🏵️🏵️🏵️
Waktu menunjukkan pukul 07.15 wib, aku dan Om Wawan memasuki kelas yang akan aku tangani. Aku sangat terkejut melihat anak perempuan yang tadi bertemu di depan pintu masuk sekolah. Ternyata ia akan menjadi anak didikku.
Om Wawan menjelaskan kepada anak-anak kalau aku akan menggantikan wali kelas mereka yang sedang cuti. Reaksi mereka membuatku terharu. Aku disambut dengan sorakan menggemaskan. Tiba-tiba, anak perempuan yang tadi bertemu denganku, mengacungkan tangan.
“Nama Ibu siapa?” Pertanyaannya masih sama seperti tadi, padahal tanpa ia minta pun, aku akan memperkenalkan diri. Aku membalasnya dengan senyuman.
“Selamat pagi, Anak-Anak Ibu.” Aku pun menyapa mereka.
“Selamat pagi, Bu!” Suara mereka membuatku tenang. Mungkin karena sejak dulu, aku sangat menyukai anak-anak.
“Perkenalkan nama Ibu, Kanaya Larasati. Biasa dipanggil Nay atau Naya. Anak-anak panggil Ibu Naya saja.” Aku pun memberitahukan namaku kepada mereka.
“Nama Ibu mirip dengan Nay.” Anak perempuan tadi kembali membuka suara.
“Namanya siapa, Sayang?” tanyaku kepada anak itu.
“Nayla Cempaka, Bu.”
“Nama yang sangat indah.” Aku mendekatinya, lalu mengusap punggungnya. Entah kenapa, Om Wawan menunjukkan tatapan yang tidak dapat aku artikan.
Setelah perkenalanku selesai, Om Wawan pun keluar kelas. Sementara aku meminta anak-anak untuk memperkenalkan diri mereka masing-masing secara bergantian di depan kelas. Sungguh, aku seolah-olah menemukan dunia baru. Mereka benar-benar menggemaskan.
Aku yakin, dengan kegiatan baru yang aku jalani saat ini, akan mempermudah melupakan bagaimana rasanya dikhianati. Ternyata anak-anak yang kini sedang bersamaku mampu membuatku tersenyum. Mereka mengaku senang dengan kehadiranku.
Tidak terasa, saatnya untuk istirahat. Anak-anak berhamburan untuk mengisi perut ke kantin. Tidak sedikit yang membawa bekal dari rumah, termasuk Nayla. Aku memperhatikan anak itu menikmati makanannya.
“Nay dibawain bekal, ya, sama Mama?” tanyaku kepada Nayla, lalu duduk sampingnya.
“Bukan, Bu, tapi Oma yang siapin.”
“Ooo. Ya, udah … makan yang banyak, ya, Sayang. Ibu kembali ke meja Ibu.”
“Iya, Bu.”
Aku pun beranjak dari meja Nayla sambil berpikir, apa mungkin mamanya sama seperti diriku, tidak ahli dalam masak-memasak. Mungkin karena Bunda tidak pernah memaksa anak-anaknya mengerjakan pekerjaan rumah, aku pun belum ada niat untuk belajar memasak.
🏵️🏵️🏵️
Suara bel menandakan waktu pulang untuk anak-anak kelas satu. Mereka pun menyimpan buku dan peralatan tulis ke dalam tas masing-masing. Setelah itu, mereka berbaris dengan rapi, lalu menyalamiku, kemudian keluar kelas.
Tadi pagi waktu Om Wawan memintaku ke ruangannya, beliau menjelaskan apa yang harus aku lakukan saat anak-anak telah selesai belajar. Aku diminta berdiri di sekitar pintu masuk sekolah agar lebih mudah mengenal para orang tua murid.
Tiba-tiba pandanganku tertuju kepada laki-laki yang Nayla panggil dengan sebutan papa. Ternyata ia juga melihat ke arahku. Entah kenapa aku jadi salah tingkah. Ya, ampun, Nay … bisa-bisanya salah tingkah sama suami orang. Stop! Ini tidak boleh! Aku harus bisa bersikap formal, layaknya seorang guru kepada orang tua muridnya.
Jangan sampai orang lain berpikir kalau aku sengaja ingin mendekati pria beristri karena ditinggal nikah oleh kekasih, tepatnya mantan kekasih. Aku harus bisa menjaga sikap dan tidak mudah tergoda atau terpengaruh dengan yang namanya laki-laki.
“Nay pulang dulu, ya, Bu. Papa udah jemput.” Nayla mengagetkanku. Ia mencium punggung tanganku, lalu menghampiri laki-laki yang sempat membuatku salah tingkah.
Ternyata papa Nayla justru mengembangkan senyuman kepadaku. Aku pun berusaha membalasnya. Cobaan apa ini? Baru hari pertama mengajar, aku harus bertemu pemuda tampan, tetapi sudah memiliki anak.
“Mari, Bu.” Ternyat ia tidak hanya tersenyum, tetapi juga menyapaku.
“Iya, Pak,” jawabku.
Laki-laki itu pun meraih tangan Nayla, lalu mereka melangkah memasuki Rush putih yang terparkir di sekitar pintu gerbang. Kendaraan roda empat itu mengingatkan aku kepada Mas Arga. Kenapa mobil mereka harus sama?
Tidak! Kenapa hari ini, aku memikirkan dua laki-laki yang telah memiliki pasangan? Ini tidak benar. Aku harus bisa secepatnya melupakan Mas Arga. Aku juga harus menempatkan diri sebagai wali kelas Nayla di depan papanya.
“Sepertinya Nayla menyukai kamu, Nay.” Suara Om Wawan mengagetkanku.
🏵️🏵️🏵️
Ucapan Om Wawan tidak dapat aku mengerti. Kenapa beliau berpikiran seperti itu? Sementara aku baru hari ini bertemu dengan Nayla. Walaupun aku akui kalau anak perempuan cantik itu seolah-olah ingin dekat denganku dibanding murid-murid lain.
Akan tetapi, hal seperti itu biasa menurutku. Pasti ada murid yang lebih berani di antara murid lain dalam satu kelas, bahkan satu sekolah. Mungkin Om Wawan sengaja ingin menghiburku karena beliau sangat tahu apa yang kualami akhir-akhir ini.
“Bapak di sini?” Jika sedang berada di lingkungan sekolah, aku harus memanggil beliau dengan sebutan bapak.
“Iya. Saya perhatikan sikap Nayla sangat berbeda terhadap Ibu.” Aku merasa lucu saat Om Wawan memanggilku dengan sebutan itu.
“Berbeda bagaimana, Pak?” Aku ingin tahu kenapa Om Wawan berpikiran seperti itu.
“Mungkin dia menemukan sosok mamanya di diri Ibu.” Om Wawan mengembuskan napas setelah mengucapkan kalimat itu.
“Saya makin tidak mengerti, Pak.” Kali ini, aku benar-benar penasaran.
“Nayla anak yatim-piatu.”
Apa? Ya Allah. Kasihan anak itu. Seandainya ia di sini sekarang, aku ingin memeluknya. Namun, ada yang aneh. Kalau Nayla memang benar anak yatim-piatu, kenapa ia memanggil pria yang mengantar dan menjemputnya dengan sebutan papa?
“Jadi, pria yang bersamanya bukan ayahnya, Pak?” Entah kenapa aku makin ingin tahu tentang pemuda tampan yang telah mengembangkan senyum manisnya kepadaku tadi.
“Bukan. Dia keponakan saya. Tapi saya sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Dia adik almarhum papa Nayla.” Om Wawan memberikan penjelasan yang mengejutkan menurutku.
Tunggu dulu, aku jadi ingat sesuatu. Om Wawan kemarin sempat menyinggung tentang anaknya. Apa mungkin anak yang beliau maksud adalah adik papa Nayla? Jika itu benar, artinya pemuda itu masih sendiri, belum memiliki pasangan.
Aku tidak boleh menebak-nebak. Mungkin saja maksud Om Wawan bukan orang yang sama. Seandainya juga sama, apa urusannya denganku? Aku tidak mungkin secepat itu kembali membuka hati setelah berpisah dengan Mas Arga karena kenyataannya hingga detik ini, cinta itu masih tetap ada untuknya.
🏵️🏵️🏵️
Hari pertama dalam lingkungan kerja, sedikit melelahkan, tetapi juga menyenangkan. Aku sangat bersyukur diberikan kesempatan untuk mengemban tugas sebagai tenaga pendidik sesuai dengan harapanku. Semoga apa yang aku lakukan terhadap anak didikku menjadi bekal untuk mereka kelak.
Saat ini, aku memilih merebahkan tubuh di kamar setelah menyelesaikan salat Isya. Aku memandang langit-langit kamar sambil mengingat kenangan bersama Mas Arga. Sungguh, rasanya sangat sakit jika menyadari keberadaannya sekarang yang telah resmi menjadi suami wanita lain.
Sekuat apa pun aku mencoba untuk melupakan Mas Arga, entah kenapa pada akhirnya, bayangan tentangnya seakan-akan menari-nari di pikiranku. Apa sebaiknya aku membuka hati untuk pria lain supaya lebih mudah melupakannya?
Panggilan masuk dari ponselku membuyarkan lamunanku. Aku segera duduk, lalu meraih benda itu dari nakas. Aku melihat layar, tetapi hanya nomor sebelas digit yang muncul. Itu artinya, belum masuk dalam daftar kontak.
“Assalamualaikum.” Aku pun mengangkat telepon dengan memberikan salam.
“Waalaikumsalam, Bu Naya.” Pemilik suara itu tidak asing, tetapi siapa? “Ini Nay, Bu. Nay pakai HP Papa. Nanti nomornya Ibu simpan aja supaya Nay bisa lebih sering telepon Ibu.”
Pantas saja suara itu tidak asing. Ternyata anak muridku yang menelepon. Dari mana ia tahu nomor ponselku? Apa mungkin Om Wawan yang memberikannya? Namun, aku harus berterima kasih karena setelah mendengar nada telepon dari Nayla, ingatanku tentang Mas Arga buyar seketika.
“Nay belum tidur?” Aku pun memberikan balasan kepada Nayla.
“Belum, Bu. Ini masih belajar sama Papa.” Mendengar sebutan itu, aku kembali salah tingkah seperti tadi saat di sekolah. Aku mengingat senyuman laki-laki itu.
“Nay lagi belajar apa?”
“Belajar menggambar, Bu. Ini Papa yang ajarin. Ibu mau ngomong sama Papa?” Bagaimana ini? Hanya mendengar sebutan yang Nayla lontarkan saja, aku merasa deg-degan.
Terus terang, aku sangat bingung. Kenapa perasaanku berbeda saat pertama kali bertemu dengan adik papa Nayla? Padahal, aku sangat yakin kalau cinta yang kumiliki saat ini, masih untuk Mas Arga walaupun laki-laki itu telah berpaling.
“Maaf, kalau Nay mengganggu kegiatan Ibu.” Aku kembali mendengar suara dari seberang telepon, tetapi kali ini bukan Nayla yang bicara, melainkan adik papanya.
==========
🏵️🏵️🏵️Kenapa aku tiba-tiba terdiam? Apakah pesona laki-laki itu telah memasuki pikiranku? Mungkinkah pintu hati ini kembali terbuka tanpa kusadari? Entah kenapa kesedihanku tadi saat memikirkan Mas Arga seolah-olah sirna seketika.Aku belum pernah mengalami perasaan seaneh ini. Bagaimana mungkin pertemuan pertama dengan laki-laki itu membuatku berpikiran jauh? Harusnya aku sadar kalau dirinya wali murid anak didikku, tidak lebih.Cukup aku mengagumi para aktor tampan dalam drama Korea, Thailand, dan China yang biasa aku tonton. Mereka tidak nyata di depanku. Namun, kalau aku harus mengagumi wali murid, itu aneh apalagi baru bertemu sekali. Seandainya Novia tahu kelakuan kakaknya ini, ia pasti akan mentertawakan aku.“Tidak, Pak. Saya sedang santai. Jadi, tidak mengganggu sama sekali.” Akhirnya, aku berhasil memberikan balasan.“Ibu tidak keberatan kalau saya simpan nomor kontaknya?” Lagi dan lagi, aku makin bingung menghadapi pemuda itu.“Silakan, Pak. Tidak masalah.” Mana mungkin
🏵️🏵️🏵️ Tidak puaskah mereka mengobrak-abrik hatiku? Mereka bersikap seolah-olah tidak melakukan kesalahan. Apa mungkin mereka sengaja ingin melihatku menderita? Perbuatan Mas Arga tadi pagi telah membuatku ketakutan, sekarang istrinya kenapa tiba-tiba ke rumahku? Mungkin sebaiknya aku pura-pura tidak mendengar panggilan Shanti untuk menenangkan hati. Entah kenapa setiap melihat wajahnya, pengkhianatan Mas Arga yang langsung menari-nari di kepalaku. Pasangan suami istri itu mampu menjatuhkan mentalku. “Untuk apa kamu ketemu suamiku?” Apa? Shanti melontarkan tuduhan seperti itu kepadaku? Aku tidak mungkin tetap berpura-pura tidak mendengar apa yang keluar dari bibirnya. Aku pun berbalik arah. Ternyata ia kini telah berdiri di dekat Bunda. “Maksud kamu apa?” tanyaku kepada wanita itu. Aku baru kali ini memperhatikan perutnya. Ternyata sudah besar. “Kamu belum bisa move on dari Mas Arga?” Sungguh, aku benar-benar kesal dengan tuduhannya. “Sebelum kamu nuduh, tanya dulu suamimu.” A
🏵️🏵️🏵️ Tanpa diingatkan pun, aku tahu ini hari penting untukku dan Mas Arga sebelum dirinya berkhianat. Tanggal ini merupakan awal kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih lima tahun yang lalu. Di mana saat itu, ia mengutarakan perasaannya kepadaku. Akan tetapi, untuk apa ia masih mengingatkan aku tentang hal itu? Itu tidak pantas lagi karena dirinya sekarang telah berstatus sebagai suami dari wanita lain. Apa yang ada dalam pikirannya? Ia yang mengakhiri hubungan kami, tetapi ia juga yang masih berusaha mengusikku hingga detik ini. Entah apa lagi yang akan aku lakukan agar ia benar-benar tidak menggangguku lagi. Mungkin pilihanku untuk menerima kedatangan Raka dan orang tuanya sudah tepat. Semoga setelah Mas Arga melihat kedatangan mereka ke rumah ini akan membuatnya sadar bahwa kami hanya masa lalu. “Siapa, Sayang?” tanya Bunda hingga membuyarkan lamunanku. Apa mungkin beliau menyadari perubahan wajahku? “Bukan siapa-siapa, Bun.” Aku sengaja tidak mengatakan yang seben
🏵️🏵️🏵️ Pagi ini, aku kembali melakukan aktivitas seperti biasanya. Aku melajukan kendaraan roda dua milikku hingga tiba di sekolah Novia. Aku tersenyum setelah kembali membelah jalanan karena melihat mobil Raka mengikutiku dari belakang. Aku sempat berpikir bahwa duniaku akan terasa hampa setelah Mas Arga memilih menikahi Shanti. Ternyata aku salah karena kenyataannya saat ini, ada pemuda yang jauh lebih perhatian dan peduli terhadapku dibanding apa yang Mas Arga lakukan dulu. Aku berharap bahwa sikap yang Raka tunjukkan saat ini, benar-benar tulus dari hatinya yang paling dalam. Semoga ini tidak hanya sekadar usaha karena ingin menarik simpatiku. Aku takut jika kegagalan dalam menjalin hubungan kembali menghampiriku. “Maaf, saya hanya ingin menyampaikan kalau besok saya akan mengikuti Ibu saat berangkat ngajar.” Raka membuatku tersentuh tadi malam. Ia mengaku ingin menjagaku dari hal-hal yang tidak terduga. Ia khawatir jika Mas Arga kembali menggangguku seperti kala itu. Aku
🏵️🏵️🏵️ Ternyata seperti ini rasanya didekati laki-laki yang langsung melibatkan keluarga. Pertemuan singkat antara aku dan Raka mampu meyakinkan dirinya untuk lebih mengenalku. Aku sangat terharu dan merasa dihargai. Sekarang, aku sudah yakin untuk memenuhi panggilan Om Wawan dan Tante Widi ke ruang tamu. Apa pun rencana mereka berkunjung hari ini, aku pasti bisa memberikan keputusan. Aku juga harus memikirkan perasaan Ayah dan Bunda. Akhirnya, aku dan Bunda segera melangkah menuju ruang tamu. Hampir semua mata tertuju kepadaku. Ini benar-benar kejutan luar biasa. Keluarga Raka sepertinya telah mempersiapkan tujuan mereka ke rumah ini. Mereka membawa banyak barang seperti ingin melakukan lamaran. “Ini anak kami, Pak, Bu.” Bunda memegang pundakku sambil memperkenalkan diriku kepada keluarga Raka. “Ternyata pilihan Raka nggak salah.” Aku mendengar celetuk seorang wanita yang usianya sepertinya masih di atasku. Apa mungkin ia kakaknya Raka? “Ibuuu.” Nayla tiba-tiba menghampiriku,
🏵️🏵️🏵️ Siapa yang mengirim pesan kepadaku? Aku merasa tidak pernah merebut sesuatu yang bukan hakku. Aku selalu bersikap sesuai dengan nasihat Ayah dan Bunda. Mungkin nomor yang mengirim pesan itu salah kirim. Bisa saja pesan itu ditujukan bukan untukku. Lebih baik aku mengabaikannya dan memilih merebahkan tubuh supaya besok pagi lebih bersemangat dalam melanjutkan aktivitas. Lagi pun, aku harus tampak segar saat Raka menjemputku karena ia juga selalu kelihatan memesona setiap bertemu denganku. Mulai sekarang, aku harus menyeimbangkan penampilan dengannya. Aku tahu kalau dirinya merupakan CEO di perusahaan keluarganya. Om Wawan dan Tante Widi yang menceritakan tentangnya kepadaku. Saat aku mencoba memejamkan mata, nada telepon masuk mengagetkanku. Apa mungkin nomor yang tadi kembali menghubungiku karena tidak membalas pesannya? Apa sebaiknya aku biarkan saja ponsel itu berdering supaya yang menelepon berhenti menghubungiku? Tidak! Kenapa aku bersikap seolah-olah kalau apa yang
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak mengerti kenapa tuduhan menyakitkan itu ditujukan kepadaku. Siapa pengirim pesan itu? Apa sebaiknya aku mengirimkan balasan lalu bertanya siapa dirinya? Kenapa ia menganggapku mengambil miliknya? Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Raka tadi malam? Apakah wajar jika aku memberitahukan tentang pesan ini kepadanya? Apa aku tidak terlalu lancang? Aku sadar kalau kami berdua baru menjalin hubungan. Ini benar-benar membingungkan. “Ada apa? Kenapa wajah kamu seperti itu?” Raka kembali bertanya. Apa yang harus aku lakukan? “Saya ….” “Siapa yang kirim pesan?” Ia pun menepi lalu menghentikan mobilnya. “Itu ….” “Kamu kenapa, Naya?” Sekarang, ia menyebut namaku tanpa kata ‘Ibu’? “Bukan siapa-siapa, Pak.” Akhirnya, aku memilih untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya. “Kenapa kamu ketakutan?” Ternyata ia bisa melihat rasa takut yang menghampiriku saat ini. “Boleh saya lihat handphone kamu?”Sepertinya ia tetap ingin tahu karena melihat perubahan sikapku. Aku tidak me
🏵️🏵️🏵️ Sekarang aku ingat kalau nama yang Raka sebut tadi adalah tetangga masa kecilku. Apa mungkin orang yang sama? Saat SD kelas enam, tetanggaku tersebut mengaku pindah ke luar kota karena papinya mendirikan perusahaan di sana. Mereka akhirnya menjual rumah yang sekarang ditempati Tania—sahabat karibku. Jika benar Clara yang Raka maksud adalah tetanggaku, apa ia tidak mengenaliku lagi? Ya, mungkin wajar kalau seandainya ia tidak ingat lagi dengan wajahku karena sejak keluarganya pindah ke luar kota, kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Akan tetapi, aku berharap kalau Clara yang sedang berbicara di telepon dengan Raka, bukan sahabat masa kecilku. Aku harus membuang jauh-jauh pemikiran yang mengganggu hatiku. Aku yakin kalau Clara yang aku kenal, bukan seseorang yang ambisius hingga berani mengirim pesan aneh. “Dia Clara, wanita yang terobsesi pada saya,” ucap Raka setelah mematikan telepon. “Apakah dia yang mengirim pesan pada saya?” tanyaku penasaran. “Iya. Tapi kamu nggak