Salsa 24.Hari ini aku langsung masuk kerja untuk hari pertama. Kemarin, seharian Ayah menghabiskan waktu untukku. Tak rela sebenarnya berpisah dengan Ayah, tapi apa boleh buat. Ia memiliki tanggungjawab lain yang harus dipenuhi."Ayah bohong ke Mama. Ayah bilang ketemu teman. Kalau dia tau Ayah ketemu kamu, pasti marah lagi, berantem lagi. Tapi, tidak sepenuhnya bohong, karena memang benar Budi itu teman Ayah." Jawaban Ayah saat kutanyai keadaan di rumah. Saat kutanyai Mama tahu atau tidak ia menemuiku. Mama masih membenciku, sebab itu Ayah harus berbohong. Apalagi jika sampai Tiara tahu tempat tinggalku, atau lebih parahnya jika ia tahu Ayah membayarkan biaya sewa kontrakan untuk tempat tinggalku. Bisa habis aku dimaki sama Tiara.Setelah membereskan rumah, kami diantar oleh Pak Budi menuju ke tempat kerjaku. Tak henti aku bersyukur karena bertemu orang-orang baik. Ayah bertanya ke pak Budi tentang pekerjaan, Pak Budi tanya ke teman lainnya. Informasi dari teman ke teman yang akh
Salsa 25.Pagi ini, aku tak perlu naik angkutan umum karena Bu Mariani menawarkan untuk pergi bersamanya. Lumayan hemat ongkos.Pun aku belum gajian, masih ada sisa uang yang diberikan Ayah waktu itu.Semalam, Bu Mariani memintaku untuk tidur di rumahnya setelah kukatakan ada yang mengikuti. Aku menurutinya, karena masih merasa trauma dengan perbuatan Andre waktu itu.Aku takut jika orang yang mengikuti itu punya niat jahat padaku.Di tempat kerja aku bisa melupakan semua kenangan buruk itu sejenak, karena aku benar-benar sibuk melayani pembeli.Dari pagi hingga siang, pengunjung penuh di cafe kami."Salsa tolong antarkan makanan ini ya." Yuli, salah satu teman bagian packing memberikan perintah.Ini untuk pertama kali aku disuruh mengantarkan pesanan online. Belum berpengalaman sebenarnya, tapi sepertinya memang untuk membiasakanku.Yuli menyebutkan alamat tempat yang akan kutuju. Di kertas resi juga terdapat nomor ponsel yang akan mempermudah jika aku nyasar mencari alamatnya."Oke
Salsa 26."Jangan lupa kunci pintu, Sa!" Pak Budi mengingatkanku setelah kukatakan bahwa malam ini aku akan kembali tidur di rumahku. Pasangan pemilik kontrakan itu membuat hatiku lebih tenang tinggal di sini, karena mereka seperti Ayah dan Ibu untukku. Mereka menjaga amanah yang disampaikan Ayah waktu itu untuk menjagaku. Jadi aku merasa aman.Di samping kontrakanku juga ada yang tinggal, jadi tidak terlalu sepi meskipun di rumah aku tetap sendiri."Yakin udah gak takut?" tanya Bu Mariani sebelum aku pamit pulang."Iya, Bu." Aku menjawab mantap."Kalau ada apa-apa, langsung telpon Ibu, ya!" katanya.Aku menganggukkan kepala.Setelah bertemu lelaki itu aku tidak takut lagi, karena sepertinya memang tidak berniat jahat padaku.Meskipun perawakannya terlihat seperti preman dan menyebalkan.Namun, entah mengapa malam ini rasanya sulit untuk terpejam, pikiranku terus dikuasai oleh bayangannya. Padahal aku baru mengenalnya.Bukan tentang rasa yang tiba-tiba ada, tapi tentang penasaran ya
Salsa 27.Pengunjung cafe sedang ramai saat siang hari. Aku menuju dari meja ke meja, tapi saat di minibar aku berhenti sebentar untuk lap keringat. Tak elok juga jika saat mengantar minuman dan makanan pada pelanggan malah keringatan."Semangat, Sa!" teriak Yuli di tengah keramaian pelanggan."Kamu juga!" balasku. Kulihat ia juga tak kalah berpeluh dariku.Yang lainnya juga sama, namanya kerja ya capek. Namun, semangat mereka luar biasa. Benar-benar tahu diri sebagai perintis bukan pewaris.Yang mengantarkan pesanan online juga penuh pesanan di jok belakang. Aku menolak bagian itu, karena katanya kali ini lumayan jauh dan aku belum tahu lokasinya.Aku sedang sibuk ini itu melayani pelanggan. Namun, tiba-tiba dengan spontan aku berbalik saat melihat ada sepasang suami istri yang memasuki cafe.Aku yang sedang membereskan piring dan gelas kotor di meja, langsung berbalik dan membawa ke belakang.Andre dan Tiara duduk di satu meja, ia masih melihat buku menu di depannya. Sama sekali be
Salsa 28."Siapa mereka?" tanya Ken.Sekarang waktunya aku istirahat, tapi malah menghabiskan waktu bersama Ken di sebuah meja di luar. Katanya di dalam terlalu ramai dan bikin pandangan sesak.Aku diam. Seperti biasa, malas menjelaskan halku pada orang asing. Ya, Ken masih orang asing bagiku, meskipun kami kerap kali bertemu dan lumayan dekat beberapa hari ini sebagai teman."Kalau bukan ingat lagi rame, bakalan gue ha jar dia, ya minimal patah hitung lelaki itu! Tapi gue udah sering bikin onar sih, takutnya malah imbas ke lo!" Ken menikmati makan siangnya sambil nyerocos. "Misal Lo dipecat gitu, gue jadi ngerasa bersalah. Nyari kerjaan gak gampang, kan!"Aku menatapnya, cara ia makan, cara ia bicara dan perlahan aku tertawa mengamatinya."Lo kenapa? Kesambet?" sinisnya yang melihat aku tertawa karenanya."Ken … Ken …,""Kamu itu sebenarnya gak irit ngomong kan, cuma ya kek ada sesuatu yang kamu tahan dan biar terlihat dingin." Aku tertawa lagi.Ken diam. Bahkan ia juga menghentika
Salsa 29.Sejak Andre tahu di mana aku bekerja, ia kerap kali datang ke cafe entah untuk apa, yang pastinya itu sangat menggangguku. Apalagi setiap melihatnya selalu ada rasa takut masih trauma. Masih terbayang wajahnya yang menjijikkan hampir merusak harga diriku.Lalu, tanganku masih kerap terkepal saat mengingat bagaimana ia menggunting baju dan menciptakan cerita. Aku memang sedikit sembuh, karena pada akhirnya Ayah percaya padaku. Namun, tetap saja aku membenci dirinya dan semua perlakuannya."Kamu ada temannya di sana?" tanya Ayah saat kukatakan bahwa Andre dan Tiara kini sudah tahu tempatku bekerja.Kudengar helaan napas berat Ayah saat kuceritakan bagaimana Andre menyandung kakiku, membuatku malu dengan tatapan para pengunjung yang sedang ramai."Ada, Yah.""Tapi, Salsa takut, Yah. Sekarang hampir tiap hari dia datang ke cafe, tapi hanya mengamati, tak lagi macam-macam. Risih jadinya, benci aku sama Andre."Aku mengadu apa saja yang kualami, tanpa menutupi. Rasa takut, kesal,
Salsa 30.Pagi ini aku datang lebih awal, dengan membawa sekotak nasi goreng buatanku untuk Ken. Bukan apa, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih padanya.Dalam banyak waktu ia sering membantuku menghadapi Andre. Entah di cafe atau semalam saat aku hampir dipaksa olehnya untuk ikut bersama.Tak lupa aku mengadukan hal itu pada Ayah. Ayah marah besar, tapi ia pun bingung harus bagaimana lagi. Ia bilang, akan menemui Andre hari ini. Aku juga menanti apa reaksi Andre yang akan dikabarkan Ayah secepatnya.Dari jarak kejauhan aku bisa melihat Ken sedang menggelar lapaknya. Bukan lapak seperti tukang bakso, tapi ia menyiapkan kursi untuk duduk, canvas dan mencampurkan warna-warna cat."Hai, cerah sekali pagi pagi dengan warna itu." Aku menyapa seraya melihat warna di canvasnya.Hari ini ia terlihat sendiri, biasanya ada satu atau dua teman dengan profesi yang sama menemani.Ken hanya tersenyum datar.Aku mengamati canvas yang sudah dicampurkan warna biru dan hitam, entah apa yang akan di
Salsa 31.Setelah melihat Ken makan masakanku dengan lahap, setiap hari saat berangkat kerja aku selalu membawakannya sarapan pagi. Dia mengeluh, katanya tidak perlu membawa setiap hari karena ia bisa beli.Ken juga tidak mau merepotkanku. Padahal aku hanya memasak sekalian untuk diri sendiri, sisanya kubawakan untuknya."Gak repot, Ken! Masak pagi selalu nyisa, dan aku pulangnya selalu malam, udah gak enak lagi.""Terserah deh!" pasrahnya.Hari ini aku juga melakukan hal yang sama, tapi saat sampai di tempat Ken biasanya ngelapak, dia tak ada. Bahkan tak ada seorang pun di sana yang bisa ditanyai.Aku duduk di halte yang kosong itu, menunggu beberapa menit mungkin ia telat.Namun, sampai sepuluh menit, tak juga kelihatan batang hidungnya. Hanya lalu lalang pengendara dan orang lewat yang ada.Aku mencoba menghubunginya, siapa tahu dia belum bangun tidur atau ke mana. Panggilan pertama tak dijawab, aku mencoba memanggil ulang dan panggilan tersambung."Halo, Ken!" "Hmmm …," suaranya