"Mas ngomong kaya gitu seolah-olah tidak pernah buat kesalahan pada kami, terutama sama Bapak dan Ibu?""Ya Allah ... Mas benar-benar berubah setelah merantau. Mbak Ayu dan Mbak Wisna pun berubah setelah menikah. Apa kalian salah pergaulan dan lingkungan, Mas? Arumi kangen dengan kalian yang dulu."Kakiku lemas seperti tak bisa menopang tubuh ini. Tangisku pun pecah seketika teringat kebersamaan kami dahulu."Nggak ada yang berubah dari diriku. Kalian aja yang terlalu sensitif dan baperan, Rum," katanya dengan enteng."Jadi maksudnya Bapak, Ibu dan Arumi yang salah gitu, Mas, bukan kalian? Oh, ya, kalau begitu Arumi coba untuk nggak baperan dan sensitif seperti apa yang Mas bilang." Wajahnya berubah binar, Mas Aron tersenyum seraya menganggukkan kepalanya pelan."Nah, gitu dong, Rum. Zaman sudah semakin modern. Jangan jadi orang yang kampungan lagi. Kalau bisa nanti kamu cari pasangan yang bisa naikkan derajatmu," katanya semringah.Tanpa peduli dengan omongannya aku segera kembali m
"Makasih, Dev. Padahal kita nggak punya hubungan darah, tapi kamu baik banget sama aku," kataku terharu."Jangan kaya gitulah, Rum. Kita ini saudara seiman dan setanah air," sahutnya tersenyum.Setelah menunggu beberapa menit makanan pun jadi satu per satu. Lalu Devi pun mengajakku untuk membeli minuman boba yang kekinian. Devi juga membelikan untuk Bapak dan ibuku."Arumi!" Seseorang memanggilku.Aku menoleh ke sumber suara tersebut dan mencari siapa orang yang memanggilku.Seorang pria menaiki motor sport memakai helm juga masker melambaikan tangannya padaku."Habis jajan, Rum?" tanyanya.Suaranya sangat familiar tapi aku belum tahu siapa lelaki dibalik masker itu. Ia lantas membuka helm serta maskernya."Refaldy," gumamku."Habis jajan apa?" tanyanya lagi."Ini beli martabak sama makanan yang lain."Pantas saja aku tidak mengenalinya, karena beberapa kali bertemu dan mengantarkan aku pulang ia menggunakan motor matic bukan motor sport."Ini yang mau ngajak kamu kerja, Rum?" tanya D
Senin pagi, hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Aku sudah mempersiapkan semuanya semalam sebelum tidur untuk melamar pekerjaan dengan Refaldy juga Ratna.Refaldy bilang tak usah pakai atasan kemeja putih serta bawahan hitam seperti pada umumnya orang melamar pekerjaan. Ia hanya menyuruhku untuk berpakaian rapih serta sopan.Syukurlah Refaldy berkata seperti itu. Jadi Bapak dan Ibu tak akan curiga padaku jika aku sudah tak kerja lagi di toko roti.Nanti aku akan bilang jika memang sudah mendapatkan pekerjaan yang baru. Semoga saja aku diterima pekerjaan di sana."Sudah mau berangkat, Nduk?" tanya Bapak ketika aku sedang bersiap-siap."Nanti jangan lupa sarapan dulu, Nduk." Ibu mengingatkan."Iya, Pak, Bu. Doain biar semuanya lancar hari ini," kataku."Aamiin. Ibu sama Bapak selalu mendoakan kamu serta anak-anak kami yang lain."****Sebuah mobil Toyota Alphard berwarna hitam berjalan ke arah rumah orang tuaku. Aku tidak tahu siapa itu yang datang, mungkin saja teman atau kerabatnya k
"Dinner berdua?" tanyaku lagi untuk memastikan ucapan Refaldy. Apakah ia serius atau bercanda saja.Tapi mimik wajahnya memang terlihat serius, tak ada raut bercanda atau hanya sekedar basa-basi saja."Iya berdua," ucapnya meyakinkan."Bagaimana?" tanyanya lagi meminta jawaban."Aku belum pernah dinner berdua dengan lelaki.""Kalau begitu, ajak kedua orang tuamu," katanya sambil tersenyum."Hah?"Aku bingung harus menjawab apa lagi. Ingin menolak tetapi aku tidak enak, apalagi Refaldy sudah sangat baik kepadaku.Tapi ....Untuk dinner berdua pun aku merasa canggung karena sebelumnya aku memang tidak pernah dinner dengan lelaki berduaan. Apalagi yang bukan mahramku.Lalu ... bagaimana ini."Kamu sedang tidak menolakku secara halus 'kan?" tanyanya dengan wajah penuh harapan."Ma--mau kapan dinnernya?" ucapku gugup."Nanti malam, Rum, siap kan?" Refaldy sangat antusias sekali, sementara dari tadi Ratna terus mengulum senyum mendengarkan obrolan kami."Eheeem." Ratna berdehem.Refaldy me
"Kamu itu memang harus ditampar, Rum, biar nggak kurang ajar!" bela Mas Aron pada istrinya."Sudah cukup! Jika kamu ingin pergi ke Jakarta sekarang silakan pergi! Kalian semua juga pergi saja dari rumah Bapak!" Bapak menantap nyalang pada anak-anaknya."Bapak ngusir kami?" tanya Mbak Wisna."Iya, daripada setiap hari buat keributan aja di sini!" tegasnya."Anak bungsu Bapak yang selalu nyari perkara!" tukas Mbak Ayu menunjuk wajahku geram.Di rumah Bapak hanya tinggal Mbak Wisna, Mbak Ayu, Mas Aron dan juga istrinya. Sementara yang lain sudah pamit pergi karena katanya ada urusan pekerjaan.Sebenarnya rumah Mbak Ayu masih satu kota dengan Bapak hanya beda desa saja, sementara Mbak Wisna dan Mas Aron memang sudah jauh dengan Bapak dan Ibu.Tanpa banyak omong lagi Mas Aron segera menarik tangan istrinya untuk membereskan barang-barang mereka dan segera pergi dari sini.Aku diam saja tak membantu begitupun dengan Bapak dan Ibu.Mas Aron membereskan barangnya dengan tergesa karena keadaan
Aku meminta tolong pada dua orang lelaki itu untuk membawakan kulkasnya ke dapur saja.Selesai menaruh kulkas mereka pun berpamitan pergi, namun sebelum pergi aku memberikan uang tip untuk mereka membeli rokok."Rum, ini kulkas mahal banget lho. Dijual berapa sama temanmu?" tanya Pakde Nirwan."Dia jual ke aku cuma satu juta setengah, Pakde."Pakde Nirwan dan istrinya melongo setelah mengetahui harga jual kulkas itu."Masya Allah, temanmu pasti orang kaya, Rum. Sekalian sedekah itu dia, wong Bu Haji tempo hari beli kulkas dua pintu kaya gitu harganya sampai sepuluh juta."Sekarang giliran aku yang terpengarah mendengar jawaban Pakde."Rejekimu bagus, Rum," imbuh Bude Win."Alhamdulillah, Bude," sahutku.Selesai aku belanja dan mereka sudah melihat kulkas baruku. Bude dan Pakde pun berpamitan pergi untuk berkeliling kembali.Aku dan Ibu segera masuk ke dalam membawa barang belanjaan yang tadi kami beli.Setruman kulkas tadi sudah dicolok oleh dua lelaki yang membawa kulkas. Aku dan Ibu
Semua sudah selesai--dipersiapkan secara mendadak. Karena Refaldy pun memberitahukannya mendadak sekali.Aku kira bukan malam ini dia akan mengajakku untuk dinner. Makanya aku santai-santai saja.Ibu dan Bapak pun sudah berganti baju--siap untuk menyambut kedatangan Refaldy.Deru mesin mobil terdengar di halaman rumah. Apa mungkin Refaldy ke sini meminjam mobil bosnya lagi? Hem, bisa saja sih. Bosnya memang sangat baik, mungkin Refaldy anak buah kesayangannya. Makanya diperlakukan dengan istimewa.Tok! Tok!"Assalamualaikum."Buru-buru aku membukakannya pintu dan membalas salamnya. Ia tersenyum ketika menyambutnya. Begitu banyak buah tangan yang Refaldy bawa ke rumahku. Aku jadi tidak enak hati padanya."Ayo masuk," ajakku.Refaldy pun mengangguk lalu masuk mengekoriku dari belakang."Assalamualaikum, Pak, Bu." Refaldy mencium punggung tangan orang tuaku dengan takzim."Waalaikumsalam.""Ayo silakan duduk, Nak. Tapi maaf, ya, rumah Bapak memang seperti ini lantainya. Masih berupa pel
"Bedebah!" Mbak Ayu menantapku nyalang.Mbak Ayu tak membalas ia gegas ke kamar mengambil barang-barangnya yang tertinggal."Iya Mami, aku akan segera menyusul. Aku cuma mengambil barang-barangku yang tertinggal aja."Sepertinya Mbak Ayu sedang menerima telepon dari Ibu mertuanya. Selesai mengambil barang yang tertinggal Mbak Ayu lantas pergi meninggalkan rumah ini tanpa peduli dengan tatapan kami.Bukan mauku seperti ini, Mbak. Sungguh, ada rasa penyesalan menamparmu. Biar bagaimanapun kamu kakakku. Tapi perlakuanmu yang membuat aku reflek melayangkan tamparan.Sebelum benar-benar pergi meninggalkan halaman rumah. Mbak Ayu menurunkan kaca mobilnya dan menoleh pada kami dengan mata yang berkaca-kaca.Setelahnya ia membuang pandangan ke arah lain dan pergi.Refaldy keluar dari dalam kamar mandi seusai kepergian Mbak Ayu. Wajahnya seperti tidak nyaman dan tidak enak hati atas kejadian ini."Maafkan kegaduhan ini," lirih Ibu."Nggak papa, Bu. Oiyaa, aku tadi dapat pesan dari bos suruh je