Share

Kecurigaan Abah-Ummi

Hari ini aku kedatangan Abah dan Ummi. Mereka sangat senang ketika semalam kukabarkan kehamilanku. Begitu pun kedua mertuaku. Keduanya pun sedang on the way ke rumahku sekarang.

"Yaa Allah, nak tak sabar rasanya ummi dipanggil nenek...." Ucap ummi, mengelus perutku yang masih datar.

"Pokoknya kamu akan ibu kirimkan asisten rumah tangga. Biar kandungan kamu aman."

Mertuaku yang sangat perhatian itu sampai memutuskan untuk mempersiapkan seorang asisten rumah tangga.

"Janganlah, Bu. Mas Raka pasti tak mau. Aku juga nggak mau kehadiran asisten rumah tangga membuat aku malas bergerak." Pintaku, mencegah untuk memesan jasa asisten rumah tangga.

Padahal mertuaku sudah sigap akan mengurus. Aku tinggal terima jadi saja.

"Nanti ibu yang bicara dengan Raka."

Kalau sudah begini aku pun tak mau berdebat. Menjaga perasaan ibu mertuaku penting. Apalagi sejak tadi ummi sudah mengirimkan kode untuk tak berdebat panjang.

Perihal asisten rumah tangga secara pribadi aku tak menyukainya. Sebab beberapa hal negatif kadang terjadi. Aku menghindari itu.

"Kamu terima saja saran mertua kamu. Tapi, ingat ada hal yang harus kamu jaga ketika asisten rumah tangga itu bekerja." Nasehat ummi. Aku tahu arah bicara ummi.

"Mengenai Raka, biarkan mertua kamu yang menyampaikan. Oh iya, kamu dan Raka baik-baik saja, kan?" Ummi menatapku.

Aku tersenyum.

"Baik dong ummi. Memang ada apa dengan kami sampai ummi punya asumsi seolah aku tak baik-baik saja?" Tatapku pada ummi.

Ummi kemudian mengambil tanganku, lalu menggandengku duduk di sofa. Mertuaku sedang berada di gazebo samping, menata bunga-bunga.

"Ummi bawakan kamu makanan yang kamu sukai. Biasanya kamu antusias, makan dengan lahapnya. Kenapa sekarang kamu seperti menahan diri?"

Kugigit bibirku pelan. Tak mungkin aku menyampaikan perjanjian itu pada ibu. Perjanjian yang membuatku kesal sampai sekarang.

Aku mungkin akan memakannya nanti. "Mi, Aisya mau nunggu Mas Raka. Biar makannya bareng." Aku berusaha memberikan alasan, agar ummi tak bertanya lebih banyak.

Aku sudah berkomitmen, apa pun keburukan Mas Raka, ummi dan abah tak perlu tahu. Jika pun aku tak sanggup, mungkin aku akan bicara ke ibu mertuaku. Biar dia yang memberikan nasehat pada mas Raka.

"Ya sudah kalau begitu alasannya. Ummi ke mertua kamu, ya." Ucap ummi, lalu berdiri ke arah dapur.

Mertuaku yang hobi masak kuyakin sudah memeriksa kulkas kami, dan melihat apa yang bisa dia olah.

Aku berniat menyusul ummi dan ibu. Namun, kali ini Abah yang memanggilku.

"Bah, bukannya sama ayah di depan?" Lirikku ke arah depan.

"Iya. Tapi mertua kamu sekarang membersihkan mobilnya. Makanya abah menemui kamu."

"Ada yang ingin abah bicarakan?"

Abah menatapku. Matanya seperti kaca pembesar yang tengah mendekteksi wajahku.

Abah dan ummi memang sangat peka melihat perubahanku, meski pun itu kecil. Seolah alarm waspada itu menyala dihati mereka.

"Raka tidak kasar padamu, kan?" Tanya abah serius.

"Abah, Mas Raka baik kok sama Aisya." Balasku dengan hati berbisik. "Baik sikapnya, tapi tidak dengan ucapannya."

"Kamu yakin?" Abah seolah ragu dengan ucapanku.

"Abah, Mas Raka itu menikahiku sudah melewati persetujuan abah. Itu artinya kalau abah pandang dia baik, pasti dia baik ke Aisya." Aku berusaha meyakinkan.

"Abah tak akan ikhlas jika putri yang abah didik dari kecil, abah jaga sampai dewasa di jahatin. Abah tidak ridho." Abah berucap serius sekali.

Aku yang mendengar itu berusaha untuk menahan airmata agar tak berjatuhan. Aku jadi membayangkan jika abah tahu perjanjian yang dibuat mas Raka. Pasti abah akan sangat marah.

****

Mas Raka pulang jelang magrib. Tumben! Biasanya pulang selalu di atas jam sembilan malam.

"Siapa yang datang?" Tanyanya, begitu jasnya sudah kuterima.

"Ayah-ibu dan abah-ummi." Jawabku, melangkah mengambil air putih untuknya.

"Dalam rangka apa?"

"Kehamilanku." Balasku lagi, menyerahkan air putih untuknya.

Mas Raka menerimanya, meneguknya hingga tandas tak tersisa. Yah, meski pun mas Raka menyebalkan, tapi dia masih mau menerima air putih yang kuberikan.

Memang kalau sudah pulang malam, jangan berharap dia akan menyentuh makanan yang ku olah. Makanya kalau dia membalas pesanku di atas jam delapan, aku tak akan memasak untuknya.

"Kamu curhat apa ke ibu?" Tanyanya, sembari melangkah menuju ruang kerjanya.

"Curhat?"

Aku mencoba mengingat. Perasaan aku tak curhat apa pun ke ibu begitu pula ke ummi.

"Kamu minta asisten rumah tangga?"

Oh, rupanya ibu sudah menyampaikan pada mas Raka.

"Memangnya ibu bilangnya apa?" Tanyaku.

Takut salah kalau tak menanyakannya dulu. Sebisa mungkin aku harus menghindari kesalahpahaman.

"Ibu bilang kamu butuh asisten rumah tangga untuk menjaga kehamilan kamu. Memang iya, harus?"

Tuh, persis! Pertanyaan mas Raka yang pertama persis jebakan. Syukur aku sudah banyak belajar menangkap pesan ummi untuk perkara yang dianggap remeh dalam rumah tangga. Kalau tidak....

"Oh, aku sih sudah nolak ibu untuk itu. Tapi mungkin ibu punya alasan lain mengapa menganggap itu perlu."

Mas Raka lalu terdiam. Dia melangkah menuju kulkas. Setelah membukanya mendapati banyaknya makanan yang dibawa ibu dan ummi, dia menatapku.

"Sebanyak ini untuk apa?"

"Yah untuk kita-lah mas." Jawabku santai. Aku seolah tahu apa yang ada dipikirannya sekarang.

"Memang untuk kita. Sebanyak ini?" Tatapnya, memerhatikan tubuhku. Pasti ketakutannya aku gemuk mulai muncul lagi.

"Yah, hargailah ibu kita masing-masing." Aku menimpali. "Tak mungkin, kan aku menolak pemberian mereka." Sambungku lagi.

"Dan kamu akan makan ini semua?"

Sebel, deh kalau sudah menyinggung masalah ini. Seolah masalah makanan adalah hal yang menakutkan.

"Kan sama kamu, mas."

"Aku aja jaga tubuhku tetap ideal. Kamu juga harus-lah."

Huf, alamat berdebat lagi, nih.

"Terus mau mas apa?"

"Bungkus dan bagikan ke orang yang butuh!" Ucapnya, sembari menutup pintu kulkas kasar.

"Kalau begitu mau mas, mas aja yang urus. Bantu aku." Ucapku dengan perasaan sedih.

Kutinggalkan mas Raka, masuk ke dalam kamar. Aku berdiri di balkon sembari memerhatikan lingkungan rumah. Sepertinya aku butuh teman ngobrol, ditemani secangkir minuman cokelat.

"Mas, aku izin ke luar." Ucapku mendekati mas Raka.

"Ditemani?" Tanyanya, menawarkan diri.

"Nggak usah. Aku mau ketemu teman aja. Aira."

"Lama tidak? Masa aku pulang kamu ke luar."

Jleb banget!

Aku menghela napas dalam. Rasanya ke luar sekarang pun tidak tepat rasanya. Mas Raka keberatan.

"Kenapa? Nggak jadi?"

Rupanya mas Raka mengejar langkahku.

"Kalau begitu, temani aku berbagi makanan yang banyak itu. Gimana?"

Meski pun berat, kuanggukkan kepalaku.

Dan aku hanya bisa pasrah, saat makanan kesukaanku, buatan ummi harus ikut diangkutnya ke dalam food container.

"Mas, kok kamu tega, sih?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status