Pahit manis dan asam asin hidup sudah kulewati. Kehilangan ayah lalu disusul ibu juga sudah kulalui. Sekarang aku kehilangan suamiku. Tapi tidak, aku masih memiliki kesempatan. Masih ada waktu. Suamiku hanya menjauh, bukan jiwanya meninggalkan raga. Peluang untuk memperbaiki masih sangat lebar.
"Akan kutemui Badai hari ini. Tidak peduli dengan cara apa pun, aku harus keluar dari rumah ini," lirihku bertekad sendirian.Segera kuselesaikan tugas pagiku menyiapkan sarapan dan membereskan cucian piring. Tadi aku sempat mendapatkan omelan karena belum mengepel rumah. Sekarang kuberanikan diri menyampaikan niatku dengan beralasan, keluar membeli perlengkapan make up."Hanya sebentar saja, Wak. Jerawat Arsih tumbuh dimana-mana," kilahku terburu-buru."Mau jadi janda gatal kamu? Sudah menjanda, baru mau bebelian make up segala."Wak Erni mencebik dengan ketus padaku yang sedang memakai sandal. Wanita itu bahkan sedang asik menikmati pisang goreng yang baru saja kusuguhkan. Sepertinya teh manis hangat buatanku juga menambahkan energi untuknya mencaciku."Awas saja kalau kamu telat pulang!" ancamnya lagi dengan mata melotot seram."Iya, Wak," jawabku sekenanya.Aku langsung keluar dari gerbang besi berwarna hitam yang menutupi setengah rumah uwakku. Sempat kumenoleh ke belakang, merasa lucu dengan takdir. Kukira setelah menikah dengan Badai, aku tidak lagi tinggal di sini. Rupanya tidak, Allah masih menghukumku."Ojek!" seruku pada beberapa pria dewasa yang duduk di atas motornya. Mereka memang dikenal sebagai ojek desa yang biasa mengantar warga ke pasar kota. Namun ketika aku yang meminta jasa mereka, kompak mereka menggeleng."Ke desa Duman saja, Pak! Saya akan lebihkan ongkosnya!" seruku lagi masih mencoba berpikir positif."Maaf ya, kami tidak mau ketiban sial. Bonceng perempuan hamil di luar nikah itu nakjis!" timpal salah satu dari mereka yang disambut anggukan dari temannya yang lain.Nyeees ....Hatiku luar biasa perih sekali. Rupanya berita itu sudah menyebar luas. Bahkan perutku belum terlihat buncit, masih sangat rata. Aku tidak punya pilihan selain menunduk malu dan terus berjalan. Tekadku sudah kuat. Meski sehari penuh aku berjalan, Badai harus kutemui hari ini juga."Iiih ... bukannya itu Kinarsih, keponakannya Yanto?""Yang hamil di luar nikah terus langsung dicerai kan?!" sambut yang lain."Kasihan ....""Siapa suruh jadi perempuan tak punya harga diri. Tak guna dia berhijab! Uwaknya itu kan laki-laki soleh, tiap hari sholat di masjid, kecolongan juga. Ya dasarnya dia perempuan gatal!"Rentetan kalimat-kalimat gunjingan dari ibu-ibu yang sedang berkumpul sembari memilih sayur dan lauk terdengar begitu nyaring di telingaku seolah sengaja agar aku mendengarnya. Engsel lututku seperti sedang dilepas satu-satu hingga membuat kakiku lemas untuk terus berjalan. Namun aku berbicara pada diriku sendiri agar tetap kuat. Aku hanya perlu terus melangkah agar tak mendengar lagi."Ojek, Mbak!"Aku langsung menoleh dengan mata yang sudah dipenuhi bulir bening. Air mataku tak kuasa kutahan lagi. Suara barusan itu seperti malaikat penolong bagiku meskipun aku harus membayar mahal. Aku langsung naik tanpa mengucapkan apa-apa."Kita kemana, Mbak?""Duman, Pak!"Setelah dua puluh menit perjalanan motor, aku pun sampai di depan gerbang rumah Badai. Kuserahkan seratus ribu dengan mata yang terasa bengkak karena sepanjang jalan, aku terus menangis."Terlalu banyak, Mbak!""Bawa saja, Pak karena Bapak masih mau membawa saya yang jadi sampah masyarakat," ucapku pelan kembali dengan wajah yang terasa panas."Kita semua sama kok Mbak, hanya beda cara melakukan dosa. Tapi Allah Maha Pengampun kan? Sampeyan jangan sampai lupa itu. Ya sudah, terimakasih ya, Mbak. Semoga rezki Mbak berlipat-lipat."Aku mengangguk haru. Ucapan tukang ojek tadi seperti embun yang membasahi hatiku yang gersang dan putus asa. Aku tidak peduli, di dompetku sudah tak ada sisanya lagi. Pria itu pantas mendapatkan kelebihan ongkosku.Sekarang aku seperti memiliki kekuatan untuk kembali berdiri tegak. Aku akan berusaha kembali memperbaiki keadaan. Badai tak perlu meminta kesempatan ke-dua karena akulah yang akan menawarkannya lebih dulu. Aku akan melupakan yang semua terjadi demi janin di kandunganku ini."Siapa?" terdengar suara dari dalam ketika kumengetuk pintu. Aku mengenal suara itu."Assalamu'alaikum, Bu," salamku mencoba menunjukkan wajah teramahku."Untuk apa kamu di sini?""Sa-saya ingin bertemu Badai, Bu," jawabku santun.Wanita itu menunjukkan wajah tak sukanya. Ia bahkan tak menanggapi ucapanku. Justru matanya yang menelisik dari ujung kaki sampai ujung kepalaku. Bibirnya bergetar, mencebik. Mungkin dia sedang berpikir, kalimat apa yang tepat untuk mengusirku."Lihat kunci mobilku gak, Ma?!" teriak seseorang dari dalam. Jantungku tiba-tiba berdesir kuat. Suara itu begitu indah di telingaku."Badai ...," desisku meremas ujung bajuku. Sungguh aku gugup."Pergilah dari sini. Jangan menghancurkan hari anakku," ucap ibu Badai dengan suara yang ditekannya.Aku menggeleng. Wanita tua itu justru mendorongku dengan kasar. Aku hampir tersungkur jatuh. Tapi, tak akan semudah itu aku menyerah. Aku mencoba berjinjit dan mencari keberadaan Badai."Kau sudah diceraikan! Untuk apa kamu ke sini lagi?!" Tampak wajah ibunya Badai merah padam menahan kesal."Saya ingin memperbaiki hubungan kami, Bu. Biarkan saya bertemu Badai. Kasihan anak di perut saya," jawabku mencoba mengiba.Dengan teganya, wanita itu menutup pintu dengan suara dentuman yang keras. Aku terpekur, terperanjat hebat. Tidakkan dia memiliki sedikit rasa empati sebagai sosok yang dituakan? Setidaknya kepada sesama wanita. Ya Allah, betapa hina diri ini di mata manusia.Braaak!Braaak!Aku menggedor pintu itu dengan kasar."Badai! Aku di sini!" teriakku tanpa peduli jika ibunya semakin membenciku."Keluarlah! Kita perlu bicara!" lanjutku lagi.Terus saja kupukul-pukul daun pintu itu hingga tanganku terasa panas. Sampai Badai keluar menemuiku, aku tetap tidak akan menyerah! Saat tanganku kembali mendarat pada daun pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka. Aku berusaha sekuatku untuk menahan tanganku agar tidak sampai mengenai wajah yang berada tepat di depanku."Ba-badai, Ma-maafkan aku," lirihku karena tak bisa menahan dengan sempurna untuk tanganku melayang ke wajahnya. Syukur saja tidak keras. Dengan sigap kuelus bahu, dan merapikan kerah bajunya."Maafkan aku," ulangku sekali lagi."Tidak ada yang perlu dibicarakan, Arsih. Kita sudah bukan suami istri."Suara Badai mendesis pelan tapi seperti sembilu menyayat hati. Tangannya menghentikan tanganku yang sedang mengelus bajunya."Janin ini, demi janin ini. Tolong lunakkan hatimu, Badai. Mari kita bersama. Hidup sebagai pasangan suami istri. Aku rela jika kamu tak memberikanku nafkah. Aku siap menjadi pembantu di rumah siapa pun untuk mendapatkan sesuap nasi asalkan kamu mau tetap bersamaku.""Kamu gila," timpal Badai membuang wajah."Aku mohon. Kasihan anak ini, Badai. Dia tidak bersalah sehingga harus dilahirkan dalam keluarga tak lengkap begini. Jika kamu tak mencintaiku lagi, kamu pasti mencintai darah dagingmu ini," rayuku.Tak peduli soal harga diri lagi, aku meraih tangan Badai membawanya menyentuh perutku. Namun belum sampai tangannya mendarat, dia sudah menepisku kasar."Lepaskan. Aku tidak memiliki waktu untuk hal tak waras seperti ini. Pulanglah. Aku akan meminta orangku mengantarmu. Jadikan yang ini terakhir kamu datang mencariku," ucap laki-laki itu pongah."Tidak ...," lirihku menahan semua kemalangan nasibku.Kugenggam kuat-kuat pergelangan tanganku, menahan rasa malu yang luar biasa bergelayut. "Jangan katakan itu, Badai. Kita bisa memperbaikinya. Aku mohon, mari kita merajut kembali kisah kita. Bukankah kita pernah berjanji? Kamu yang mengawalinya dan aku yang menyambut. Sekarang jika kamu menyerah, bagaimana impian-impian kita terwujud? Sadarlah, Badai. Kita sedang salah paham."Aku menenggelamkan egoku dengan merayu panjang lebar mencoba mengelus lengannya. Badai terlihat sangat tampan dengan kemeja biru muda. Begitu sangat sempurna dipadukan dengan celana panjang berwarna biru gelap. Rambutnya yang hitam, lurus dan tebal belah kiri menambah kesempurnaannya. "Berhenti Arsih. Kita sudah berakhir. Silahkan pergi dan jalani kehidupanmu dengan baik. Aku akan menemuimu jika bayi itu lahir," ucap Badai dengan nada datar. "Tidak Badai. Aku memohon padamu. Bagaimana aku bisa menahan aib sebesar ini? Aku hamil di luar nikah lalu langsung kau ceraikan bahkan dalam hitungan jam. Jangan begini.
"Tak punya malu."Bu Nining mencebik sembari melipat tangannya di depan dada. Begitu angkuh dan sombong. Seolah, dia manusia paling mulia. Tanpa ragu, aku mendekatinya dengan langkah tegas. Wanita tua itu cukup terkejut dengan sedikit keberanianku mengangkat wajah di depannya. "Seharusnya yang paling memalukan itu adalah Anda, Bu. Anda tidak mampu mendidik putra Ibu hingga berani menghamili seorang gadis lalu lepas tanggungjawab begitu saja. Katanya keluarga terhormat, tapi ... puiiih! Jangan hanya memandang rendah saya. Kita sama-sama bobrok!""Dasar wanita murahan!""Ya. Terserah saya murahan atau tidak. Suruh anak ibu untuk bersikap sebagai pria yang berani bertanggungjawab! Jangan jadi banci! Pengecut!"Bu Nining menunduk, meraih pot bunga di sampingnya lalu melempar pot itu ke sembarang arah. Aku tetap berdiri tanpa rasa takut sedikit pun. Amarahku rasanya sudah sampai di ubun-ubun. "Aku tidak sudi memiliki menantu sepertimu. Nakjis! Bisa juga kamu dihamili oleh laki-laki lain
Keringat dingin nuncul di setiap pori-pori tubuhku. Telingaku seperti terasa berdenging hingga seperti memekik di gendang telingaku. Pandanganku terasa gelap dan semakin pekat. Buah nanas yang di tanganku jatuh begitu saja menimpa betisku yang bersila. "Kinarsih!!! Kamu dipanggil Wakmu! Cepat!"Terdengar suara Wak Erni dari luar. Tangannya bagai godham saja, mengetuk pintuku seperti orang kesurupan. Duaaar! Duaaar! "Kinarsih!" teriaknya lagi dan aku sudah tak memiliki kekuatan sedikit pun. Kepalaku rasanya seperti diputar kencang. Aku menjatuhkan tubuhku di kasurku. Rasanya seperti aku tidur di atas es batu. Dinginnya sampai menusuk. "Kinarsih! Keluar kamu! Jangan sok jadi ratu ya!"Suara wanita jahat itu tadi terdengar jelas sekali, tapi sekarang semakin sayup semakin hilang. Tiba-tiba hanya wajah laki-laki itu yang muncul di kelopak mataku. "Ba ... dai ...," desisku lemah dan aku sudah tak ingat dan merasakan apa-ap lagi. *FLASH BACK* (PERTEMUAN AWAL SEBUAH PETAKA) Hari menje
"Kamu? Untuk apa ke sini? Nanti Bibimu marah," sergahku melepaskan salon rusak yang sedang kuangkat."Bibiku, wak-mu juga kan?" balasnya tersenyum."Iya, tapi aku tidak ingin kamu di sini.""Kenapa? Aku hanya ingin menolongmu," bujuknya."Aku tidak mau," ketusku."Kenapa?" Laki-laki itu mengernyitkan alisnya tanda tidak mengerti. 'Manis', batinku menggoda."Banyak tanya. Aku sedang sibuk. Tolong jangan ganggu aku.""Aku ingin menolong, bukan mengganggu!" suaranya semakin keras.Aku bingung sendiri. Antara malu dilihat kusut, penuh debu juga risih ada lelaki yang baru kukenal berada satu ruangan denganku. Rasanya aku ingin kabur saja. Aku sampai membelakanginya karena grogi akut. Malu sekali hingga aku tidak bisa mengendalikan perasaanku ini. Untuk pertama kali aku diberi perhatian oleh pria seumuranku. Aku yang sudah kehilangan ayah sejak usia lima tahun, benar-benar merasa sangat aneh juga ada sebutir rasa tersanjung bergelayut. "Arsih! Istirahatlah! Sudah siang!" teriak Wak Yanto d
Selepas subuh aku membaca dua lembar Al-Quran. Rutinitasku setiap hari. Kuwajibkan diriku walau satu ayat saja. Kata ibuku, Quran lah teman kita yang setia di akhirat. "Di Padang Mahsyar nanti, jarak matahari hanya sejengkal dengan kepala kita, Arsih. Orang yang membaca Qur'an akan dinaungi oleh Quran yang dibacanya semasa hidupnya." Begitu nasehat ibuku selepas subuh, saat masa sehatnya. Setiap hari tanpa bosan ibu mencekokiku dengan petuah-petuah itu. Hingga ternyata tertanam sampai membentuk kebiasaanku. Aku bersyukur. Setelah selesai, aku menanak nasi di rice cooker. Dengan cekatan, aku membuatkan kopi untuk Wak Yanto lalu bergegas ke gudang. Harapanku, hari ini sudah bisa aku tempati. Mungkin dengan begitu, Wak Erni malas memanggilku ke luar. "ALLAHUAKBAR ...!!!" teriakku kaget. Segera kututup mulutku agar tak kelolosan lagi suaraku ini. Aku menoleh kiri kanan, memastikan tidak ada seorang pun sedang memperhatikanku. Lebih-lebih wewe gombel itu. Mataku membelalak tak percay
Selama tiga hari aku berdiam diri seolah membersihkan gudang. Aku mencukupkannya sebab aku takut, Wak Erni akan menyusulku ke sini. Cepat atau lambat, dia pasti akan tahu bahwa kamarku lebih cantik dari kamar Ana. Namun, lebih lambat lebih baik bukan? Sepanjang hari sepanjang malam, aku menghitung hari menghitung waktu. Seperti menunggu seseorang datang. Aku benar-benar bahagia. Serasa semua kesedihanku dibawa olehnya dan aku menunggunya. "Kak Aciiih!! Ada yang cari nih!" teriak Rasyid dari pintu samping. Degh ...Badaikah?? Hatiku berbunga-bunga. Aku memperhatikan setiap inci penampilanku. Aku ingin, Badai melihatku jauh lebih baik dari sebelumnya. Mungkin karena terlalu lama aku bersiap, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu "Buka pintunya, Arsih." Ya, Allah! Itu benar suara Badai. Aku semakin tersipu. "Cepat, Kinarsih. Aku takut Bi Er sadar aku ke sini," bisiknya terdengar di balik pintu. Dengan sedikit berdebar, aku memegang gagang pintu. Aku membuka pintu dengan sege
"Kenapa kamu berpikiran picik begitu, Arsih? Bi Erni sudah banyak membantu kita. Wajar dia mendapatkan upah." Badai kembali menggengam tanganku. "Aku tidak suka, seolah aku penghasil uang buatnya. Aku ingin segera lepas dari bibimu itu. Nikahi aku segera, Badai!" Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Akhirnya aku menangis. "Arsih ...." Badai berusaha menenangkanku. "Atau jangan-jangan kau sama dengan bibimu itu, hanya memanfaatkanku," jeritku. "Menurutmu begitu?" Badai memberikan raut wajah yang tegang, tak senang. "Siapa yang tahu." "Apa maumu?" Badai memegang stir mobil dengan erat. Ada yang ia pendam. "Aku ingin segera menjadi istrimu! Belum jelaskah?" Aku terisak tak tertahan. "Baiklah." Badai menstarter mobil dengan begitu cepat. Aku sedikit takut. "Kau mau membawaku kemana?" "Kau persiapkan dirimu sebaik mungkin," jawab Badai. Ia menatap tajam jalanan yang kami lewati. Sedikit pun dia tidak melihatku. Aku menenangkan diri. Badai pasti membawaku ke rumahnya, pik
"TIDAK!!!" teriakku. Aku terbangun dan melihat sekelilingku dengan cepat. Ada wak Yanto yang berada di sampingku. Seorang wanita yang kukenal sebagai bidan di desa ini. Di tanganku terpasang infus. Rupanya aku masih di kamarku dan aroma nanas muda masih pekat. "Kalau nanti habis infusnya, dan tidak ada pendarahan atau mual-mual lagi, telpon saya ya, Pak. Nanti saya buka infusnya. Nanti saya bantu bawa ke donter kandungan untuk memeriksa kondisi kandungannya.""Tak perlu, Bu. Cabut aja sekarang, toh juga Kinarsih sudah sadar."Bidan itu hanya tersenyum kecil lalu mengucapkan permisi. "Jangan jadi hamba yang tak tahu diri, Kinarsih. Sudah berbuat dosa zina, lagi kau akan menjadi pembunuh. Kalau kau mati dalam usahamu menggugurkan kandunganmu, maka kau akan mati dalam su'ul khotimah. Sudah rugi di dunia, rugi selamanya di akhirat.""Wak ... Maaf," desisku. Aku langsung menangis. Namun seperti abai, Wak Yanto bangkit. "Kasih dia makan," ucapnya datar lalu pergi meninggalkanku yang terp