Terima kasiih untuk dukungan semua pembaca setia di sini. Novel ini mendapat peringkat kedua dalam lomba Dewa Perang. Untuk itu, saya mengadakan give away ratusan koin baca untuk pembaca setia. Informasinya bisa dilihat di instagram @Seruling.Emas. Semoga beruntung!
Jack mengerutkan dahinyamendengar ucapan Hasting dalam konferensi pers. Dia menoleh pada Edward Hamilton. “Kapan kau memeriksa DNA ku?” tanya Jack heran.“Saat kau setahun. Saat itu kau sedang sakit keras. Daniella menelepon Aaron memintanya datang dengan tangis ketakutan kehilanganmu. Aku meminta rumah sakit itu bekerjasama untuk memeriksa DNA-mu dari sampel darah yang tersedia.”Jack menggelengkan kepala heran. “Bahkan setelah semua bukti, kau masiih saja menuduh dan menghina mommy!” Suaranyasangat jengkel.“Pamela meracuniku. Namun, yah ... aku tak perlu membela diri. Mungkin aku sendiri malu untuk mengakui telah berbuat kesalahan. Dan Aaron sudah menikahi Pamela!” Edward tak mau berbelit-belit lagi.“Apa kau yakin kalau Olsen adalah cucumu?” Jack menaikkan sebelah alisnya saat bertanya.Edward Hamilton sedikit terkejut. Dia tak pernah meragukan Olsen sedikit juga. “Jika peringatan Aaron saat itu benar, bukankah seharusnya aku mencurigai Olsen?” batin Edward Hamilton.Melihat bahwa
Seisi ruangan memperhatikan seorang pria tampan yang wajahnya sangat mirip dengan Aaron Hamilton. Namun, Jack jauh lebih tampan dan sangat gagah. Dia berdiri dengan percaya diri di depan semua. Meskipun begitu, mereka tetap memandangnya dengan sinis.Pakaian Jack yang sangat sederhana untuk standar orang-orang yang sedang mengikuti rapat umun perusahaan, membuatnya dipandang sebelah mata. Brodie mengutuk dirinya sendiri karena tidak mempersiapkan hal itu sebelumnya.“Apa kau punya pendidikan bisnis?” tanya seorang pria. Wajah sinisnya tidak ditutupi sama sekali, meski Brodie memandangnya dengan tatapan tajam.“Tidak. Saya hanya sekolah di ketentaraan,” jawab Jack sambil tersenyum. Dia duduk dengan santai di kursinya.Setelah itu Brodie ikut duduk, menyusul Hasting dan Stefano Gerald.“Kalau kau yang memegang tampuk pimpinan, maka perusahaan ini hanya akan langsung kolaps!” seru yang lain mengejek.Suara-suara berdengung mulai terdengar, menunjukkan ketidak puasan mereka atas keputusa
Siang hari, urusan Jack di kantor itu sudah selesai. Dia siap untuk kembali, karena sudah mendengarkan rencana kerja Brodie. Jack hanya perlu mengawasinya dari jauh.“Aku sudah mengambil ini tadi.” Falcon menunjukkan sebuah bungkusan kecil di balik jaketnya.“Terima kasih. Kukira itu mungkin akan dibutuhkan, jadi aku meminta Hunter untuk mengirimnya ke sini. Ternyata mereka sudah puas melihatku meyingkirkan Pamela!" Jawab Jack.“Mau ke mana kita?” tanya Falcon.Menanyai Pamela. Brodie sudah mengirim orangnya untuk membawa Pamela ke satu tempat. Kita ke sana dulu, lalu pulang,” sahut Jack.“Kau tak ingin ke rumah sakit lagi?” tanya Falcon lagi.“Tidak. Tadi Brodie juga sudah menyiapkan pengawal profesional di rumah sakit, untuk menggantikan orang kita,” Jack menggeleng dan berjalan menuju lift. Falcon, Stefano, dan seorang pengawal kepercayaan Brodie, mengikuti.Jack harus buru-buru pulang. Di rumah, keadaan keuangan mereka sangat sulit. Dia harus membawa uang penghasilan pertamanya d
Jack sama sekali tak peduli dengan luapan kemarahan Pamela. Dia memberi perintah terakhir sebelum pergi. “Periksa ikatan seluruh tubuhnya. Kalau perlu beri duct tape agar dia tak bisa bergerak dan bersuara sama sekali! Mulutnya berbisa, merayu siapa saja untuk berkhianat!”“Baik!” Penjaga di sana segera menjawab perintah, setelah melihat kode instruksi dari bawahan Brodie.“Saya akan pastikan dia tak bisa ke mana-mana!” Orang itu mengantar Jack dan Falcon hingga keluar pintu.“Terima kasih.” Jack mengangguk dan masuk ke mobil kembali. Lalu iring-iringan mobil Jack dan pengawalnya segera pergi dari sana.Di perjalanan, Jack mengirimkan rekaman suara Pamela pada Brodie Baker. “Kirim dia ke penjara!” perintahnya“Ahh ... akhirnya pulang juga,” ujar Jack. Dia menyandarkan tubuhnya yang lelah, di samping Stefano yang sudah tertidur pulas kelelahan.***Suasana pagi yang sejuk di perkebunan anggur di bukit itu, tak mampu mengusir kehangatan di ruang makan. Tom dan Tuan Fredd bercerita bahwa
Jack menyipitkan mata pada Hunter, dan pria itu langsung mengetahui arti pandangan itu. “Aku akan jelaskan hal itu, nanti. Sekarang orang ini bagaimana?”“Kalian belum menginterogasinya?” tanya Jack.“Belum!” sahut Hunter. “Kami langsung membawanya ke sini saat dia pingsan!” tambahnya lagi.“Apakah kau membawa bukti-bukti yang kau temukan di sana?” tanya Jack lagi.“Ya!” Hunter memutar tubuh utuk mengambil sebuah tas belanja dari tangan Phoenix. “Ini semua yang kami temukan di sana!”Sekarang tas belanja itu ada di atas meja Jack. Pria itu mengangguk. “Singkirkan dulu dia. Setelah malam, kita interogasi!” perintah Jack.“Baik!”Hunter dan yang lainnya bergegas keluar dari ruangan Jack membawa Leland. Entah ke mana akan mereka bawa pria itu. Namun, Jack tidak peduli. Dia merasa sedikit lega karena Leland akhirnya berhasil ditangkap. Diintipnya sedikit isi dari tas belanja yang isinya tak seberapa itu. JAck mengernyitkan dahi.“Hanya ini?” batinnya.Diambilnya ponsel dan mengabari Tuan
Hunter mengajak Jack dan yang lain ke ruang kerjanya. Jack tak menyangka hal itu. Sebelah alisnya naik dan senyuman tergurat di wajahnya. “Kau letakkan dia di sini?”“Yah ... agar tidak perlu ada lebih banyak orang yang melihatnya,” jawab Hunter.‘Hemm ... baiklah.” Jack membiarkan Hunter membuka pintu dan mereka semua masuk ke sana, memenuhi ruangan.Leland masih terbaring tak bergerak di lantai. “Kau yakin dia hanya pingsan, tadi?” tanya JAck.“Ya!” Hunter membungkukkan badan dan kembali memeriksa leher Leland.“Dia hanya pingsan,” kata Hunter yakin.“Bisa jadi dia meneruskan pingsannya dengan tidur, karena udara nyaman di ruanganmu!” canda Wolf.Hunter tak menanggapi gurauan temannya. Dia menuang air dari botol mineral ke tangan, lalu dipercikkan pada wajah Leland. Kelopak mata pria itu langsung bergerak. Tak lama dia mulai mengerjapkan mata dan menyadari bahwa ada banyak orang di tempat itu.Refleks dia bergerak menghindar. Hanya saja, gerakan itu membuat rasa nyeri yang semula me
Di sebuah gazebo dengan tanaman wisteria merambat di atasnya, duduk seorang wanita cantik dan pria paroh baya. Mereka menikmati makan malam berdua. Beberapa pengawal berdiri di sekitar taman, tak jauh dari tempat itu.“Bagaimama pendekatanmu padanya?” tanya Pria paroh baya itu.“Dia terlalu sibuk!” sahut wanita itu tak peduli.Pria itu menghembuskan napas sebelum menyuap lagi makanannya. “Apa mungkin kau terlalu mengintimidasinya? Mencoba terlalu dekat dalam waktu singkat?” kritiknya pedas.“Aku melakukan dengan cara yang biasa kulakukan saat mendekati para pria yang keras kepala!”sanggah gadis itu ketus. Dia merasa terusik sekarang.“Jangan menyuruhku mendekatinya lagi! Aku tak suka mengemis-ngemis pada pria seperti itu!” gerutunya.Pria paruh baya itu mengernyit dahi hingga terlihat garis-garis samar di sana. “Memangnya pria seperti apa dia?” kejarnya tak puas pada penejelasan sepotong-demi sepotong dari gadis itu.“Dia bukan hanya keras kepala. Tapi juga dingin, lebih memikirkan ke
Jack kembali memeriksa Leland setiap jam sekali. Bahkan hingga kaki pria itu membiru, dia tak membocorkan satu informasi pun. Jack berhenti menyuntikkan cairan itu. Karena Jack belum menemukan kelemahan Leland, makanya pria itu tak mau membuka mulut. Hari hampir pagi, dan mereka jadi kurang tidur karena hal itu. Leland sudah kembali pingsan karena kaki Hunter menginjak betisnya yang membiru akibat terlalu jengkel.“Istirahatlah dulu satu atau dua jam,” ujar Jack sebelum keluar dari ruang kerja Hunter.Jack masuk ke ruang istirahat kecilnya dan membaringkan tubuh di sana. Dia memikirkan apakah lebih baik mengantarkan Leland ke kantor polisi, atau langsung menghukumnya saja sendiri.Diliriknya radio komunikasi dan ponsel yang tidak memiliki nomor kotak sama sekali. “Pasti dia punya ingatan yang sangat bagus, hingga bisa menghubungi orang-orang tanpa perlu mencatat nama-nama mereka di penyimpanan ponsel,” gumam Jack.Dan radio komunikasi itu, meski berkali-kali mencoba, tetap tak tersa