Di tengah-tengah ruang keluarga yang tampak seperti ring tinju –alih-alih menjadi tempat berkumpul semua anggota keluarga, ia satu-satunya yang masih berdiri dengan tegak, memandang dengan bengis dan nafas terengah-engah setelah ‘menaklukan’ semua orang. Perabotan rumah berada di posisi yang nggak seharusnya; bahkan sebagian besarnya patah atau hancur –meja makan, kursi, pajangan kaca, pot bunga, apa pun yang sebelumnya tertata dengan rapi, sekarang berantakan.
Aku seringkali mengira kami akan mati di tangan ayahku setiap ia marah dan mulai memukul dengan membabi buta. Di dalam keremangan, aku melihatnya seperti sesosok makhluk besar berotot dengan wajah menakutkan dan tato di sekujur badan; seorang monster.
Sebelum malam itu menjadi akhir dari tirani ayahku, aku nyaris mati berkali-kali. Dan setiap mengingat rasa sakit yang disebabkan oleh keberingasannya, tubuhku menggigil; begitu hafal d
Sebenarnya tadi aku ingin menolak –lagi-lagi karena alasan segan pada Nial. Tapi, Wanda benar-benar memaksa. Dia bersikeras ketika Nial keberatan. Nial terpaksa menyetujui itu. Dia nggak lagi berkomentar. Walaupun terlihat nggak suka dari caranya kembali duduk di sofa dengan mendecak kesal, dia nggak mempermasalahkannya lagi. Kadang aku ingin tahu bagaimana rasanya punya sahabat laki-laki yang benar-benar pengertian –ya walaupun, secara kasat mata Nial memang jutek dan judes. Aku mengerti, dia nggak ingin Wanda terjebak dalam hubungan yangtoxicdengan pacarnya. Aku rasa dia mengizinkanku untuk menginap karena saat ini aku bisa membuat Wanda sedikit lebih tenang. Wanda meminjamkan bajunya lagi untuk bisa dipakai tidur. Ketika aku selesai mandi dia sedang tiduran di ranjangnya sambil main handphone.
Darahnya sudah berhenti –sepertinya. Aku memandangi ujung telunjukku yang dibalut perban putih tanpa noda darah. “Benar-benar ya... aku ada di sana, lho...,” suara Wanda membuatku tersadar kalau dia sedang berbaring di sampingku dan kami sama-sama mencoba untuk tidur karena sudah jam satu dini hari. “Tapi, kalian bertingkah seolah-olah aku nggak ada di situ.” Aku menoleh ke samping di mana Wanda mulai lagi menggodaku. Kuharap keremangan kamar Wanda yang lampunya sudah dimatikan menyembunyikan wajahku yang tersipu. Nial meninggalkan kesibukannya hanya untuk mengurus luka sekecil ini –memang sayatannya dalam tapi goresan ini bukan pertama kali dalam hidupku. Biasanya aku hanya membiarkannya kering sendiri. Jadi ini nggak seperti luka parah yang bisa terkena infeksi kalau nggak dirawat. Aku pernah mengalami yang lebih buruk da
“Aku pikir... sebaiknya... nggak usah diperban lagi,” kataku pada Nial setelah dia membuka perban di jariku untuk menggantinya dengan yang baru. “Luka itu harus ditutup supaya bakteri dan kuman nggak masuk dan bikin infeksi,” katanya. “Biasanya juga kering sendiri,” kataku. “Jangan keras kepala!” suaranya meninggi. Ah ya, Wanda sudah memberitahuku kalau dia otoriter. Semua kata-katanya harus dipatuhi. Aku menjerit kesakitan lagi ketika obat cair berwarna coklat itu mengguyur luka sayatanku yang masih sedikit menganga. “Cengeng...,” gumamnya. “Itu sakit...,” keluhku. Dia menatapku lalu mendengus. Dia nggak lagi bicara sampai perban yang baru terpasang di jari telunjukku.
Aku nggak punya pilihan lain setelah mandi air hangat lagi selama hampir setengah jam untuk menenangkan pikiran. Aku membongkar koper Wanda untuk menemukan baju ganti baru. Tapi, semua pakaian yang Wanda milikiterlalu seksi untukku. Celana pendek, kaos ketat sementara sisanya tanktop dan gaun-gaun dengan belahan dada rendah. Adapun jeans panjang, itu juga kedodoran dan dalam. Walaupun begitu, semuanya bermerek. Kemarin dia yang memilihkan baju untukku karena aku bingung. Aku bilang padanya di rumah biasanya aku sering mengenakan kaos longgar atau piyama bergambar boneka. Pada akhirnya, aku pun memilih celana pendek bahan katun warna krem dan kaosv-neckwarna ungu yang bahannya nggak tembus pandang –rata-rata kaos Wanda transparan. Selain baju, Wanda juga punya barang-barang bagus seperti alat make up dan parfum. Semua it
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.