“Jangan berharap banyak. Aku nggak akan naik mobil seorang laki-laki beristri,” kata Saira menegaskan saat aku berhenti di depannya dengan mobilku.
Dia membuatku sedikit gusar, karena itu terdengar seperti umpatan. Namun dia membuatku seperti orang bodoh yang akhirnya turun dari mobil dan setuju untuk ikut dengannya. Pertemuanku dengannya selalu seperti itu. Di mana aku selalu berjalan di belakangnya; pergi ke mana pun yanng ingin dia tuju. Tetap saja, walaupun kembali bertemu, sosoknya yang kurus dan dibalut warna gelap, selalu memunculkan banyak misteri.
Selama berjalan bersamanya, aku sudah memikirkannya; terutama tentang Sunny. Apakah Saira menjalin hubungan dengan seorang pria setelah aku?
“Mama nggak pernah ngizinin aku ketemu sama Sunny, kalau kamu mau tahu,” Saira memulai saat ia memilih duduk di sebuah halte bus yang kami lewat
Magisa tidak berubah sejak dari rumah hingga kami tiba di sebuah restoran Italia untuk makan malam. Pelayan sudah menyiapkan tempat khusus dengan lilin yang menyala dan diringi suara biola yang mendayu-dayu. Dia makan hidangannya dengan sangat pelan namun tampak tidak menikmatinya. Padahal makanan Italia adalah salah satu favoritnya. “Kamu nggak suka makanannya?” tanyaku. Magisa tidak menjawab; malah cenderung mengabaikanku dengan tidak mau menatap wajahku. Dia mulai memainkan spageti nya dengan garpu dan sepertinya tidak lagi tertarik untuk makan. Seolah mendengar suaraku membuatnya kehilangan nafsu makan. “Gi?” tegurku, sambil menggenggam tangannya di atas meja. Tapi dia menariknya. “Sampai kapan kamu mau seperti ini?” Lagi-lagi, dia bungkam. Menghindari wajahku adalah bentuk pertahanannya. Aku tidak tahu apa betul yang membuatnya sedemikian marah. “Kamu harus melepaskannya...,” ujarku. Akhirnya Magisa menatapku juga, namun tajam. “K
Aku harus bertanya pada Saira saat bertemu nanti dan dia harus menjawabnya kali ini setelah kemarin dia memberiku ekspresi yang misterius; diam dan bersikap tak ingin membahasnya. Walaupun itu akan terlihat konyol. Setidaknya, perasaan ini tidak menggelisahkanku. Dia tidak tahu seberapa besar keinginanku akan seorang anak.Hanya saja bagaimana dengan Magisa? Apa dia bisa menerimanya? Tapi, mau tidak mau itulah kenyataannya. Bukankah Sunny juga sudah hadir sebelum kami menikah, bahkan sebelum kami berpacaran. Pikiranku semakin kacau saat aku memandang ke pagar itu. Aku menunggu dengan penuh harapan; terlebih Sunny yang kembali berwajah cemberut.“Apa biasanya Mama telat?” aku bertanya, tak berharap dia akan menjawabku.Bisa saja Saira mempunyai urusan lain ‘kan? Tapi, aku juga tidak yakin. Dia tentu tidak akan melewatkan kesempatan sekecil apa
Sudah tiga hari Saira tidak datang. Aku dan Sunny selalu menunggu di halaman belakang. Mencapai hari ketiga ini, Sunny semakin murung dan tak kalah muram dengan hari-hari sebelumnya. Seandainya saja aku tahu Saira berada di mana, aku akan membawanya ke sana. Bodohnya aku tidak bertanya di mana dia tinggal. Aku juga tidak meminta nomor telepon; aku sendiri juga ragu Saira punya telepon genggam. Dia benar-benar kelihatan seperti orang yang tak punya apa-apa. Ya, sepertinya harta berharga satu-satunya bagi Saira adalah Sunny. Tapi, kenapa dia menghilang lagi setelah dia berjanji padaku akan kembali lagi? Paling tidak demi putranya. “Mama pasti sakit...,” kata Sunny. Suaranya yang pelan terdengar merengek. “Mama nggak bisa datang....” Sunny seolah mengatakan bahwa sakit adalah satu-satunya hal yang menghentikan Saira. Selain itu tak ada lagi yang bisa menghalanginya untuk datang menemui Sunny.
Saat bel pulang berbunyi lagi, tak ada yang berubah dari halaman belakang di mana aku dan Sunny menunggu Saira muncul. Anak itu kembali kecewa; kali ini padaku. Dia menangis tersedu-sedu; sebelumnya tidak pernah. Aku berusaha menenangkannya namun tidak sanggup lagi berjanji. Aku tidak bisa menjamin ibunya akan menemuinya; aku bahkan tidak berdaya. Didukung oleh cuaca mendung, kesedihan rasanya makin pekat saja. Pak Didi terlihat cemas melihat Sunny menangis sampai matanya bengkak. Aku tidak menjelaskan banyak karena ini rahasia kecil kami. Meski pun Pak Didi sepertinya bisa dipercaya karena dia jelas ikut sedih saat melihat Sunnya terisak-isak. “Dia kangen Mamanya,” aku menjelaskan ke Pak Didi. “Sunny selalu kangen Mamanya. Kalau saya tahu Non Saira ada di mana pasti saya antar dia ke sana...,” kata Pak Didi. “Walaupun saya bakal dimarahin Nyonya, tapi saya
Sunny kelihatan gembira saat dia tidak perlu harus naik mobil Pak Didi dan pulang ke rumah. Pak Didi pergi lebih dulu dan dia lega saat aku mengatakan bahwa aku akan membawa Sunny ke ibunya. Dia bilang padaku bahwa dia akan mengurus segala sesuatu di rumah sehingga Nyonya rumah tidak tahu bahwa cucunya belum pulang. Kemarin Saira memohon padaku agar dia mempertemukan aku dengan putranya. Aku tidak bisa menolaknya. Saat aku bilang bahwa aku sempat berbicara dengan Pak Didi dia memintaku untuk mengatakannya pada Pak Didi. Saira tahu bahwa pria itu tidak akan bilang tidak menyangkut dirinya. Saira tahu bahwa Pak Didi orang yang bisa dia andalkan. Saira menunggu di sudut jalan yang tidak jauh dari sekolah. Saat akhirnya mereka bertemu, aku ikut gembira. Saira memeluk putranya erat bahkan sampai meneteskan air mata. “Mama kangen sama Sunny,” dia berkata sambil m
Sudah lama aku tidak merasa selelah ini. Setelah jam-jam menyenangkan di mana aku terbawa eforia Saira dan Sunny, aku kembali muram dalam perjalanan pulang. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa melupakan Magisa sejenak. Tiba-tiba aku merasa khawatir bagaimana jika perasaan yang aneh ini tidak kunjung reda. Lelaki sejati harusnya setia pada cintanya. Tapi, setelah bertemu Saira lagi, aku jadi mempertanyakan siapa yang aku cintai sebenarnya?Aku sudah berselingkuh itu jelas. Meskipun itu dengan seorang perempuan –yang harus kuakui, adalah seseorang yang seharusnya memiliki semua cintaku, itu tetap kesalahan. Saira tidak menolakku ketika aku menciumnya dan malam seperti di Hyatt terjadi lagi, meski pun itu hanya di mobil dan dalam waktu yang singkat. Dan sialnya aku tidak merasa puas dengan itu; aku semakin menginginkannya dan kalau saja Magisa tidak sedang dalam keadaan mengkhawatirkan sekarang, entah. Aku akan membuat al
Selama di Sea World, aku tak banyak berada di sekitar mereka. Aku membiarkan mereka menikmati pemandangan akuarium raksasa dengan berbagai macam ikan di dalamnya. Saat ada pertunjukan oleh penyelam memberi makan ikan, aku berdiri paling belakang.Pembawa acara mengundang anak-anak ke depan untuk menjawab pertanyaannya dan bagi yang bisa menjawab dengan benar akan mendapatkan hadiah. Saira terlihat mengacungkan tangan Sunny sehingga pembawa acara memilihnya lalu memberinya tantangan. Yaitu menyebutkan dengan benar kalimat seperti ‘Kelapa diparut, kepala diurut’.Tiga orang anak mendapatkan perhatian sang pembawa acara. Anak pertama menyebutkannya dengan terbalik ‘Kepala diparut, kelapa diurut’ dan penonton yang bejibun ikut tertawa. “Kepala kok diparut?”Sunny mendapat giliran terakhir. Dia tampak menyimak kalimat si pembawa
Keadaanku tidak terlalu baik dibandingkan hari-hari di minggu kemarin. Namun suasana kelas satu pagi ini terasa berbeda ketika aku masuk; Sunny absen. Aku kembali membuka kelas gambar seperti biasa; mengabaikan gangguan dari bangku Sunny di pojok belakang yang kosong. Aku teringat pada tawanya dan juga tangisnya.Joana kembali menggambar unicorn dan pelangi dengan versi berbeda; ditambah dengan makhluk kuning yang mirip seperti pisang. Oh, Minions rupanya. Dia mengulang perkataannya Minggu lalu; akan memberikan gambar itu ke Daddy-nya. Sangat manis.Di tengah pelajaran, Anna tiba-tiba datang. Wajahnya terlihat cemas. “Dar, kamu harus ke ruang kepala sekolah,” dia berkata.Aku tidak langsung bertanya kenapa. Melihat wajah Anna yang cemas, sesuatu pastilah terjadi dan itu mungkin buruk.Mr. Ulrich belum pernah memangg