Share

Nama Wanita

Suara azan subuh berkumandang. Aku duduk terpekur dengan ujung mata yang masih basah. Semalam penuh mata ini tak bisa terpejam. Mas Ichsan masih nyaman di dalam selimut kami. Mungkin ia kelelahan setelah semalam berpacu menuntaskan denyar rindu yang sempat tertunda. Lagi-lagi tetes bening mengalir tanpa henti. Ada yang perih di dalam sini saat mengingat kejadian tadi. Sebongkah daging yang bernama hati. Bagaimana tidak, di puncak kenikmatan yang tengah kami arungi, bukan namaku yang ia sebut. Tetapi ... Dayu.

Dayu? Entah kebenaran macam apalagi yang harus kucecap kali ini. Apakah Ida Ayu Ambarukmi yang dia maksud? Siapapun itu, pasti dia perempuan yang penting bagi suamiku.

Pelan-pelan membangunkan Mas Ichsan dengan satu kecupan di pipi. Sementara bendungan di ujung mata hampir saja lepas kendali.

"Mas, dah subuh. Ayo bangun!" ujarku lembut, meski dengan suara sedikit bergetar.

"Mas ... Mas ... dah subuh, ayo bangun," ulangku sambil mengusap bahunya berkali-kali.

Pelan-pelan Mas Ichsan membuka mata, jarak wajah kami mungkin hanya sekitar lima belas senti. Dia memicing, lalu seperti agak terkejut dan melebarkan mata. Aku tersenyum.

"Rinda?"

Deggg! Seperti ada yang terantuk tepat di dalam sini, dada.

"Iya lah, Mas! Masa' zombi, sih!" Aku tertawa lirih mencoba menormalkan suasana. Mas Ichsan tersenyum, tapi kutahu betul ada yang sedang berkecamuk dalam pikirannya.

"Dah azan, ya?"

"Dari tadiii! Mas sih, gak bangun-bangun mulai tadi," ketusku.

"Ngantuk, Rin. Lemes. Gara-gara kamu, nih!" rutuknya.

Aku mengernyit, tak paham maksudnya. "Hah, kok gara-gara aku?" 

Mas Ichsan menarikku mendekat, lalu berbisik di telinga. "Kamu tambah pinter sekarang, Rin!" ujarnya.

Aku baru sadar apa maksudnya. Detik berikutnya, kamipun tertawa. Tawa yang hanya di bibir saja, sedang di dalam sini sakitnya masih terasa.

Rutinitas pagi berjalan seperti biasa. Setelah sarapan dan berkemas, kami berangkat mengantar Mama. Mas Ichsan memegang kemudi, sedangkan mama di sampingnya. Aku memilih kursi belakang, menempatkan posisi di tengah-tengah agar lebih leluasa mengobrol dengan mereka berdua sambil mengawasi jalanan. Di mobil kami yang kecil ini, tentu bisa melakukannya dengan mudah.

Aku senang berkendara di jam kerja seperti kali ini. Jalanan cukup lengang. Mungkin karena sebagian orang sedang beraktivitas di dalam ruangan. Lagi pula di kota kecil kami ini arus kendaraan memang tak terlalu padat, tak seperti di kota besar yang selau diwarnai kemacetan. Nanti, setelah memasuki jalur pantura, biar kugantikan Mas Ichsan menyetir. Aku dan Mama masih belum sepenuhnya yakin pada Mas Ichsan.

Perjalanan cukup santai dan menyenangkan. Kulihat, beberapakali Mama memandang kearah putra kesayangannya. Dari ketiga putranya, hanya suamiku yang mewarisi lebih banyak karakter Mama yang lembut, bijak dan penyabar. Ia juga yang mewarisi kulit putih dan wajah rupawan miliknya.

***

Beberapa jam telah berlalu. Kami sedang di perjalanan pulang setelah mengantarkan Mama. Papa sempat meminta kami menginap, namun kubilang kalau jatah liburku hanya sehari. Besok harus kembali ke kantor untuk melaporkan hasil trainingku kepada Pak Afnan. Ah, mengingat bossku itu sama halnya dengan membuat otakku ternoda.

Semilir angin sore menelusup masuk dari jendela yang sengaja kubuka. Tujuannya, biar segala keolengan terbang lewat sana. Di depan sana, berdiri kokoh Monumen 1000 Km Anyer - Panarukan. Kuperlambat laju kendaraan. Lama rasanya tak singgah di tempat ini. Dulu sepulang mengunjungi Mama, kami akan menepi dan memesan es kelapa muda di warung kecil tak jauh dari sini.

"Mau berhenti, Mas?" tawarku dari balik kemudi. Mas Ichsan bergeming.

Kusentuh bahunya, "Mas," panggilku.

"Mau berenti di tempat biasa?" ujarku sambil menunjuk ke depan. Mas ichsan terlihat sedang berpikir.

"Nggak deh, katanya pingin ke pantai? Sekalian aja di sana," simpulnya.

Kupercepat laju kendaraan menuju sebuah pantai yang dulu sering kami kunjungi. Pantai dengan pemandangan yang masih alami, tanpa tiket, dan tanpa fasilitas wisata apapun. Kecuali beberapa warung yang menyediakan beberapa cemilan dan menu sederhana.

Kami memesan beberapa cemilan sekaligus menitipkan kendaraan pada pemilik warung, lalu berjalan memasuki beberapa blok lahan bakau, hingga sampai di bibir pantai yang nyaris tanpa deburan ombak. Sunyi. Dari tempat ini, jika sunset telah muncul, kami bisa menikmatinya sepuas hati. Jarang sekali ada yang berkunjung, apalagi di hari aktif seperti ini. Aku menaruh minuman dan beberapa cemilan yang tadi kubeli.

"Mau?" tawarku pada Mas Ichsan

.

"Kok minum kopi?" tanyanya heran, melihat botol kopi kemasan di tanganku.

"Iya, biar nggak ngantuk!" jawabku asal.

Mas Ichsan menggeleng. Dia memang tak suka kopi. Nikotin dan caffein adalah caraku di masa lalu untuk menenangkan pikiran. Sangat berseberangan dengan Mas Ichsan yang sedari dulu terbiasa menjalani pola hidup sehat.

"Nanti aku aja yang nyetir, kamu tidur aja," suruhnya.

"Aku lagi pingin nyetir, enak, kayak lagi main game. Lagipula uda beberapa hari kan nggak bawa mobil. Tar aku lupa caranya," kataku beralasan.

"Halah, mana bisa sih lupa! Yaudah, kalo gitu tidurnya sekarang aja." 

Mas Ichsan melepas jaketnya, melebarkannya di atas pasir pantai.

"Sini tidur!" Perintahnya sambil menepuk paha.

Kurebahkan kepala di pangkuannya, sedangkan badan beralaskan jaket miliknya.

Aku memejamkan mata. Bukan untuk tidur, tapi untuk menetralkan segala kecamuk yang ada di dalam kepala. Mas Ichsan mengelus pelan kepalaku. Bukan malah bahagia yang terasa, tapi sesak kembali menelusup di dada. Teringat perlakuannya tadi malam, menyentuhku dengan penuh kelembutan, menerbangkan hingga nyaris ke awan. Lalu dengan satu kata, dia menghempas angan ke dasar jurang kekecewaan.

Dayu? Siapakah sebenarnya dia.

Aku cukup paham bahwa di saat-saat tertentu, ODS memang sulit membedakan antara realita dan khayalan. Pikiran bawah sadarnya kadang mencuat ke alam sadar. Tapi kenapa nama itu malah terlintas di saat-saat kami tengah mereguk madu asmara. Ada kemungkinan karena mereka pernah berada di situasi yang sama. Bercinta!

Ada yang terasa panas di ujung mata.

"Mas," panggilku masih tetap pada posisi semula. Dengan suara lirih agar tak terdengar getarnya.

Dia menunduk. Kuketahui dari suaranya yang semakin mendekati telinga.

"Apa, Rin?" lirihnya.

"Mas nggak pingin cerita sesuatu sama aku?" tanyaku.

"Cerita? Cerita apa?" Mas Ichsan mungkin bingung apa maksudku.

"Cerita soal ... " Kuhentikan kalimat.

Bodoh bodoh bodoooh! Jangan bersikap bodoh, Rinda! Jangan sampai pertanyaanmu malah membuat kondisi jiwanya semakin memburuk seandainya dia mencoba menggali ingatannya secara paksa. Tahan Rinda! Tahan! Jangan gegabah. Jika itu terjadi, maka perjuanganmu selama ini tak ada artinya. Lagipula, bukankah tak satu dua kali Mas Ichsan berhalusinasi. Ah, Rinda, mungkin hanya perasaanmu saja. Bisa jadi Dayu itu hanya ilusi, atau mungkin ....

"Rin?" Mas Ichsan mengagetkanku.

"Ehh iya," jawabku.

"Cerita apa?" ulangnya lagi

.

"Soal kemarin waktu aku nggak di rumah, iya soal itu. Ngapain aja sama Mama?" Sekuat hati kujaga nada suaraku agar tetap ceria. Detik berikutnya celoteh Mas Ichsan hanya berupa sayup-sayup yang tak kuketahui maknanya. Aku sibuk bermain dengan pikiranku sendiri. Sibuk menerka-nerka. Juga sibuk menekan rasa penasaran yang semakin menyeruak di dada.

Melihat bahuku terguncang, Mas Ichsan menyadari satu hal.

"Rin, Rin? Kamu nangis? Rin!"

Aku terisak di pangkuannya. Tak sanggup lagi menyimpan sesak di dada.

"Rin! Rin!" ulangnya.

Aku bergeming. Mas Ichsan memelukku yang masih dalam pangkuannya. Lama ... kunikmati hangat pelukannya. Sambil menguatkan diri sendiri. Meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja.

"Kamu kenapa?" tanyanya lagi.

Aku bangkit, duduk di depannya. Mas Ichsan membantuku mengusap air mata. "Enggak, cuman pingin nangis aja. Mungkin capek, stress karena kerjaan atau lagi  kangen Bunda di rumah, lama kan aku gak pulang. Campur aduk rasanya," jawabku sekenanya. Berharap suamiku percaya.

"Aneh kamu, Rin! Gak jelas!" ejeknya. Lalu Mas Ichsan mencubit kedua pipiku cukup keras.

"Awwww!" pekikku.

Detik berikutnya, gelitikan di pinggangnya sudah berhasil membuat Mas Ichsan berteriak minta ampun.

Biru nabastala bertukar jingga. Pesona senja memanjakan mata yang masih sedikit basah. Senja adalah keindahan sementara yang akan berakhir ketika malam mulai menjelma. Tak ubahnya seperti kebahagiaan hidup yang selama ini selalu timbul tenggelam beraturan. Sebagaimana senja yang selalu datang dan hilang dalam ritmenya yang teratur.

Aku mencintai senja beserta segala keterbatasannya. Keterbasan waktu untuk menikmatinya. Sepertihalnya aku mencintai segala keterbatasanmu.

Pesona senja. Aku tersenyum mengingatnya. Akun literasi yang setahun belakangan ini menjadi tempatku menumpahkan segala keluh di hati. Ah, jadi teringat Kaffah.

Kaffah? Sepertinya aku tahu kemana harus meminta bantuan untuk menuntaskan rasa penasaran yang kini berkecamuk di dada. Meski sudah kusangkal rasa curiga, tapi hati ini tetap saja gelisah.

***

next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status