Otakku berpikir keras. Siapa wanita dalam foto ini? Mungkin teman wanita Bapak Edi? Atau jangan-jangan mantan kekasih?Jika benar ini gambar mantan kekasih Bapak Edi, lalu hubungannya dengan Bian apa? Kenapa sampai pemuda begajul*n itu menyimpannya?Dari cerita, Ega bilang jika dia bertemu dengan Bian akibat terkena gempa. Mereka satu nasib. Sama-sama kehilangan kedua orang tuanya.Apakah ... wanita dalam foto ini ibunya Bian? Dan Bapak Edi dengan Bian punya pertalian darah? Ohhh ... kenapa aku bisa berpikir sejauh itu?Aku menepuk jidat. Mertua lelakiku adalah orang yang baik. Rasanya tidak mungkin jika dia punya wanita simpanan.Namun, bukankah Ibu Gina memang tidak bisa mempunyai keturunan. Makanya mereka mengadopsi Ega. Mungkin kah alasan itu yang membuat Bapak Edi berselingkuh. Dan tahu kah beliau tentang asal usul Bian?Aku harus mencari tahu. Foto lawas ini aku masukkan ke kantung piayama. Lalu mulai melangkah menuju meja makan kembali. Ternyata Ega dan Tania sudah selesai maka
"Dasar wanita jal*Ng!" geram Bian tampak naik pitam. Tidak keras, tetapi penuh dengan penekanan. Bahkan tangannya terlihat mengepal keras. Lelaki itu melangkah cepat menuju meja yang kutunjuk.Wahhh ... sebentar lagi akan ada drama. Aku penasaran apa reaksi Tania dan juga Mas Galih. Lihatlah betapa terkejutnya Tania menyadari kehadiran Bian.Jarak ini membuat percakapan mereka tidak tertangkap kuping. Tapi, jika dilihat dari lagaknya, sepertinya Tania tengah berpura-pura lagi. Gadis itu tersenyum kecut seraya mengenalkan Mas Galih pada Bian. Dan Bian menerima uluran tangan itu, walau wajahnya masih menampilkan rona kecemburuan."Mika, kenapa tidak ikutan gabung dengan mereka?"Deg!Aku tertegun. Suara yang setiap hari tidak asing itu terdengar. Benar saja, ketika aku berpaling ada sosok Ega tengah menatapku heran.Kenapa Ega bisa ada di sini juga?"Kenapa tidak gabung dengan mereka?" ulang Ega masih menatap heran.Belum sempat menjawab, pria itu beranjak menuju meja Tania. Akhirnya, k
Sesaat aku tercekat melihat foto Bapak Edi yang penuh coretan darah itu. Namun, lekas kunetralkan dengan menghirup oksigen sebanyak mungkin. Merasa cukup tenang, pintu kamar lekas kututup. Takut Ibu Gina dan Bapak Edi masuk ke kamar ini.Usai menutup pintu dan menguncinya rapat, aku mendekati foto tersebut. Tangan ini sedikit bergetar saat menarik gambar itu dari tembok. Aroma amis menguar begitu foto itu aku dekatkan ke hidung.Walau sudah mengering, tapi memang benar-benar darah. Hiii ... aku bergidik ngeri. Refleks foto itu aku buang ke lantai. Bian mengerikan sekali. Pasti ada maksud terselubung dari keberadaannya di sini.Apakah dia berencana buruk pada bapak mertua? Tapi kenapa? Apakah ini ada hubungannya dengan foto yang ia jatuhkan dulu?Andai dugaanku benar jika memang Bian adalah putra kandung dari Bapak Edi, kenapa dia melakukan ini? Mungkin kah Bian dendam pada Bapak Edi karena sesuatu hal yang tidak kuketahui?Aku menggeleng. Ini rumit. Aku tidak bisa memecahkannya sendir
Usai berucap demikian, Bapak Edi pun berlalu. Pria itu diam saja saat berpapasan dengan Tania. Dia sama sekali tidak merespon walau mendapat anggukan ramah dari gadis yang sudah mengenakan dress rumahan itu."Aku laper nih," ujar Tania cuek begitu mendekat.Tanpa canggung ia mengambil piring bersih di kabinet atas dapur. Lalu langsung duduk tepat di hadapanku. Tanpa malu-malu pula ia langsung menyiduk nasi dan lauk. Tidak lupa mengambil ayam goreng kremesnya.Aku sendiri tidak peduli. Tania yang beberapa waktu lalu datang dengan gaya malu-malu kucing, kini sudah menjelma ke wajah aslinya. Tanpa permisi dia langsung melahap semua makanan. Melihat gaya makan Tania yang bagai orang kesetanan, seleraku kian hilang."Orang hamil memang makannya banyak, Mik," ujarnya dengan meringis. Tania seolah tahu isi hati ini lewat tatapanku padanya."Emang kamunya yang rakus," cibirku sinis. Tania mencebik, tetapi detik berikutnya dia kembali meringis. "Di mana-mana orang hamil muda itu biasanya gak d
"Mama kecewa padamu, Mika," ketus Bu Gina berlalu marah.Aku terhenyak. Semudah itukah Ibu Gina tidak mempercayai aku? Ketulusanku selama ini lenyap hanya karena foto yang tidak jelas itu. Gambar yang kuyakini pasti kiriman dari Tania atau Bian.Hati ini semakin tertikam perih saat semua orang yang kusayang hanya bergeming. Tidak ada yang angkat bicara. Apalagi mau membela. Baik Bapak Edi dan Ega terbisu menekuri lantai. Dan itu dinikmati sekali oleh Tania. Ekor mataku menangkap senyum kemenangan di sudut bibirnya."Ibu Gina, saya bisa jelaskan." Tidak disangka Bian berdiri dan menginterupsi. Membuat langkah Ibu Gina terhenti. Lelaki yang malam ini terlihat sedikit rapi dengan mengenakan kaos putih berbalut blazer hitam mendekati mertuaku. "Saya harap Ibu Gina jangan salah paham dulu," pinta Bian terdengar begitu sopan.Mata Ibu Gina memincing. "Apa yang mau kamu jelaskan untuk gambar-gambar itu?" tantang Ibu Gina terdengar dingin dan angkuh.Terlihat Bian terlebih dulu mengatur napas
"Bian! Apa yang kamu lakukan?!" tegur Ega lantang. Aku sendiri terkesiap melihat betapa geramnya Bian mencekik leher Tania. Langkahku maju berdiri di samping Ega.Mendengar gertakan Ega, sontak Bian dan Tania menoleh."Kenapa kamu kasar pada Tania, Yan?" protes Ega terlihat tidak terima melihat kekasih hatinya dikasari. Matanya tajam memang sosok jangkung itu.Bian bergeming. Namun, cekalan kedua tangannya pada leher Tania mulai mengendur. Begitu terlepas Tania terbatuk-batuk sembari mengusap kerongkongan.Leher jenjang mulus itu tampak memerah. Bisa kubayangkan betapa kuat Bian mencengkeram leher wanita yang malam ini begitu seksi. Karena hanya mengenakan gaun tidur bertali satu."Yan?!" Ega kembali menegur karena mulut Bian masih terkunci rapat."Eum ... anu, Ga, tadi ... kami ... eum maksudku ...." Tania tampak terbata saat berbicara. Padahal pertanyaan Ega dilayangkan bukan padanya. Melainkan untuk Bian. "Biasa, Ga, cuma masalah sepele." Akhirnya Tania bisa meneruskan ucapannya.E
Kini tangannya mengambil sendok, lalu mengambil bubur buatannya. "Tolong cobain bubur buatanku," pintanya dengan sendok yang sudah terjulur hingga ke bibirku. Maka mau tak mau kulumat juga nasi lembek itu. "Enak gak?" tanya Bian dengan wajah harap-harap cemas."Eum ... boleh juga."Bian tersenyum senang. "Lagi?" Ia kembali menyorongkan sendok hingga mulutku.EHEM-EHEMRefleks aku dan Bian berpaling. Sosok Ega menatap kami dengan tajam."Setrikain kemejaku, Mik!" suruhnya datar."Iya." Aku mengangguk pelan.Ega kini menatap Bian. "Dan kamu tolong panaskan mesin mobil," titahnya kali ini dingin."Oke." Bian menjawab santai. "Tan!" Dia melambai pada Tania yang datang. "Siapkan bubur ini untuk sarapan, ya," suruhnya begitu Tania mendekat."Oke." Tania membalas dengan senyuman manis.Selanjutnya Bian beranjak menuju garasi untuk memanasi mesin mobil. Sedangkan aku dan Ega kembali menuju kamar."Ngobrol apa aja tadi bareng Bian?" kepo Ega ketika aku mulai menggosok kemeja warna kremnya."Ga
"Pedasss!" Tania berteriak keras. Tangannya langsung meraih gelas yang berada tepat di depannya. Wanita itu menenggaknya hingga tandas. "Ahhh ... masih pedas!" Dia merengek dengan mata yang telah berair."Kenapa dia?" tanya Bapak Edi mengernyit heran. Ibu Gina juga menatap Tania dengan tatapan aneh. Sementara Ega hanya bisa melongo bingung.Lain dengan Bian. Lelaki itu berjalan tenang menuju lemari pendingin. Tangannya mengambil sekotak susu cair besar, lantas menuangkannya pada gelas kosong. Baru mengangsurkan pada Tania."Minum susu lebih cepat mengurangi pedas dari pada air putih," ucapnya terdengar tulus.Tania mengangguk cepat. Gelas itu langsung ia sambar. Hanya butuh waktu beberapa menit isu gelas itu telah berpindah ke perutnya."Sudah baikan?" tanya Bian kembali terdengar lembut dan peduli. Dan pertanyaannya ditanggapi senyuman manis oleh Tania. Di sisi lain kulihat Ega mendengkus panjang karenanya."Tahu lagi hamil, kenapa malah sarapan cabe?" tegur Ibu Gina ketus pada Tania