🏵️🏵️🏵️
Aku Kanaya Larasati, saat ini berusia 22 tahun. Aku baru menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah. Dua tahun yang lalu, Mas Arga berjanji akan melamarku setelah aku meraih gelar sarjana. Namun, kenyataan tidak seindah harapan.
Setelah aku lulus kuliah dan meraih prestasi yang sangat memuaskan, justru kesedihan datang menghampiriku. Lelaki yang sejak dulu mengaku sangat mencintaiku justru bersanding dengan wanita lain. Aku tidak tahu kesalahan apa yang aku perbuat hingga ia tega berkhianat.
Awalnya, aku sangat sedih, tetapi perlahan, rasa itu aku buang walaupun baru sedikit yang keluar dari hati yang paling dalam. Aku akan tetap berusaha melupakan Mas Arga karena ia sekarang milik wanita lain. Aku harus bisa bangkit dan membuktikan kepadanya kalau aku bisa hidup tanpa dirinya.
Aku sangat beruntung karena hari ini, Om Wawan—sahabat Ayah, memintaku menemui dirinya ke sekolah tempatnya menjabat sebagai kepala sekolah. Aku berharap menerima kabar baik karena cita-citaku sejak dulu ingin menjadi tenaga pendidik.
Mungkin jika aku memiliki kesibukan, akan lebih mudah melupakan Mas Arga. Aku ingin secepatnya mengeluarkan laki-laki itu dari hati dan pikiranku. Aku tidak ingin larut dalam kesedihan dan terkekang di masa lalu.
“Nay, mau ke mana?” Aku mendengar Shanti memanggilku.
“Mau keluar,” jawabku, lalu berjalan ke arah garasi. Seperti biasa, aku bepergian menggunakan motor matik yang Ayah belikan saat awal aku memasuki bangku kuliah dulu.
“Tunggu, Nay!” Aku menghentikan langkah saat Shanti kembali memanggilku. Apa yang ia inginkan dariku?
Aku membuang napas untuk menenangkan hatiku, lalu berbalik dan melihat ke arahnya. “Ada apa?” tanyaku, sambil tetap berusaha tersenyum.
“Kenapa kamu nggak datang ke acara nikahan aku dan Mas Arga?” tanya wanita itu.
Pantaskah ia melontarkan pertanyaan itu? Apa dirinya tidak pernah berpikir jika berada di posisiku? Bagaimana mungkin aku sanggup menghadiri pernikahan laki-laki yang telah menjalin hubungan selama lima tahun denganku? Terus terang, aku tidak sekuat itu. Terserah orang jika menilaiku lemah atau apalah.
“Maaf, aku buru-buru.”
Aku tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Shanti. Aku memilih memasuki garasi, lalu keluar dengan motor matikku, kemudian membelah jalanan. Aku tidak menyangka kalau Shanti menunjukkan sikap seolah-olah tidak melakukan kesalahan.
🏵️🏵️🏵️
Akhirnya, keinginanku selama ini menjadi kenyataan. Om Wawan memintaku mengajar di sekolah tempatnya bekerja. Ia bahkan mengetahui penderitaanku yang ditinggal nikah oleh Mas Arga. Mungkin Ayah yang telah menceritakan apa yang kualami saat ini kepada beliau.
“Nggak perlu dipikirkan laki-laki seperti itu. Masih banyak yang mau sama kamu. Mungkin anak Om juga mau.” Apa? Selama ini, aku tidak pernah tahu keluarga Om Wawan. Aku mengenal beliau karena sering berkunjung ke rumah bersama Tante Widi—istrinya yang juga menjadi kepala sekolah di SD yang berbeda.
Aku berusaha tersenyum mendengar ucapannya. “Untuk sekarang, Naya ingin fokus ngajar, Om.”
“Itu bagus. Sukses dulu, baru mikirin jodoh.” Bukan Om Wawan namanya kalau cara penyampaiannya tidak membuatku tersenyum.
Setelah Om Wawan menjelaskan tentang peraturan yang berlaku untuk para guru, aku pun mengangguk tanda mengerti. Setelah itu, aku berpamitan pulang. Aku merasa lega karena mulai besok, aku akan memasuki dunia kerja.
Setelah beberapa menit menyusuri jalan, sosok Mas Arga berdiri di depan mobilnya yang sedang berhenti sambil melambaikan tangan ke arahku. Ada apa lagi ini? Tadi istrinya yang membuatku kesal. Kenapa sekarang giliran laki-laki itu?
Aku tidak ingin berhenti, tetapi Mas Arga justru makin nekat merentangkan kedua tangannya seolah-olah menghalangi jalanku. Aku terpaksa menepi.
“Tunggu, Nay. Aku mau ngomong penting.” Ia meraih tanganku, tetapi langsung aku tepiskan.
“Mau kamu apa, Mas? Kamu belum puas nyakitin aku? Sekarang, kamu ingin agar orang lain salah paham melihat kebersamaan kita di tepi jalan ini?” Aku benar-benar kesal melihatnya.
“Mana Naya-ku yang dulu? Yang selalu lembut berbicara dan bersikap padaku.”
“Cukup, Mas! Aku bukan siapa-siapamu lagi. Kamu lupa udah punya istri?”
“Tolong dengarkan penjelasanku, Nay.”
“Maaf, aku nggak ada waktu.” Aku pun memilih pergi dari tempat itu.
Tanpa diminta, air mata ini terjun bebas dari tempatnya. Sampai kapan aku menangisi perpisahanku dengan Mas Arga?
🏵️🏵️🏵️
Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, aku akan berkata sangat sakit. Lelaki yang dulu memanjakan diriku, kini harus aku anggap seperti orang asing karena ia telah memilih berdampingan dengan wanita lain.
Aku terlalu naif saat Mas Arga mengirimiku pesan dengan ucapan-ucapan romantis sebelum dirinya meminta izin untuk menikahi Shanti. Mungkin aku terlalu polos atau terlalu percaya kepada Mas Arga hingga tidak merasa curiga dengan apa yang ia lakukan bersama Shanti di belakangku.
Mas Arga benar-benar sukses membuatku menjadi orang paling tidak mengerti apa-apa. Bisa-bisanya ia masih tetap menghubungiku kala itu walaupun akhirnya memilih menikahi wanita lain. Ingin rasanya mentertawakan diriku sendiri. Ternyata antara bucin dan polos memang beda tipis.
“Kamu udah ketemu Om Wawan, Nay?” tanya Bunda setelah aku menghempaskan tubuh ke sofa ruang keluarga. Beliau langsung duduk di sampingku.
“Udah, Bun.”
“Kenapa wajah kamu murung? Om Wawan bilang apa?”
“Besok, Nay mulai ngajar, Bun.”
“Alhamdulillah. Tapi ada yang aneh menurut Bunda.” Wajah Bunda tampak serius.
“Aneh gimana, Bun?”
“Kalau kamu besok mulai ngajar, kenapa kamu nggak kelihatan bahagia? Bukankah kamu ingin jadi guru sejak dulu?” Bagaimana ini? Apa sebaiknya aku ceritakan saja tentang pertemuanku hari ini dengan Mas Arga?
“Naya lagi kesal, Bun.”
“Kesal sama siapa?”
“Mas Arga.” Akhirnya, aku tidak mampu menutupi pertemuanku dengan Mas Arga kepada Bunda.
“Dia lagi? Nay, Nay … sampai kapan kamu tetap berurusan dengannya?” Bunda menggeleng.
“Nay nggak ingin ketemu dia, Bun, tapi entah kenapa dia masih aja pengen ngejalasin sesuatu pada Nay.” Aku berusaha meyakinkan Bunda kalau aku tidak ingin bertemu dengan Mas Arga.
“Mau jelasin apa?”
“Nay nggak mau tahu, Bun. Nay berusaha untuk menghindarinya supaya nggak terjadi salah paham.”
“Tindakan kamu udah benar, Sayang. Apa pun yang ingin dia jelaskan tidak akan mengubah kenyataan dan keadaan.” Bunda mengusap-usap pundakku.
Benar kata Bunda, aku harus mengabaikan apa pun yang ingin Mas Arga katakan. Aku dan dirinya hanya masa lalu. Aku tidak ingin dianggap sebagai pengganggu hubungan orang lain. Lebih baik aku mengikhlaskan pernikahannya dengan Shanti. Mungkin mereka ditakdirkan untuk berjodoh walapun dengan cara menyakitiku.
🏵️🏵️🏵️
Pagi ini, pikiranku lebih tenang karena akan memasuki dunia baru. Aku akan bertemu dengan anak-anak yang pasti menggemaskan. Aku diminta Om Wawan menjadi wali kelas satu karena wali kelas sebelumnya sedang cuti melahirkan.
Jarum jam menunjukkan angka enam lewat dua puluh menit. Aku pun sarapan bersama Novia karena ia juga akan berangkat sekolah. Sebelumnya, ia selalu diantar Pak Dimas—sopir Ayah. Namun mulai sekarang, aku yang akan mengantarkannya karena sekolah tempatku mengajar tidak jauh dari sekolahnya.
Akhirnya, kami tiba di sekolah Novia. Setelah ia turun, aku segera meluncur. Ternyata seperti ini rasanya saat akan memulai mengajar, hati senang dan ingin segera bertemu dengan anak-anak. Mereka pasti mampu membuatku melupakan sakit yang Mas Arga ciptakan.
Aku memarkirkan motor matik kesayanganku, lalu berjalan ke arah pintu masuk. Entah kenapa ponsel dalam genggamanku tiba-tiba terjatuh. Aku pun merendahkan posisi tubuh untuk meraih benda itu, tetapi seseorang mengenai tubuhku dan ia hampir tersungkur.
“Maaf, saya tidak sengaja.” Ternyata pemilik suara itu laki-laki.
Aku segera berdiri. Mata kami pun saling memandang. “Saya juga minta maaf.” Aku menangkupkan kedua tangan di depannya.
“Papa.” Seorang anak perempuan kecil tiba-tiba memeluk kaki laki-laki itu.
Aku tidak menyangka, pria muda di hadapanku ternyata telah bergelar papa, padahal dilihat dari wajahnya, ia masih sangat muda. Mungkin seusiaku atau dua tahun di atasku. Apa, sih, yang aku pikirkan? Kenapa harus menebak-nebak umurnya? Stop, Nay! Tujuan kamu ke sini untuk kerja, bukan cari jodoh. Lagi pun, pria punya anak pasti punya pendamping juga.
“Kamu dari mana, Sayang? Papa cariin dari tadi.” Laki-laki itu langsung menggendong anak tersebut.
Dasar anak-anak, bukannya menjawab pertanyaan papanya, malah melihat ke arahku. “Ibu Guru Cantik, masih baru, ya?” Pertanyaan lucu, tetapi menggemaskan.
“Iya, Cantik.” Aku memberikan jawaban.
“Kenalin, ini papa Nay.” Anak itu mengusap pipi laki-laki yang menggendongnya. What? Apa mungkin nama kami sama? Aku pun membalasnya dengan senyuman. “Kalau Ibu, namanya siapa?”
Sebelum aku menjawab pertanyaan anak itu, tiba-tiba ada panggilan masuk di ponselku. Ternyata dari Om Wawan. Aku pun berpamitan untuk memasuki sekolah, lalu mengangkat telepon.
==========
🏵️🏵️🏵️Waktu menunjukkan pukul 07.15 wib, aku dan Om Wawan memasuki kelas yang akan aku tangani. Aku sangat terkejut melihat anak perempuan yang tadi bertemu di depan pintu masuk sekolah. Ternyata ia akan menjadi anak didikku.Om Wawan menjelaskan kepada anak-anak kalau aku akan menggantikan wali kelas mereka yang sedang cuti. Reaksi mereka membuatku terharu. Aku disambut dengan sorakan menggemaskan. Tiba-tiba, anak perempuan yang tadi bertemu denganku, mengacungkan tangan.“Nama Ibu siapa?” Pertanyaannya masih sama seperti tadi, padahal tanpa ia minta pun, aku akan memperkenalkan diri. Aku membalasnya dengan senyuman.“Selamat pagi, Anak-Anak Ibu.” Aku pun menyapa mereka.“Selamat pagi, Bu!” Suara mereka membuatku tenang. Mungkin karena sejak dulu, aku sangat menyukai anak-anak.“Perkenalkan nama Ibu, Kanaya Larasati. Biasa dipanggil Nay atau Naya. Anak-anak panggil Ibu Naya saja.” Aku pun memberitahukan namaku kepada mereka.“Nama Ibu mirip dengan Nay.” Anak perempuan tadi kembal
🏵️🏵️🏵️Kenapa aku tiba-tiba terdiam? Apakah pesona laki-laki itu telah memasuki pikiranku? Mungkinkah pintu hati ini kembali terbuka tanpa kusadari? Entah kenapa kesedihanku tadi saat memikirkan Mas Arga seolah-olah sirna seketika.Aku belum pernah mengalami perasaan seaneh ini. Bagaimana mungkin pertemuan pertama dengan laki-laki itu membuatku berpikiran jauh? Harusnya aku sadar kalau dirinya wali murid anak didikku, tidak lebih.Cukup aku mengagumi para aktor tampan dalam drama Korea, Thailand, dan China yang biasa aku tonton. Mereka tidak nyata di depanku. Namun, kalau aku harus mengagumi wali murid, itu aneh apalagi baru bertemu sekali. Seandainya Novia tahu kelakuan kakaknya ini, ia pasti akan mentertawakan aku.“Tidak, Pak. Saya sedang santai. Jadi, tidak mengganggu sama sekali.” Akhirnya, aku berhasil memberikan balasan.“Ibu tidak keberatan kalau saya simpan nomor kontaknya?” Lagi dan lagi, aku makin bingung menghadapi pemuda itu.“Silakan, Pak. Tidak masalah.” Mana mungkin
🏵️🏵️🏵️ Tidak puaskah mereka mengobrak-abrik hatiku? Mereka bersikap seolah-olah tidak melakukan kesalahan. Apa mungkin mereka sengaja ingin melihatku menderita? Perbuatan Mas Arga tadi pagi telah membuatku ketakutan, sekarang istrinya kenapa tiba-tiba ke rumahku? Mungkin sebaiknya aku pura-pura tidak mendengar panggilan Shanti untuk menenangkan hati. Entah kenapa setiap melihat wajahnya, pengkhianatan Mas Arga yang langsung menari-nari di kepalaku. Pasangan suami istri itu mampu menjatuhkan mentalku. “Untuk apa kamu ketemu suamiku?” Apa? Shanti melontarkan tuduhan seperti itu kepadaku? Aku tidak mungkin tetap berpura-pura tidak mendengar apa yang keluar dari bibirnya. Aku pun berbalik arah. Ternyata ia kini telah berdiri di dekat Bunda. “Maksud kamu apa?” tanyaku kepada wanita itu. Aku baru kali ini memperhatikan perutnya. Ternyata sudah besar. “Kamu belum bisa move on dari Mas Arga?” Sungguh, aku benar-benar kesal dengan tuduhannya. “Sebelum kamu nuduh, tanya dulu suamimu.” A
🏵️🏵️🏵️ Tanpa diingatkan pun, aku tahu ini hari penting untukku dan Mas Arga sebelum dirinya berkhianat. Tanggal ini merupakan awal kami menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih lima tahun yang lalu. Di mana saat itu, ia mengutarakan perasaannya kepadaku. Akan tetapi, untuk apa ia masih mengingatkan aku tentang hal itu? Itu tidak pantas lagi karena dirinya sekarang telah berstatus sebagai suami dari wanita lain. Apa yang ada dalam pikirannya? Ia yang mengakhiri hubungan kami, tetapi ia juga yang masih berusaha mengusikku hingga detik ini. Entah apa lagi yang akan aku lakukan agar ia benar-benar tidak menggangguku lagi. Mungkin pilihanku untuk menerima kedatangan Raka dan orang tuanya sudah tepat. Semoga setelah Mas Arga melihat kedatangan mereka ke rumah ini akan membuatnya sadar bahwa kami hanya masa lalu. “Siapa, Sayang?” tanya Bunda hingga membuyarkan lamunanku. Apa mungkin beliau menyadari perubahan wajahku? “Bukan siapa-siapa, Bun.” Aku sengaja tidak mengatakan yang seben
🏵️🏵️🏵️ Pagi ini, aku kembali melakukan aktivitas seperti biasanya. Aku melajukan kendaraan roda dua milikku hingga tiba di sekolah Novia. Aku tersenyum setelah kembali membelah jalanan karena melihat mobil Raka mengikutiku dari belakang. Aku sempat berpikir bahwa duniaku akan terasa hampa setelah Mas Arga memilih menikahi Shanti. Ternyata aku salah karena kenyataannya saat ini, ada pemuda yang jauh lebih perhatian dan peduli terhadapku dibanding apa yang Mas Arga lakukan dulu. Aku berharap bahwa sikap yang Raka tunjukkan saat ini, benar-benar tulus dari hatinya yang paling dalam. Semoga ini tidak hanya sekadar usaha karena ingin menarik simpatiku. Aku takut jika kegagalan dalam menjalin hubungan kembali menghampiriku. “Maaf, saya hanya ingin menyampaikan kalau besok saya akan mengikuti Ibu saat berangkat ngajar.” Raka membuatku tersentuh tadi malam. Ia mengaku ingin menjagaku dari hal-hal yang tidak terduga. Ia khawatir jika Mas Arga kembali menggangguku seperti kala itu. Aku
🏵️🏵️🏵️ Ternyata seperti ini rasanya didekati laki-laki yang langsung melibatkan keluarga. Pertemuan singkat antara aku dan Raka mampu meyakinkan dirinya untuk lebih mengenalku. Aku sangat terharu dan merasa dihargai. Sekarang, aku sudah yakin untuk memenuhi panggilan Om Wawan dan Tante Widi ke ruang tamu. Apa pun rencana mereka berkunjung hari ini, aku pasti bisa memberikan keputusan. Aku juga harus memikirkan perasaan Ayah dan Bunda. Akhirnya, aku dan Bunda segera melangkah menuju ruang tamu. Hampir semua mata tertuju kepadaku. Ini benar-benar kejutan luar biasa. Keluarga Raka sepertinya telah mempersiapkan tujuan mereka ke rumah ini. Mereka membawa banyak barang seperti ingin melakukan lamaran. “Ini anak kami, Pak, Bu.” Bunda memegang pundakku sambil memperkenalkan diriku kepada keluarga Raka. “Ternyata pilihan Raka nggak salah.” Aku mendengar celetuk seorang wanita yang usianya sepertinya masih di atasku. Apa mungkin ia kakaknya Raka? “Ibuuu.” Nayla tiba-tiba menghampiriku,
🏵️🏵️🏵️ Siapa yang mengirim pesan kepadaku? Aku merasa tidak pernah merebut sesuatu yang bukan hakku. Aku selalu bersikap sesuai dengan nasihat Ayah dan Bunda. Mungkin nomor yang mengirim pesan itu salah kirim. Bisa saja pesan itu ditujukan bukan untukku. Lebih baik aku mengabaikannya dan memilih merebahkan tubuh supaya besok pagi lebih bersemangat dalam melanjutkan aktivitas. Lagi pun, aku harus tampak segar saat Raka menjemputku karena ia juga selalu kelihatan memesona setiap bertemu denganku. Mulai sekarang, aku harus menyeimbangkan penampilan dengannya. Aku tahu kalau dirinya merupakan CEO di perusahaan keluarganya. Om Wawan dan Tante Widi yang menceritakan tentangnya kepadaku. Saat aku mencoba memejamkan mata, nada telepon masuk mengagetkanku. Apa mungkin nomor yang tadi kembali menghubungiku karena tidak membalas pesannya? Apa sebaiknya aku biarkan saja ponsel itu berdering supaya yang menelepon berhenti menghubungiku? Tidak! Kenapa aku bersikap seolah-olah kalau apa yang
🏵️🏵️🏵️ Aku tidak mengerti kenapa tuduhan menyakitkan itu ditujukan kepadaku. Siapa pengirim pesan itu? Apa sebaiknya aku mengirimkan balasan lalu bertanya siapa dirinya? Kenapa ia menganggapku mengambil miliknya? Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Raka tadi malam? Apakah wajar jika aku memberitahukan tentang pesan ini kepadanya? Apa aku tidak terlalu lancang? Aku sadar kalau kami berdua baru menjalin hubungan. Ini benar-benar membingungkan. “Ada apa? Kenapa wajah kamu seperti itu?” Raka kembali bertanya. Apa yang harus aku lakukan? “Saya ….” “Siapa yang kirim pesan?” Ia pun menepi lalu menghentikan mobilnya. “Itu ….” “Kamu kenapa, Naya?” Sekarang, ia menyebut namaku tanpa kata ‘Ibu’? “Bukan siapa-siapa, Pak.” Akhirnya, aku memilih untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya. “Kenapa kamu ketakutan?” Ternyata ia bisa melihat rasa takut yang menghampiriku saat ini. “Boleh saya lihat handphone kamu?”Sepertinya ia tetap ingin tahu karena melihat perubahan sikapku. Aku tidak me