Share

BAB 3_TIDAK

Pahit manis dan asam asin hidup sudah kulewati. Kehilangan ayah lalu disusul ibu juga sudah kulalui. Sekarang aku kehilangan suamiku. Tapi tidak, aku masih memiliki kesempatan. Masih ada waktu. Suamiku hanya menjauh, bukan jiwanya meninggalkan raga. Peluang untuk memperbaiki masih sangat lebar.

"Akan kutemui Badai hari ini. Tidak peduli dengan cara apa pun, aku harus keluar dari rumah ini," lirihku bertekad sendirian.

Segera kuselesaikan tugas pagiku menyiapkan sarapan dan membereskan cucian piring. Tadi aku sempat mendapatkan omelan karena belum mengepel rumah. Sekarang kuberanikan diri menyampaikan niatku dengan beralasan, keluar membeli perlengkapan make up.

"Hanya sebentar saja, Wak. Jerawat Arsih tumbuh dimana-mana," kilahku terburu-buru.

"Mau jadi janda gatal kamu? Sudah menjanda, baru mau bebelian make up segala."

Wak Erni mencebik dengan ketus padaku yang sedang memakai sandal. Wanita itu bahkan sedang asik menikmati pisang goreng yang baru saja kusuguhkan. Sepertinya teh manis hangat buatanku juga menambahkan energi untuknya mencaciku.

"Awas saja kalau kamu telat pulang!" ancamnya lagi dengan mata melotot seram.

"Iya, Wak," jawabku sekenanya.

Aku langsung keluar dari gerbang besi berwarna hitam yang menutupi setengah rumah uwakku. Sempat kumenoleh ke belakang, merasa lucu dengan takdir. Kukira setelah menikah dengan Badai, aku tidak lagi tinggal di sini. Rupanya tidak, Allah masih menghukumku.

"Ojek!" seruku pada beberapa pria dewasa yang duduk di atas motornya. Mereka memang dikenal sebagai ojek desa yang biasa mengantar warga ke pasar kota. Namun ketika aku yang meminta jasa mereka, kompak mereka menggeleng.

"Ke desa Duman saja, Pak! Saya akan lebihkan ongkosnya!" seruku lagi masih mencoba berpikir positif.

"Maaf ya, kami tidak mau ketiban sial. Bonceng perempuan hamil di luar nikah itu nakjis!" timpal salah satu dari mereka yang disambut anggukan dari temannya yang lain.

Nyeees ....

Hatiku luar biasa perih sekali. Rupanya berita itu sudah menyebar luas. Bahkan perutku belum terlihat buncit, masih sangat rata. Aku tidak punya pilihan selain menunduk malu dan terus berjalan. Tekadku sudah kuat. Meski sehari penuh aku berjalan, Badai harus kutemui hari ini juga.

"Iiih ... bukannya itu Kinarsih, keponakannya Yanto?"

"Yang hamil di luar nikah terus langsung dicerai kan?!" sambut yang lain.

"Kasihan ...."

"Siapa suruh jadi perempuan tak punya harga diri. Tak guna dia berhijab! Uwaknya itu kan laki-laki soleh, tiap hari sholat di masjid, kecolongan juga. Ya dasarnya dia perempuan gatal!"

Rentetan kalimat-kalimat gunjingan dari ibu-ibu yang sedang berkumpul sembari memilih sayur dan lauk terdengar begitu nyaring di telingaku seolah sengaja agar aku mendengarnya. Engsel lututku seperti sedang dilepas satu-satu hingga membuat kakiku lemas untuk terus berjalan. Namun aku berbicara pada diriku sendiri agar tetap kuat. Aku hanya perlu terus melangkah agar tak mendengar lagi.

"Ojek, Mbak!"

Aku langsung menoleh dengan mata yang sudah dipenuhi bulir bening. Air mataku tak kuasa kutahan lagi. Suara barusan itu seperti malaikat penolong bagiku meskipun aku harus membayar mahal. Aku langsung naik tanpa mengucapkan apa-apa.

"Kita kemana, Mbak?"

"Duman, Pak!"

Setelah dua puluh menit perjalanan motor, aku pun sampai di depan gerbang rumah Badai. Kuserahkan seratus ribu dengan mata yang terasa bengkak karena sepanjang jalan, aku terus menangis.

"Terlalu banyak, Mbak!"

"Bawa saja, Pak karena Bapak masih mau membawa saya yang jadi sampah masyarakat," ucapku pelan kembali dengan wajah yang terasa panas.

"Kita semua sama kok Mbak, hanya beda cara melakukan dosa. Tapi Allah Maha Pengampun kan? Sampeyan jangan sampai lupa itu. Ya sudah, terimakasih ya, Mbak. Semoga rezki Mbak berlipat-lipat."

Aku mengangguk haru. Ucapan tukang ojek tadi seperti embun yang membasahi hatiku yang gersang dan putus asa. Aku tidak peduli, di dompetku sudah tak ada sisanya lagi. Pria itu pantas mendapatkan kelebihan ongkosku.

Sekarang aku seperti memiliki kekuatan untuk kembali berdiri tegak. Aku akan berusaha kembali memperbaiki keadaan. Badai tak perlu meminta kesempatan ke-dua karena akulah yang akan menawarkannya lebih dulu. Aku akan melupakan yang semua terjadi demi janin di kandunganku ini.

"Siapa?" terdengar suara dari dalam ketika kumengetuk pintu. Aku mengenal suara itu.

"Assalamu'alaikum, Bu," salamku mencoba menunjukkan wajah teramahku.

"Untuk apa kamu di sini?"

"Sa-saya ingin bertemu Badai, Bu," jawabku santun.

Wanita itu menunjukkan wajah tak sukanya. Ia bahkan tak menanggapi ucapanku. Justru matanya yang menelisik dari ujung kaki sampai ujung kepalaku. Bibirnya bergetar, mencebik. Mungkin dia sedang berpikir, kalimat apa yang tepat untuk mengusirku.

"Lihat kunci mobilku gak, Ma?!" teriak seseorang dari dalam. Jantungku tiba-tiba berdesir kuat. Suara itu begitu indah di telingaku.

"Badai ...," desisku meremas ujung bajuku. Sungguh aku gugup.

"Pergilah dari sini. Jangan menghancurkan hari anakku," ucap ibu Badai dengan suara yang ditekannya.

Aku menggeleng. Wanita tua itu justru mendorongku dengan kasar. Aku hampir tersungkur jatuh. Tapi, tak akan semudah itu aku menyerah. Aku mencoba berjinjit dan mencari keberadaan Badai.

"Kau sudah diceraikan! Untuk apa kamu ke sini lagi?!" Tampak wajah ibunya Badai merah padam menahan kesal.

"Saya ingin memperbaiki hubungan kami, Bu. Biarkan saya bertemu Badai. Kasihan anak di perut saya," jawabku mencoba mengiba.

Dengan teganya, wanita itu menutup pintu dengan suara dentuman yang keras. Aku terpekur, terperanjat hebat. Tidakkan dia memiliki sedikit rasa empati sebagai sosok yang dituakan? Setidaknya kepada sesama wanita. Ya Allah, betapa hina diri ini di mata manusia.

Braaak!

Braaak!

Aku menggedor pintu itu dengan kasar.

"Badai! Aku di sini!" teriakku tanpa peduli jika ibunya semakin membenciku.

"Keluarlah! Kita perlu bicara!" lanjutku lagi.

Terus saja kupukul-pukul daun pintu itu hingga tanganku terasa panas. Sampai Badai keluar menemuiku, aku tetap tidak akan menyerah! Saat tanganku kembali mendarat pada daun pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka. Aku berusaha sekuatku untuk menahan tanganku agar tidak sampai mengenai wajah yang berada tepat di depanku.

"Ba-badai, Ma-maafkan aku," lirihku karena tak bisa menahan dengan sempurna untuk tanganku melayang ke wajahnya. Syukur saja tidak keras. Dengan sigap kuelus bahu, dan merapikan kerah bajunya.

"Maafkan aku," ulangku sekali lagi.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Arsih. Kita sudah bukan suami istri."

Suara Badai mendesis pelan tapi seperti sembilu menyayat hati. Tangannya menghentikan tanganku yang sedang mengelus bajunya.

"Janin ini, demi janin ini. Tolong lunakkan hatimu, Badai. Mari kita bersama. Hidup sebagai pasangan suami istri. Aku rela jika kamu tak memberikanku nafkah. Aku siap menjadi pembantu di rumah siapa pun untuk mendapatkan sesuap nasi asalkan kamu mau tetap bersamaku."

"Kamu gila," timpal Badai membuang wajah.

"Aku mohon. Kasihan anak ini, Badai. Dia tidak bersalah sehingga harus dilahirkan dalam keluarga tak lengkap begini. Jika kamu tak mencintaiku lagi, kamu pasti mencintai darah dagingmu ini," rayuku.

Tak peduli soal harga diri lagi, aku meraih tangan Badai membawanya menyentuh perutku. Namun belum sampai tangannya mendarat, dia sudah menepisku kasar.

"Lepaskan. Aku tidak memiliki waktu untuk hal tak waras seperti ini. Pulanglah. Aku akan meminta orangku mengantarmu. Jadikan yang ini terakhir kamu datang mencariku," ucap laki-laki itu pongah.

"Tidak ...," lirihku menahan semua kemalangan nasibku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dahminar Minar
goblok kali jadi perempuan udah dibuang di hina kayak gitu pun masih juga ngemis, aku paling gak suka perempuan macam arsih ini, mandiri kek jadi perempuan kan udah berumur, masih aja nemplok di rumah paman nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status