Share

Sensi disebut Obesitas

"Nggak terasa calon ponakanku sudah tiga bulan." Syerin berucap dengan tangan sibuk membuka buku pink yang kuserahkan padanya.

Dia menatapku.

"Kak, ada beban jadi istrinya Mas Raka?"

Syerin menatapku. Mas Raka izin ke luar ruangan karena menerima panggilan telepon.

"Beban?" Aku gantian menatap Syerin.

"Kak, usia kandungan seharusnya beratnya sudah sekitar 40 gram. Nah, ini kenapa beratnya kurang dari itu?"

Kugigit bibirku, terpukul dengan ucapan Syerin barusan.

"Kalau kakak diet, please jangan egois. Janin ini nggak bisa diajak diet!" Ucap Syerin kesal.

"Sudah banyak yang konsultasi, tapi tak ada kasus seperti kakak ini. Janinnya nanti lahirnya malah kecil, bisa jadi prematur, kekurangan gizi. Pokoknya banyak sebabnya jadi tolong perhatikan dia." Pinta Syerin padaku.

"Mas Raka nggak membatasi kakak makan, kan?" Tatap Syerin lagi. Dia bertanya hati-hati padaku. Tubuhnya saja sampai condong ke arahku.

Aku memilih diam. Syerin memicingkan mata, menatapku.

"Pasti Mas Raka nih, sebabnya. Karena dia pun selalu bilang ke Syerin untuk jaga tubuh. Jangan kerjanya makan. Aku curiga sikap dia ini dibawa ke rumah tangga kakak. Iya, kan?"

Perlahan, kepalaku terangguk juga.

Syerin menghempaskan tubuhnya di sofa. Matanya menatapku lekat.

"Kakak bisa membantahnya, kan?" Tanyanya dengan mata memandang prihatin. "Lakukan semua karena janin kakak."

Andai bisa Rin. Andai tak ada yang namanya perjanjian, mungkin saja aku bisa melakukannya. Perjanjian yang dibuat sepihak tanpa pernah aku ketahui dia memikirkan itu.

"Kak, Syerin bantu ngomong ke Mas Raka, ya...."

Kutahan tangan Syerin dengan gelengan kecil dan kedipan mata.

"Kenapa tidak boleh?"

Kuatur napasku sedemikian rupa. Syerin tak pernah tahu apa yang menjadi komitmenku. Menjelaskan padanya mungkin adalah pilihan terbaik untuk menghindari konflik dengan Mas Raka.

Aku sangat tahu, sejak Syerin terakhir berkunjung, saat dia menanyai keadaanku. Selepas Syerin pulang, Mas Raka mendatangiku. Dia tak suka aku menceritakan masalah rumah tangga kami dengan siapa pun. Disitu aku sadar kalau Mas Raka tak mau perihal perjanjian itu diketahui pihak keluarganya.

"Ini tentang keluarga kakak. Jadi kakak minta tolong untuk tak menyampaikan ke Mas Raka. Nanti kakak yang akan mengusahakan mengobrol dengannya." Pintaku pada Syerin.

"Kak, kalau terlambat fatal, loh! Ini penting. Syerin melihatnya saja gemas."

Aku tahu perasaan Syerin. Dia dokter yang harus memprioritaskan pasiennya. Namun dalam hal ini masalah itu ada pada kakaknya sendiri.

Tepat setelah aku bicara dengan Syerin, Mas Raka masuk. Dia memandangiku bergantian dengan Syerin.

"Mas duduk dulu, deh...." Syerin memberikan kursi ke Mas Raka. Aku memandangi Syerin.

"Mas janin dikandungan Kak Aisya butuh asupan yang banyak. Vitamin yang bagus. Asam folatnya harua tercukupi. Tapi, sejauh yang kudapatkan, Janin ini besaranya malah harusnya tak begini."

Syerin menunjukkan hasil USGku pada Mas Raka. Mas Raka memandanginya dengan anggukan kepala. Lalu menoleh padaku.

"Sayang, kamu minum vitamin yang sudah aku sediakan, kan?"

Aku mengangguk.

"Mas, vitamin saja tak cukup. Buah, protein dan seterusnya. Disiapkan tidak? Mas itu harus jadi suami siaga. Calon ayah siaga." Syerin terus menasehati Mas Raka.

Bukan sebagai adik, tapi tepatnya sebagai dokter.

"Meski pun kecil, sehat kan?"

Syerin memandangi Mas Raka. Ucapan Mas Raka membuat dia kesal.

"Belum tentu...." Syerin menjawab greget.

"Yah mending begitu, kan daripada nanti lahirnya obesitas."

Aku dan Syerin saling pandang. Jawaban Mas Raka benar-benar di luar nalar. Ada ya, calon ayah macam Mas Raka ini. Biasanya setiap lelaki yang akan menerima kehadiran anak pertama pasti excited. Nah, Mas Raka beda. Dia malah bisa-bisanya kepikiran anaknya akan obesitas.

"Mas, anak ini masih janin. Belum juga lahir sudah yang dibahas obesitas! Itu tuh yang berpotensi malah Mas!"

Mas Raka menatap Syerin. Tatapannya tak pernah seperti ini. Mas Raka tersinggung sekali dengan ucapan Syerin. Aku tak tahu apa yang membuat dia seperti itu.

"Ayo pulang!" Ajaknya tiba-tiba padaku.

"Tapi, Mas...."

"Kamu mau dengar aku atau tidak?"

Sepertinya situasiku tak baik sekarang. Aku mengambil tasku dan hanya bisa mengucapkan sepatah kata untuk Syerin.

"Maaf."

*****

Hening,

Tak ada omongan sama sekali di dalam mobil. Mas Raka sepertinya masih sangat kesal dikatai dia yang kemungkinan bisa obesitas.

Hah, kuelus perutku, tempat janinku berjuang untuk tetap kuat.

"Nak lihatlah ayahmu ini. Ternyata sensi disebut obesitas. Sementara ayahmu selalu menyinggung itu ke bundamu ini."

"Ganti dokter ajalah...."

Hah? Setelah hening itu dengan mudahnya Mas Raka bilang ganti dokter? Apa dia tak sadar semua dokter kemungkinan akan bereaksi sama?

"Lalu kalau dokternya setipe dengan Syerin, pindah lagi?" Lirikku sebentar lalu berfokus ke jalan.

Mas Raka terdiam. Dia memperbaiki letak kacamatanya. Sebenarnya kenapa sih, Mas Raka ini begitu sensitif sekali dengan kata gendut, gemuk, dan obesitas.

"Kita cari dokter yang tak banyak bicara."

"Yah kalau begitu, Mas aja yang cari. Lagi pula aku ragu ada dokter yang pendiam, apalagi dokter kandungan."

"Terserah kamulah. Kalau terus mau sama Syerin, lain kali pergi saja sendiri."

Hah???

Lucu! Masa iya aku sendirian sementara dia sangat bisa menemani.

"Mas aku ajak agar tahu perkembangan anaknya. Jadi resiko dong kalau dokter memberikan masukan. Kalau mau ya, turuti saja dulu semuanya. Buah, sayur, vitamin, dan makanan lain. Aku tidak usah dibatasi makannya."

Mas Raka menggeleng.

"Tidak! Pokoknya kamu tidak boleh gemuk!"

Seketika kepalaku dibuat pening.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status