Share

12. Bab 12

DIKIRA MISKIN 12

Aku pikir kehamilanku ini akan disambut dengan suka cita oleh keluarga Mas Yudi, seperti saat Mbak Ranti hamil, mereka begitu bahagia mendengarnya, bahkan sampai diadakan acara besar-besaran untuk merayakannya. Namun, jangankan dirayakan, disambut dengan senyuman pun tidak. Sedih dan sakit hati ini. Hampir saja tangisku pecah menghadapi kenyataan ini.

Kami pun mengurungkan niat untuk menginap di rumah Ibu dan memilih pulang lagi dengan membawa sejuta luka yang entah bisa disembuhkan atau tidak. Luka terkena senjata tajam, lambat laun akan mengering dan menghilang. Namun, luka karena lidah yang tajam, sulit untuk dihilangkan. 

Mas Yudi tetap memberi kabar saat aku melahirkan. Berharap mereka mau datang untuk menyambut kehadiran anggota keluarga baru mereka. Tapi, mereka tidak mau datang juga.

"Malas, ah, datang, jangankan mendapatkan jamuan yang enak, tempat yang layak saja, pasti tidak akan kami dapatkan," kata Mbak Wiwid dari seberang telepon.

Bukan hanya Mbak Wiwid yang tidak datang, Mbak Ranti juga tidak mau datang dengan alasan yang sama. Begitu juga dengan Ibu.

Mereka tidak tahu, usaha kami sudah mulai berkembang, meski belum pesat seperti sekarang. Kami juga sudah punya rumah baru yang lebih layak meski masih nyicil saat aku melahirkan Sasya.

Ah, bayangan tentang masa lalu itu sangat menyakitkan. Aku sudah berusaha melupakan, tapi, kenapa dia selalu datang?

_____________

Kuminta suamiku mandi, ganti baju dan makan.

"Ibu sudah makan, Dek?" Tanya Mas Yudi usai mandi.

"Sudah, Mas, sekarang sedang istirahat," jawabku seraya mengambil nasi beserta lauk dan sayurnya ke dalam piring dan mengulurkan pada Mas Yudi.

"Terima kasih ya, Dek, kamu sudah mau merawat Ibu," 

"Iya, Mas, Ibu kamu tentu Ibuku juga. Jadi, sudah sewajarnya aku merawatnya dengan baik," ucapku tersenyum.

"Sasya mana?" Tanya Mas Yudi celingukan mencari anak semata wayangnya itu.

"Habis bermain dan mandi, ia langsung tidur, sepertinya mulai ia betah tinggal di sini, Mas, nggak rewel lagi," jawabku dengan senyum mengembang di bibirku.

Anak-anak memang begitu, dia tidak nyaman berada di lingkungan baru. Begitu juga dengan Sasya, awalnya dia rewel saat baru pertama kali menginap di sini. Sekarang tidak lagi, mungkin karena neneknya juga mulai  menunjukkan kalau ia sayang pada cucunya, sehingga Sasya juga merasa nyaman. 

"Mbak Ranti juga sedang panen sekarang meski tidak sebanyak punya Ibu, tapi, masih mending daripada sawah Mbak Wiwid yang menganggur tidak ditanami apa-apa," ucap Mas Yudi usai makan.

Mas Yudi, Mbak Ranti dan Mbak Wiwid memang lahir dari rahim dan Bapak yang sama, namun, bukan berarti mereka punya sifat yang sama. Mbak Wiwid dan Mbak Ranti hanya punya satu kesamaan, yaitu, sama-sama sombong dan suka merendahkan orang lain.

Mbak Wiwid orangnya pemalas dan lebih senang tinggal di rumah menunggu suami pulang kerja. Ia hobi rebahan sambil bermain ponsel sepanjang hari dan kalau sudah capek rebahan, ia akan menghibur diri dengan goyang tik-tok.

Mbak Ranti berbeda dengan Mbak Wiwid, ia adalah seorang pekerja keras. Meski suaminya sudah menjadi pegawai negeri, namun ia tetap tidak mau jika hanya berdiam diri di rumah. Ia lebih memilih untuk bekerja apa saja di sawah pemberian orang tuanya. Tak heran, jika sawahnya tidak pernah menganggur atau sering punya hasil panen. Itu semua  hasil dari kerja keras Mbak Ranti.

Sekarang, di saat sawah Mbak Wiwid tidak ditanami apapun, di sawah Mbak Ranti sedang panen cabai, padahal belum lama ini katanya ia juga baru saja panen sayur kol.

Mungkin Mbak Ranti sekarang memang punya uang, sehingga dia bisa membantu Adiknya untuk membayar utang. Jika benar seperti itu, betapa mulia hatinya, mau membantu saudara yang sedang kesusahan. Tapi, kenapa tadi ada drama pingsan segala? Harusnya kalau ia memang punya uang, dia tidak perlu beradegan pingsan, kan?

Sepertinya aku harus menunggu seminggu lagi untuk mengetahui jawabannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status