuk akal kalau aku memanggilnya dengan sebutan Om. Dia bahkan lebih cocok jadi adikku.""Ha? Kok bisa?""Dia hanya lebih tua tiga tahun dariku. Tapi wajahnya jelas lebih muda dibandingkan aku. Bisa kau naikkan gajiku bulan ini? Aku butuh biaya untuk perawatan agar terlihat lebih muda.""Dasar tidak waras. Kenapa tidak sekalian kau memintaku untuk membelikanmu sabun mandi dan juga pasta gigi. Berhenti berhemat. Belum cukup juga tabungan untuk hadiah Ayahmu itu?""Kenapa membahasnya sekarang? Cepatlah, aku takut Paman terlalu lama menunggu.""Aku baru tahu kalau kau punya Paman. Apa dia tampan?" godanya. Aku memutar bola mata, malas. Lekas ku rebut kunci mobil yang masih menjuntai di tangannya."Terima kasih, Bos. Nanti aku jelaskan lagi.""Heh, aku potong gajimu kalau sampai malam tidak kembali, ya?" teriaknya saat aku bergegas keluar. Kulirik dari ekor mata, sesosok yang dari tadi duduk di kursi pojok itu, langsung memutar kepala mengikuti arah langkahku yang melewatin
"Dan kembali membuat Ibuku dibenci? Ayolah Han, walaupun begitu dia tetap Ibuku.""Terserah kau saja. Awas lecet mobilku. Seenaknya saja mengaku-ngaku," sinisnya. Begitulah Hana. Sedari dulu selalu bersikap judes dan suka marah-marah. Bukan hanya padaku, tapi juga pada semua orang termasuk para karyawannya. Tapi dibalik semua itu, dialah satu-satunya sahabat yang bisa menerimaku apa adanya. Kujemput Paman Harun di depan hotel. Dia langsung keluar begitu tahu aku datang. "Bagaimana tidurnya, Paman? Nyenyak, kan?" Aku berbasa-basi. "Aku pikir kau benar-benar akan mengantarku ke hotel." Dia terlihat kesal. Aku tertawa kecil. Merasa lucu karena aku membawanya ke hotel kelas melati. Hanya itu kemampuanku saat ini. "Paman kan sudah biasa tidur di kamar kost. Apa bedanya dengan hotel itu?""Kalau tahu begitu, aku cari hotel sendiri saja. Begini rupanya kalau mengharapkan sesuatu yang gratis," keluhnya. Aku kembali tertawa. Kali ini cukup keras begitu melihat wajahnya yang super kecew
"Bagaimana penampilan Sarah hari ini, Yah?" tanyaku yang kini berdiri dan bergaya di depan Ayah. "Memangnya mau kemana? Bukannya kau bilang hari ini tidak kuliah?" tanya Ayah heran."Sarah kerja dari pagi, Yah. Buat mengganti jam kerja yang kemarin Sarah pakai buat mengantar Paman Harun.""Lalu kenapa tiba-tiba mendadak mempermasalahkan soal penampilan? Pasti Hana protes karena cafenya sepi, sampai-sampai kau disuruh berdandan. Iya, kan?" tuding ayah."Bukan Hana, Yah. Tapi orang lain.""Siapa?"Aku menceritakan apa yang terjadi kemarin dengan pria bernama Andar. Namun Ayah malah tertawa mendengar celotehku. "Dia hanya ingin mencari perhatian kau saja. Kelihatannya kau juga menyukai pemuda itu. Siapa namanya?""Andar.""Nah, kau saja mengingat nama itu.""Tapi bukan berarti Sarah menyukainya, Yah.""Iya, kau tidak sedang menyukainya. Hanya berusaha terlihat cantik di depannya. Begitu kan?" ledek Ayah. "Terserah Ayah sajalah." Ayah tertawa keras melihatku yang sedang merajuk. "Baikl