Keadaanku tidak terlalu baik dibandingkan hari-hari di minggu kemarin. Namun suasana kelas satu pagi ini terasa berbeda ketika aku masuk; Sunny absen. Aku kembali membuka kelas gambar seperti biasa; mengabaikan gangguan dari bangku Sunny di pojok belakang yang kosong. Aku teringat pada tawanya dan juga tangisnya.
Joana kembali menggambar unicorn dan pelangi dengan versi berbeda; ditambah dengan makhluk kuning yang mirip seperti pisang. Oh, Minions rupanya. Dia mengulang perkataannya Minggu lalu; akan memberikan gambar itu ke Daddy-nya. Sangat manis.
Di tengah pelajaran, Anna tiba-tiba datang. Wajahnya terlihat cemas. “Dar, kamu harus ke ruang kepala sekolah,” dia berkata.
Aku tidak langsung bertanya kenapa. Melihat wajah Anna yang cemas, sesuatu pastilah terjadi dan itu mungkin buruk.
Mr. Ulrich belum pernah memangg
Masih segar di benakku saat aku pulang ke rumah karena mendengar Magisa dalam masalah. Aku terbang dari Australia ke Indonesia, hanya karena takut dia menyakiti dirinya sendiri karena kegagalan maketnya. Tapi, kali ini walaupun jarak sekolah dan rumah tak sejauh itu, aku merasa lebih khawatir lagi.Istriku membenci Saira dengan sepenuh jiwanya. Kebodohan seorang wanita yang cemburu dan patah hati karenaku membuat dia harus mengetahui kenyataan yang paling dia benci. Semalam aku bermimpi bahwa istriku akan membunuhku; meski di dunia nyata itu tak mungkin; saat ini aku dilanda ketakutan yang luar biasa. Seperti seorang pengkianat negara yang tak akan diampuni saat tertangkap; seperti itulah aku saat ini. Seperti seorang lelaki penyelingkuh yang ketahuan dengan sangat telak.Hari ini telah begitu tidak adil padaku. Apakah di rumah nanti aku harus menghadapi pertengkaran yang lebih besar lagi? Ru
Magisa mulai mondar-mandir seperti seorang ratu yang jahat dengan obsesinya yang gila.“Aku nggak akan bisa mendapatkan kamu karena kamu nggak suka dengan gadis jelek seperti aku, dan aku juga nggak bisa bergabung dengan perkumpulan sialan mereka yang idenya itu berasal dariku!” Magisa mulai menggebu-gebu; menguak rahasia lain yang lebih mengejutkanku. “Kamu tahu betapa menyakitkannya itu? Tapi, harusnya dia tahu, kalau akhirnya kamu menikahi aku! Sayang, dia sudah masuk penjara lebih dulu....”“Jadi, kamu tau itu...?” hatiku seakan tercabik mendengarnya.“Ask... your... sister...,”dia berbisik di telingaku lalu terkekeh sambil kembali menatap Reggina.Aku menoleh ke belakang, di mana adikku tampak khawatir. “Sejak... kap
Adikku, Beatriz-Margriet Adams meninggal dunia di usia 23 tahun karena asma. Dia tidak terselamatkan karena kami tidak memberinya obat segera. Aku tidak menyangka ini harus terjadi padanya. Dengan kesedihan mendalam, aku dan Reggina kembali ke Australia untuk menyiapkan acara pemakamannya.Sampai detik adikku dimakamkan di samping ayahku, aku masih tidak percaya bahwa Triz yang tidak banyak bicara dan manja itu telah pergi untuk selamanya. Kejadian itu begitu singkat. Aku begitu marah pada diriku karena semuanya adalah salahku.Seminggu setelah pemakaman, suasana rumah kami masih sunyi. Reggina masih sering menangis mengenang adik yang selama ini selalu bersamanya dan tidak pernah pergi ke kantor lagi.“I’m so sorry...,”aku mendekati satu-satunya adik perempuanku yang berusaha saling mengh
Pernikahan kedua ibuku bukan masalah bagi anak-anak dari suaminya. Tapi, ada sesuatu yang nggak kumengerti tentang kakak tiriku, Wanda. Dia menghabiskan lebih banyak waktu untuk membuat masalah dan jauh dari rumah. Padahal dia punya semua yang dia butuhkan. Kehangatan keluarga dan hidup berkecukupan. Mama-ku sangat mencemaskan Wanda yang aku dengar berpacaran dengan gangster –jelas ayahnya nggak akan pernah setuju. Aku tahu ke mana rasa cemas ini bermuara –sesuatu yang berhubungan dengan kekerasan. Kurasa dia hanya nggak ingin Wanda mengalaminya juga, pun aku dan Ruby. Selama ini ibuku memang lebih dekat dengan anak tirinya. Jadi dia menelponku begitu tahu Wanda sedang berada di Jakarta –kota yang sama dengan tempat tinggalku, dan memberiku sebuah alamat agar menemuinya untuk memastikan kalau dia baik-baik saja sebelum dia pergi lagi entah ke mana. Ke
Saat aku keluar dari kamar setelah mandi dan ganti baju –punya Wanda, sepasang kekasih itu terlihat duduk di sofa di depan TV layar datar besar yang menggantung pada dinding abu-abu. Di bawahnya ada meja panjangan rendah dengan warna hitam mengkilat polos di mana perangkat home theatre tersusun. Sekat-sekat di bawahnya masing-masing diisi dengan patung kayu kecil berbagai bentuk –pilihan mereka untuk pajangan ternyata sangat kaku “Apaan sih ini?!” tegur lelaki itu saat Wanda yang bersandar rendah menaikan sebelah kakinya ke sandaran sofa dan posisinya hampir berada tepat di atas kepala pacarnya yang duduk pada ujung lainnya. Dengan kasar, laki-laki itu menyingkirkannya hingga Wanda terkejut. Wanda mendecak keras. “Reseh ah!” gerutunya. Aku nggak menyangka kalau hubungan mereka seperti itu –saling seenaknya, alih-alih romant
Mataku masih berat dalam perjalanan menuju kantor. Aku dan Wanda bercerita semalam suntuk tentang apa saja –kecuali masa lalu. Akibatnya bangun lebih awal menjadi sangat menjengkelkan karena aku hanya tidur dua jam dan itu bukan tidur yang pulas. Dalam pikiranku, ‘besok harus kerja’ berputar-putar menjadi doktrin otomatis yang nggak bisa diabaikan sekalipun aku masih ingin tidur. Perasaanku tambah nggak nyaman saat mendengar Nial dan Wanda berdebat soal mengantarku ke kantor atau tidak yang akhirnya disetujui Nial. Status pagi ini adalah naik SUV, Nial menyetir dengan tampangnya yang biasa dan Wanda di sebelahnya terlihat menikmati perjalanan. Sementara aku gelisah di belakang karena sudah kupastikan aku terlambat. “Nanti kami jemput lagi ya,” kata Wanda berpesan padaku sebelum aku turun. “Gue sibuk!” celetuk Nial; dengan a
Sosok Nial cukup mengintimidasi walaupun aku nggak pernah bicara langsung padanya. Ya, kalau aku jadi tuan rumah aku juga akan berpikir demikian terhadap orang asing yang datang ke rumahnya. Ia nggak berkomentar ketika aku duduk berhadapan dengannya dan makan dengan cuek saat aku juga mulai memilih makanan yang ingin aku makan –antara Sapo Tahu, Kentang Panggang Bumbu, salad buncis dengan tuna dan minyak zaitun, juga sayap ayam goreng. Dia memasak semuanya sendiri dan itu membuatku merasa nggak berharga jadi perempuan –aku sama sekali nggak bisa masak. Aku mengambil sepotong sayap ayam bersaus kecoklatan itu. “Enak banget,” kataku dengan girangnya dan kedua orang itu melihatku dengan ekspresi cukup kaget. Wanda menyambungnya dengan tawa sumringah. “Bener kan? Aku bilang masakannya enak,” katanya sambil menyikut Nial dan aku mengangguk-angguk lalu dengan cepat memakan sesuap lagi dengan send
Di tengah-tengah ruang keluarga yang tampak seperti ring tinju –alih-alih menjadi tempat berkumpul semua anggota keluarga, ia satu-satunya yang masih berdiri dengan tegak, memandang dengan bengis dan nafas terengah-engah setelah ‘menaklukan’ semua orang. Perabotan rumah berada di posisi yang nggak seharusnya; bahkan sebagian besarnya patah atau hancur –meja makan, kursi, pajangan kaca, pot bunga, apa pun yang sebelumnya tertata dengan rapi, sekarang berantakan. Aku seringkali mengira kami akan mati di tangan ayahku setiap ia marah dan mulai memukul dengan membabi buta. Di dalam keremangan, aku melihatnya seperti sesosok makhluk besar berotot dengan wajah menakutkan dan tato di sekujur badan; seorang monster. Sebelum malam itu menjadi akhir dari tirani ayahku, aku nyaris mati berkali-kali. Dan setiap mengingat rasa sakit yang disebabkan oleh keberingasannya, tubuhku menggigil; begitu hafal d