Bi Narti mengoceh panjang saat aku datang. Katanya ada tamu semalam, tapi saat diminta menunggu untuk menghubungiku atau Mas Arsya, orang itu memilih pergi. Bi Narti juga belum sempat menanyakan nama orang itu. Aku memilih masuk kamar saat Bi Narti menawari makan siang. Tadi, aku sudah makan di acara arisan dengan Mama. Jadi, rasanya masih cukup kenyang. Aku lantas berganti pakaian rumahan yang lebih nyaman dan bergegas mengambil wudu. Sudah pukul satu siang, sedangkan aku belum salat Zuhur. Aku masih saja kepikiran dengan sikap Mama. Apa yang sebenarnya membuat dia marah? Kenapa meskipun sudah dijelaskan, prasangkanya terhadapku masih saja ada? Adam? Apa mungkin Mama ada masa lalu buruk dengan laki-laki itu? Atau masih ada hubungannya dengan Jihan? Ah, memikirkan itu membuatku kembali dilanda kebingungan. Terserah saja Mama mau menganggapku seperti apa, yang penting tuduhan itu tidaklah benar. Usai salat, pintu kamarku diketuk, lalu diikuti panggilan dari Bi Narti. Aku pun berge
PoV ArsyaManda cenderung diam sejak sore tadi. Selepas dia mandi, azan Magrib berkumandang. Kami pun salat berjemaah dan melanjutkan mengaji hingga Isya. Selama itu pula, kami fokus dengan bacaan masing-masing. Namun, usai salat Isya, Manda tetap diam dan hanya sesekali menanggapi perkataanku. Sepertinya, dia marah karena aku membuang bunga yang tidak jelas pengirimnya tadi. Dia terlihat begitu kecewa, bahkan selalu memalingkan muka ataupun menunduk saat kuajak bicara. "Sayang, jangan tidur dulu. Makan malam dulu, yuk!" ajakku saat dia justru merebahkan badan di tempat tidur usai melipat mukena. "Aku nggak pengen makan. Mau tidur aja," jawabnya, lalu menarik selimut hingga leher. Aku sangat bingung jika menghadapi Manda yang diam seperti itu. Akan lebih baik jika dia marah-marah dan mengeluarkan semua yang mengganjal di hati. Aku lebih siap mengahadapi sikapnya yang seperti itu daripada sikap diamnya. "Aku bawa makanannya ke sini, ya? Atau mau disuapi?" Lagi-lagi, ucapanku tida
Mas Arsya sudah terlelap sejak sekitar pukul sepuluh tadi. Pastinya, dia lelah setelah seharian bekerja. Meskipun dokter sudah memperbolehkannya beraktivitas normal, tatap saja aku merasa khawatir. Apalagi, kondisinya masih dalam pantauan hingga tiga bulan setelah operasi.Memilikinya adalah anugerah yang harus selalu kusyukuri. Dia begitu menyayangiku, bahkan setelah putrinya meninggal saat bersamaku. Meskipun bukti menyatakan Jihan sebagai penyebab kecelakaan, tetap saja itu membuatku merasa bersalah. Aku kembali gelisah malam ini. Bukan karena memikirkan keberadaan Mas Danu, tapi aku ingin makan wedang ronde. Sedari tadi, aroma jahe bercampur gula merah tercium begitu wangi. Lalu, bayangan kacang dan butiran ronde terus melintas di kepala. Akan tetapi, ingin membangunkan Mas Arsya, rasanya tidak tega. Aku akhirnya memilih keluar dari kamar dan mencoba mencari sesuatu di dapur. Siapa tahu, Bi Narti masih punya stok jahe dan gula merah. Setidaknya, minum air jahe seperti itu akan s
Aku tidak tahu harus bagaimana. Rasa takut jika Mas Arsya akan marah seperti tadi siang membuatku membeku di tempat. Berulang kali aku menatap bergantian antara Mas Arsya dan si penjual wedang ronde yang mengulurkan sekuntum bunga mawar. Aku tidak ingin hubungan dengan Mas Arsya memburuk lagi hanya karena salah paham yang entah siapa penyebabnya. Akan tetapi, Mas Arsya menyuruhku mengambil bunga itu. Dengan terpaksa, aku menerima bunga itu dan membiarkan si pengantar langsung pergi. Ada kertas yang dililitkan di batang rupanya. Aku terus melirik ke arah Mas Arsya, tapi ekspresinya biasa saja. "Buka dulu, baca kalau ada tulisannya," ucapnya sambil memasukkan dua plastik besar wedang ronde ke jok penumpang di belakang kemudi. Aku pun menurut meskipun melakukannya dengan takut-takut. Namun, kalimat yang tertulis pada kertas ini membuatku justru mengerutkan kening. Jika wedang ronde menghangantkan dengan jaheKamu menghangatkanku dengan cintadari suamimu yang paling tampan saat di k
"Apa yang terjadi, Ni? Bukannya kamu dan Mas Adam baik-baik saja? Kalian juga akan segera menikah, bukan?" cecarku begitu Kaniya duduk. Sengaja aku meminta gadis berlesung pipit itu untuk datang di mana aku, Mas Arsya, dan Mas Danu masih di tempat makan dekat klinik. Dia menangis dengan wajah bingung. Padahal, di hari pertama aku kembali dari Jogja, Kaniya dan Adam terlihat baik-baik saja. "Mas Adam hanya menggunakanku sebagai media informasi, Nda. Dia banyak menanyakan soal kamu saat kami bersama. Di mana tempat tinggalmu, siapa saudaramu, siapa orang tuamu, apa makanan kesukaanmu, pokoknya semua hal tentangmu. Awalnya, aku biasa saja, tapi lama-lama dia keterlaluan. Mas Adam terang-terangan memutuskan hubungan kami saat kamu dan Pak Arsya pergi di hari kita ketemuan pekan lalu." Kaniya menahan isak tangis meskipun air matanya sudah berkali-kali jatuh. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Adam. Kenapa dia seperti itu? Siapalah aku yang sampai membuat dia sampai seperti itu? At
Malam ini, Mama dan Papa menginap di rumah Mas Arsya. Aku berterima kasih karena luka di wajah ini membuatku disayang mertua. Sebelum aku tidur, Mama menyempatkan mengompres mukaku dengan air hangat. Dalam hati, aku begitu bahagia. Hingga malam mulai larut dan suara binatang malam bersahut-sahutan, kedua mataku justru tidak mau memejam. Apa istimewanya aku sehingga masalah seperti ingin selalu mendekat? Adam, aku sedikit tidak percaya jika dia dan Jihan adalah saudara. Lalu, apa maksudnya mendekati Kaniya hanya untuk mengorek informasi tentangku? Dan bunga siang itu? Apakah benar seperti kata Mas Danu jika Adam-lah pengirimnya? Dari dulu, Adam memang penuh teka-teki. Dokter Fahira juga pernah mengatakan jika Adam masih begitu mencintaiku. Namun, apakah cinta itu masih menjadi alasan ataukah justru dendam karena Jihan benar-benar mendapat hukuman? Tak ada habisnya otakku mengeluarkan tanya. Namun, tak satu pun jawaban mampu kutemukan dalam waktu singkat. Entah kenapa, hidupku seper
PoV ArsyaAku masih terus ingat apa kata Mama saat mengantarnya ke pasar tadi. Mama mengulangi permintaan yang dulu pernah dikatakan kepadaku. Mama menyuruhku membantu Papa di perusahaan serta mengajak Manda pindah ke rumah mereka. Itu cukup sulit karena aku tidak ingin Manda tertekan batin jika harus setiap saat bertemu Mama. Meskipun jika kulihat sekarang, Mama sudah banyak berubah sikap terhadap Manda, tetap saja aku tidak tenang. Saat aku akan berangkat bekerja tadi pun, aku justru melihat tingkah Manda yang tidak seperti biasanya. Beberapa kali dia ingin bicara, tapi selalu diurungkan. Entah apa yang akan dia katakan, bahkan saat aku kirim pesan, dia membalas dengan kata tidak apa-apa. "Pak Arsya masih galau mulu?" tegur Edo saat aku sedang duduk menikmati kopi sendirian di pantry. "Udah ketemu yang kemarin itu?" Dia beralih mengambil cangkir dan sepertinya akan membuat kopi juga. "Yang kemarin itu parah, Do. Harusnya emang istriku nggak usah tahu dulu, tapi ... ah, entahlah!
Taksi yang kupesan sudah datang dan siap mengantar ke rumah sakit. Siang ini, jadwal kontrol Mas Arsya sesuai anjuran dari dokter yang menanganinya saat di Jogja. Sengaja kami mendaftar untuk jam siang karena Mas Arsya hanya izin bekerja setengah hari. Dia tidak enak jika terlalu sering meninggalkan pekerjaan lagi. Awalnya, Mas Arsya tidak mengizinkanku berangqkat 1sendiri, tapi untuk menghemat waktu, kami janjian langsung di rumah sakit saja. Jadi, Mas Arsya tidak perlu harus menjemputku terlebih dahulu. "Sayang harus hati-hati, ya. Bilang sama sopir Qtaksinya, jangan ngebut bawa mobilnya. Terus, kalau ada yang aneh, langsung telepon. Yang penting, jangan panik. Bawa juga parfum yang kecil aja. Kalau ada yang gangguin, semprot matanya."Itu serentetan wejangan yang Mas Arsya ucapkan saat menelepon sebelum taksi datang. Dia begitu mencemaskanku. Namun, perhatian itu sangat berharga untukku. Serasa menjadi ratu setiap saat. Aku keluar dari rumah dikawal oleh Bi Narti. Dia juga diama