“Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan…” suara operator masih menjawab telpon Magisa sejak pagi. Aku mulai gelisah, apakah terjadi sesuatu padanya? Harusnya saat dia senang karena kemungkinan klien akan suka dengan design gedung yang dia buat. Tapi, aku juga tidak tahu apakah presentasinya berjalan lancar.
Aku semakin gelisah karena tidak ada orang lain yang bisa kuhubungi lagi selain ibu dan kakak-kakaknya yang mengatakan bahwa Magisa belum mengunjungi mereka lagi sejak aku kembali ke Sydney. Perasaanku tidak enak dan itu masih berlanjut sampai aku akhirnya bertolak ke Jakarta. Magisa tidak bisa dihubungi.
Ide memberi kejutan itu sepertinya kacau. Ya tidak akan ada mawar merah di tempat tidur, lilin aromaterapi dalam gelap. Wine dan candle light. Semua itu lenyap dari pikiranku. Aku pulang ke rumah kami yang baru dengan perasaa
Ya, Magisa membawa maketnya ke luar ruangan. Lalu mencoba menelponku, tapi aku tidak mengangkatnya. Lalu bekali-kali lagi dia mencobanya, aku sudah tak bisa dihubungi. Saking depresinya, dia lemparkan maket yang sudah dia rancang sedemikian rupa ke dinding sampai hancur. Kurasa karena aku tidak ada di sisinya saat itulah yang membuatnya membanting barang-barang ada di rumah. Aku menyesal karena mengabaikannya dan malah sibuk dengan perempuan lain. Namun aku sudah mengakhiri kegilaan itu Aku hanya bisa tertunduk saat Magisa menceritakan detil kejadian sampai kemudian perusahaan yang merekrutnya terpaksa memutuskan kontrak dengannya. Aku bingung. Benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa, karena aku sendiri juga sudah tahu bahwa…Magisa tidak hanya menghancurkan masa remaja Saira tapi juga seluruh sisa hidupnya. Aku sudah b
Aku memeluknya sekali lagi walaupun jantungku masih berdebar keras. Kupejamkan mataku saat mendekapnya di dada untuk merasakan bahwa hatiku milik perempuan ini, apa pun yang terjadi. Namun, kilasan itu seakan menari-nari lagi di ruang mataku.Bagaimana Saira menolakku untuk tidak menyentuhnya seujung jari pun; dia gemetaran bahkan saat aku memeluknya untuk memberinya rasa nyaman. Dia menangis dan aku berusaha keras untuk membuatnya bicara. Saat akhirnya dia bicara, kami saling menangis. Ya, aku meneteskan air mataku saat mendengarkan ceritanya.“Dar…,” suara Magisa kembali memanggil dengan lemah.Kusadari, aku telah terbaring dengan tubuhnya di atas tubuhku. Aku membuka mataku dan melihat wajah pucat Magisa tepat berada di depan wajahku, dan bibirnya menyentuh bibirku dengan kasar. Aku membiarkannya karena keadaannya yang sedang tidak stabil
Magisa terlihat di teras depan. Entah apa yang dia pikirkan, namun matanya memandang jauh ke ujung gang di mana sesekali tetangga atau gerobak pedagang makanan melintas. Malam cukup sunyi ketika aku memberanikan diri untuk menghampiri, setidaknya menyampaikan apa yang sudah aku rencanakan untuk kami selanjutnya. Yang pasti kami akan menetap di Jakarta dan aku akan mencari pekerjaan yang cocok; ya, pekerjaan yang sesuai dengan hasratku. “Ini sudah jam sebelas, kamu nggak dingin?” tegurku. Magisa menoleh. Namun tatapannya hampa, demikian pula bibirnya yang tertutup rapat. “Aku menjadi nggak berguna kalau kamu stress hanya gara-gara pekerjaan,” ujarku. “Maksudku ..., kamu ingin bekerja karena aku terlalu sibuk dan sering nggak pulang. Tapi, sekarang, aku sudah nggak sesibuk dulu lagi. Artinya, kita akan punya lebih banyak waktu bersama. Jadikamu ng
Dari ruang tengah, aku bisa mendengar suara Magisa dan Alma mengobrol -walaupun suara Alma lebih mendominasi di antara suara-suara ketiga anak Alma yang asyik bermain bersamaku di ruang TV. Magisa bisa dibilang hampir tidak berkomentar atas apa pun yang Alma katakan dan sesekali aku mendengar namaku disebut. Aku bukannya tidak tahu bahwa keluarganya selalu berusaha untuk meyakinkannya bahwa semuanya hanya masa lalu. Magisa hanya kebetulan saja bertemu dengan Ibu Saira tapi dia masih belum bisa menerimanya. Kesan yang aku dapatkan ketika dia bercerita padaku tentang Saira adalah sepertinya sekarang Magisa kembali menyalahkannya. Tapi, aku tidak bisa menceritakan padanya bahwa Saira pun juga tidak hidup dengan semestinya setelah semua yang terjadi. Bahkan mendengar nama Saira keluar dari mulutku saja dia tidak sudi -Magisa tidak suka bila aku yang menyebut namanya. Magisa masih saja cemburu.
Sydney International Elementary School, sebuah kebetulan kalau seandainya perawat rumah sakit tidak salah menulis namaku. Tapi, sekolah dasar bertaraf internasional itu memang dikelola di bawah yayasan yang didirikan oleh perusahaan ayahku. Tujuan Reggina memintaku mengajar di sini adalah agar aku bisa menemukan orang-orang yang tepat untuk membuat sebuah program bagi anak-anak miskin. Hanya itu yang terpikirkan oleh orang yang tidak akan bisa memiliki anak seperti diriku. Awalnya aku berharap aku bisa mengerjakan hal ini dengan Magisa, tapi melihat sikapnya aku yakin dia tidak bersedia merepotkan dirinya mengurus sesuatu yang tidak ada hubungan dengan dirinya. Melihat caranya memarahi Lucky beberapa hari lalu, membuatku sangat yakin bahwa kami tidak sejalan lagi untuk urusan kegiatan amal ini.Magisa lebih mementingkan dirinya saat ini. Aku teringat ketika pagi-pagi sekali pintu kamar terbuka dan aku melihatnya duduk di sis
“Semua orang mengalaminya, Dar,” ujar Anna yang menemukanku sedikit gugup saat di kelas tadi. Dia sangat ramah padaku dan beruntung aku satu ruangan dengannya. “Dan pastinya kamu dengan pengalaman yang masih terlalu sedikit pasti bingung dengan mereka.” “Yah, ini sesuatu yang baru,” jawabku. Anna kemudian memberikanku sebuah map yang sepertinya penting, “Itu adalah data siswa di kelas IA,” dia menjelaskan. “Kamu bisa mempelajarinya dan sedikitnya pasti bisa menilai seperti apa sifat mereka dari latar belakang keluarga. Kebanyakan dari anak-anak itu sedikit paranoid dengan orang yang baru dikenal.” “Oh ya?” aku membuka sebuah map bertuliskan sebuah nama Adeline Maple Marlow, putri seorang duta besar Amerika untuk Indonesia, kemudian fokus kepada Anna yang akan memberikanku informasi penting. “Ya, sekolah dijaga sangat ketat.
Bell pulang akhirnya berbunyi. Seperti dikomando anak-anak keluar kelas di dampingi oleh guru mereka. Dari pengamatanku sekilas, tampaknya sekolah ini begitu disiplin dan ketat. Aku memperhatikan Anna dan Retha mengantar anak-anak yang supirnya telah datang menjemput. Mereka sempat berbicara dengan supir-supir itu dan sepertinya mereka sudah saling kenal; mungkin itulah yang disebut dengan terverifikasi. Anak-anak itu kelihatan gembira saat menaiki mobil jemputan. Mereka sempat melambaikan tangan pada guru mereka dengan riangnya dengan menyerukan ‘Sampai bertemu besok!’. Setelah itu para guru menemani anak-anak yang belum dijemput. Sayangnya aku belum terbiasa menghadapi anak kecil. Itu kedengaran lucu. Aku belum mendapatkan selah untuk mendekati satu anak pun karena kebanyakan mereka kelihatannya lebih suka dengan guru perempuan. Lihat saja Anna dan Retha yang berbicara dengan lemah lembut
“Jangan berharap banyak. Aku nggak akan naik mobil seorang laki-laki beristri,” kata Saira menegaskan saat aku berhenti di depannya dengan mobilku.Dia membuatku sedikit gusar, karena itu terdengar seperti umpatan. Namun dia membuatku seperti orang bodoh yang akhirnya turun dari mobil dan setuju untuk ikut dengannya. Pertemuanku dengannya selalu seperti itu. Di mana aku selalu berjalan di belakangnya; pergi ke mana pun yanng ingin dia tuju. Tetap saja, walaupun kembali bertemu, sosoknya yang kurus dan dibalut warna gelap, selalu memunculkan banyak misteri.Selama berjalan bersamanya, aku sudah memikirkannya; terutama tentang Sunny. Apakah Saira menjalin hubungan dengan seorang pria setelah aku?“Mama nggak pernah ngizinin aku ketemu sama Sunny, kalau kamu mau tahu,” Saira memulai saat ia memilih duduk di sebuah halte bus yang kami lewat