Share

Rahasia

Azan isya' baru saja berkumandang saat aku tiba di terminal. Tak sabar rasanya ingin segera kembali ke rumah. Setelah memastikan tak ada barang bawaan yang tertinggal, aku bergegas turun dan menghubungi Mas Ichsan. Tadi siang, dia bilang akan menjemputku di sini bersama Mama. Jarak rumah kami tak terlalu jauh dari sini. Oleh karena itu kusetujui tawarannya meskipun dengan berat hati.

Mengetik sebuah pesan pada Mas Ichsan, beberapa detik kemudian terkirim tapi tanda centang tak berubah biru. Ohh, mungkin masih salat, pikirku. Kutunggu hingga beberapa menit, belum juga dibaca. Lalu mencoba menelepon Mas Ichsan, namun masih tak ada jawaban. Kuulang hingga beberapa kali, masih juga tak ada jawaban.

Istrimu ini sudah tak sabar ingin pulang, Mas, badan terasa amat letih, ingin segera mandi dan beristirahat. Lalu beralih menelepon Mama. 

Syukurlah, panggilan diterima.

"Hallo Asslamualaikum, Nduk," sapa Mama.

"Waalaikumsalam. Mas Ichsan mana, Ma?"

"Di kamarnya, ketiduran di kursi. Tadi Mama bangunin suruh pindah, gak ngerespon. Apa mau dibangunin?" tanya Mama.

"Ohh gausah, biarin aja, Ma. Nanti pindah sendiri," balasku.

Aku menghela napas, sedikit kesal, tapi kemudian mencoba maklum. Ketiduran memang alasan yang paling bisa dimaklumi untuk membatalkan sebuah rencana.

Membuka aplikasi ojek online. Lama tak ada tanggapan. Kucoba lagi. Belum ada tanggapan. Memang, ojek online di sini tak seramai di kota-kota besar. Apalagi di malam hari. Lalu kuputuskan menggunakan jasa ojek pangkalan. Bismillah ... mudah-mudahan selamat sampai tujuan.

Di kota kami memang jarang sekali ada angkutan umum di malam hari. Tak ada angkot, hanya ada bus antar kota dengan armada terbatas. Seringkali sudah penuh sesak ketika sampai di terminal ini, dan butuh waktu cukup lama untuk menunggu bus selanjutnya.

Sepanjang perjalanan, tak henti aku berdoa memohon keselamatan. Ngeri rasanya berkendara berdua saja dengan orang tak dikenal di malam hari. Andai ini ojek online, pasti aku lebih tenang karena setidaknya jika ada hal-hal buruk yang terjadi, bisa terlacak melalui aplikasi.

Berpuluh menit penuh ketegangan akhirnya bisa terlewati. Alhamdulillah aku tiba di rumah dengan selamat dan bahagia. Iya, bahagia karena tak harus berpisah lagi dengan belahan jiwa. Sesederhana iti memang.

Setelah berbasa-basi dengan Mama, aku bergegas menuju kamar. Tak sabar ingin bertemu dengan Mas Ichsan.

"Asaalamualaikum." Pelan-pelan aku membuka pintu.

Lelaki kesayanganku tertidur dengan kepala bersandar di kursi. Komputer di depannya masih menyala. Aku tersenyum, mengecup pelan-pelan pipinya. Komputer yang sudah lama tak terpakai ini sudah terpasang di kamar kami lengkap dengan mejanya. Mungkin ia rindu bermain dengannya. Karena iseng, aku memeriksa layar di hadapan. Dengan sekali klik, ia menampilkan halaman sebuah blog milik Mas Ichsan yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Seingatku, tak ada lagi akun sosmed miliknya selain F*, IG, twitter, kaskus dan beberapa aplikasi messenger. Karena penasaran, kutelusuri beberapa laman di blog miliknya. Postingan terakhir ditulis dua tahun silam. Membuat rasa penasaran semakin penasaran berlipat karenanya.

Perlahan menyeret kursi rias hingga menempel pada meja dan duduk di atasnya lalu melanjutkan misi menelusuri blog Mas Ichsan. Satu dua halaman kubaca, semakin penasaran aku dibuatnya. Ternyata isinya seputar curhatan yang ditulis cukup rapi. Tentang kisah kami, tentang perjalanan bisnisnya, juga tentang keluarga. Tak menyangka ternyata tulisan suamiku serapi ini. Kemudian, penelusuranku sampai pada sebuah puisi tanpa judul yang cukup panjang dan sangat mengejutkan. Bagaimana tidak, selama ini tak pernah sekalipun tahu jika Mas Ichsan juga menyukai puisi. Tanpa kubaca isinya, aku penasaran mengenai titi mangsanya.

Kuscrool sampai bawah, tak ada titi mangsa. Di sana hanya tertulis, Gadisku Beraroma Dupa - Ida Ayu Ambarukmi.

Siapa itu? Apa Mas Ichsan juga memiliki kehidupan lain di dunia maya?

Cepat-cepat kukembalikan kursor ke atas, berniat membaca postingan itu. Sebuah puisi berbentuk paragraf dengan kalimat lugas dan minim majas. Kaff pernah bilang, yang seperti itu namanya senandika.

_____________________

Bulan muda tahun lalu. Aku melihatmu berjalan membawa canang, sajen berisi bunga juga dupa. Titik beras pada pelipis, serta kuncir kamboja. Kalau sudah begitu, dapat tertebak bakal lakumu. Pasti kau lagukan bait-bait trisandya. Dan seorang Pedanda memegangi senteng suteramu. Menuntun, lalu mengikatmu pada tiang sanggah. Menegaskan posisi, menyadarkan hati.

Dan aku, mematung di sebelah paduraksa. Menunggu kapan kau tuntas abu dupa, lalu berjalan kearahku, manja. Ulur tanganmu, sayang. Mari kita bersama, mesra.

Lama.... Tetapmu tak ada. Ah, ternyata aku hanya menghayal, sayang .... Lupa bahwasanya sedang mengintip lakumu juga Ayahmu dari belukar hitam keterasingan. Dari hening runcing perbedaan.

Dan ayahmu ... Pedanda paruh baya berwajah murka. Diam-diam melangkah menyeretku menjauh. Entah serapah apa saja yang kuterima. Aku tahu, kau menangis, sayang .... Ada bilur-bilur pada hatiku tiap kau jatuhkan titik bening di ujung kainmu.

Dan kamu, bersimpuh menangis pilu. "Benar, sayang, kita berbeda. Darahku beraroma dupa." katamu sendu. Nanar kupandang, Lentik rintik air mata perlahan memudar.

Hening. Ada luka sewarna darah. Innalillah ... cintaku mati seketika. Dan kamu, pergi menjaga tradisi. Tak peduli.

Aku tahu cintamu nyata, tapi kalah, oleh hal tak teraba logika.

Membunuh tanpa menyentuh. Membalik hati tanpa kau tahu. Dan aku tak terima kalah!

Oleh mantra!

GADISKU BERAROMA DUPA - Ida Ayu Ambarukmi

Ichsan Agung Prasetya

________________

Setelah membaca, mencoba merenung untuk meresapi maknanya. Menurutku puisi tersebut bercerita tentang kisah cinta gadis Hindu dan seorang pemuda muslim. Mereka berdua saling mencintai. Akan tetapi, karena suatu hal, pada akhirnya tak bisa bersama. Si pemuda menyangka jika ada campur tangan mantra di dalamnya, sehingga si Gadis kemudian memilih mengakhiri hubungan mereka.

Satu hal lagi yang menarik. Ada sebuah nama yang unik di situ, entah siapa dia. Mungkin teman kolaborasi Mas Ichsan atau bisa jadi malah penulis favoritnya. Ah, entahlah. Sempat terlintas rasa curiga, tapi segera kutepis. Cukup kupahami bahwa dicurigai itu rasanya tak nyaman dan mencurigai bisa membuat hati tak tenang. Biar nanti kucari tahu kebenarannya. Mencium pipi Mas Ichsan sekali lagi, lalu bergegas membersihkan diri.

Setelah mandi dan salat, aku mengobrol bersama Mama di ruang TV. Bercerita tentang kegiatan di Malang, sementara Mama menceritakan keseharian Mas Ichsan saat kutinggal. Alhamdulillah, dia tak pernah berulah. Mungkin kondisinya saat ini sudah benar-benar mendekati stabil.

Handphone di hadapan berdering. Kulihat sekilas, ternyata pesan dari Pak Afnan. Seulas senyum muncul tanpa disadari. Kulirik Mama, syukurlah beliau tak melihat. Kalau Mama tahu, bisa-bisa beliau menyangka kalau menantunya sedang terganggu. Terganggu jiwanya. Hmmff ... sepertinya harus segera beranjak dari sini. Ayo Rinda, ayo Rindaaaa, cari cara!

"Ma, bentar ya, Rinda mau ngecaz hape dulu," pamitku pada Mama seraya menunjukkan layar handphone. Kebetulan dayanya memang hampir merah.

"Iya, sana sekalian istirahat, Nduk. Kamu pasti capek," suruh Mama.

"Tapi Rinda masih mau ngobrol sama Mama. Besok Mama kan udah pulang," balasku dengan bibir mengerucut.

"Kan bisa lain waktu, sana istirahat dulu!" perintah mama.

"Yaudah, Rinda ke kamar dulu. Mama istirahat juga, ya," pamitku.

Kucium pipi Mama, lalu beranjak ke kamar. Mama memang begitu menyayangiku, mungkin karena beliau tak memiliki anak perempuan.

Perlahan membuka pintu kamar. Terlihat Mas Ichsan masih di posisi awal. Kurebahkan tubuh letih ini, lalu membuka pesan dari Pak Afnan.

"Sudah sampai, Rin?"

"Sudah sejak tadi, Pak," balasku.

"Kalau masih ingin istirahat, besok bisa izin dulu, Rin." Pak Afnan membalas lagi.

"Boleh libur, Pak?" tanyaku memastikan.

Lama tak dibaca. Duuh kemana aja si Bapak itu, ya? Apa jangan-jangan dia berubah pikiran? Huwaaaaa jangan sampai jangan sampaiiii. Aku membolak-balik handphone. Seperti seorang gadis yang sedang menunggu balasan pesan dari sang pacar. Membuka layar, memainkannya, geser-geser kanan kiri atas bawah, lalu hampir terlonjak bahagia saat ada notif balasan. Astagaaa Rinda! Kenapa kumat lagi olengnya.

"Iya," jawabnya singkat.

"Terimakasih atas dispensasinya, Pak," balasku dengan emoticon dua telapak tangan menangkup.

Yeayyyyy, yeayyyy, yeaaayyy, besuk bisa libur. Dapat dispensasi langsung dari manager. Hi hi hi

"Ok," balas Pak Afnan singkat.

Yaaah ... padahal berharap balasannya agak panjang. Misalnya, Ok! I miss u, Rinda. See u!

Jitak jitak jitaaak! Dasar Rinda gakda akhlaq. Beraninya mikir yang bukan-bukan saat suami ada di depan mata. hi hi hi

Ah, daripada oleng, lebih baik menulis beberapa puisi lalu mengirimkannya di beberapa grup F*. Berikutnya larut dalam candaan ketika saling berbalas komentar untuk sekadar mengapresiasi atau memberi krisan.

Menulis adalah satu-satunya cara yang kupilih untuk membunuh waktu. Melipat sepi agar tak berubah jadi sedih. Aku seorang perempuan dengan masa lalu kelam yang sangat berpotensi mengulanginya kembali. Jadi, menulis adalah cara paling aman untuk meredakan apa yang ada di hati.

Malam semakin larut. Ingin rasanya tidur, tapi mata belum ingin terpejam. Puisi milik Mas Ichsan serta nama perempuan itu seperti berputar-putar di kepala. Untuk menuntaskan rasa penasaran, kuketik judul puisi itu di kolom pencarian g****e, tak ditemukan. Lalu beralih mengetik nama cantik itu, Ida Ayu Ambarukmi.

Tiba-tiba ada pergerakan di kursi. Mas Ichsan menggeliat pelan, lalu mengucek mata. Kuamati ia sambil tersenyum, lelaki kesayanganku sudah bangun. Kemudian ia memandang ke arahku lalu balas tersenyum. Detik berikutnya aku sudah menghambur ke pelukannya.

"Aku kangeeen," ujarku sambil memeluknya erat.

Mas Ichsan membetulkan posisi duduknya, lalu balas memelukku. "Kok sudah pulang? Aku kan masih mau jemput," bisiknya di telinga.

Tak kujawab tanyanya. "Aku kangen," ulangku.

Dia tersenyum, mengecup puncak kepalaku, lalu menarik tubuh ini ke pangkuannya. Detik berikutnya tak ada lagi jeda di antara bibir kami berdua. Selama ini, cara paling ampuh untuk meredakan gemuruh rindu di dada ialah dengan menuntaskannya.

Kudorong pelan dadanya saat aku hampir kehabisan napas, dia tertawa lirih. Lalu mencubit hidungku.

"Makin pinter ya, sekarang?" godanya.

"Apanya?" tanyaku pura-pura.

"Sok polos!" dengusnya diiringi sebuah rengkuhan hangat untukku.

"Nggak laper? Kata Mama, Mas belum makan malem?" tanyaku.

"Iya laper, kamu dah makan?" Dia balik bertanya.

"Belum, aku kangen telur mata kuda. Di malang gak ada yang jual," candaku.

Kemudian kami sibuk beraktifitas di dapur, menghangatkan beberapa masakan Mama, lalu makan tengah malam berdua.

"Besok aku libur, Mas," ujarku di sela makan malam kami.

"Cuti?" tanya Mas Ichsan.

"Enggak, dapet dispensasi. Gimana kalau kita antar Mama?" tawarku.

"Mama pulang besok?" tanyanya lagi.

"Iya, katanya kasian Papa, ditinggal sendiri di rumah," jawabku.

Kuamati lelakiku sejenak berpikir. "Kamu nggak capek?"

Ternyata Mas Ichsan menghawatirkanku.

"Enggak, aku juga lagi pingin jalan-jalan," yakinku padanya.

Ingin rasanya jalan-jalan berdua saja dengannya. Setelah mengantar Mama, mungkin kami bisa ke pantai menikmati sunset lalu kulineran di dekat sana. Jika dia tak sanggup menyetir, nanti akan kugantikan.

Mama tinggal di kota sebelah, hanya perlu dua jam perjalanan dari sini dengan kecepatan sedang. Sejak sama-sama pensiun, beliau hanya tinggal berdua dengan Papa, tanpa ART. Katanya, agar bisa menikmati hari tua dengan romantis, semua dikerjakan berdua. Untuk mengisi waktu, mereka membuka sebuah toko elektronik di tepi kota. Adik bungsu Mas Ichsan sedang kuliah di luar kota, sementara kakaknya sudah delapan tahun berdinas di luar pulau.

Makan malam kali ini kami akhiri dengan tergesa. Ada hal lain yang perlu kami lakukan setelahnya. Melanjutkan ungkapan rindu yang tadi sempat tertunda.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status