SEPERTI janji Rina, mereka menghabiskan hari bersama hingga menjelang magrib. Rina menjadi pemandu yang baik bagi Sefti. Keduanya bahkan singgah ke SMP 1 dan SMA I Banda Aceh yang menjadi sekolah ibu-nya Sefti semasa tinggal di Banda Aceh.
Kedua sekolah ini berdekatan. Mereka minta izin ke petugas setempat untuk melihat-lihat ke komplek sekolah.
“Mamak-mu pasti pintar ya Sef! Ini kan sekolah favorit di Banda Aceh,” ujar Rina saat mereka di komplek SMP 1 Banda Aceh.
Sefti mengangguk tanda setuju.
“Iya Rina. Mamak-ku cerdas dan kata Si Mbok-ku, ia jadi idola sejak remaja. Sayang, aku tak bisa mengenalnya dengan baik. Mamak meninggal saat melahirkanku.”
“Dia wanita yang super cantik. Makanya ayahku patah hati bertahun-tahun setelah ia meninggal,” kata Sefti lagi.
Rina tersenyum. Ia tak ingin sahabat barunya itu berduka ketika mengenang kisah hidupnya. Rina mencoba mencairkan suasana dengan kalimat-kalimat yan
HARI-hari berlalu dengan cepat. Sefti mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya di Aceh. Ia juga mulai sibuk dengan orientasi perkenalan kampus serta seabrek aktivitas mahasiswa baru lainnya. Untuk itu, sang ayah membeli sepeda motor untuk memudahkan aktivitasnya pulang pergi ke kampus atau aktivitas lainnya.Ia mulai hafal dengan jalur lalu lintas yang ada di Banda Aceh. Namun sesekali ia masih tetap saja nyasar. Padahal Rina sudah berulangkali mengingatkannya tentang rute yang ada di Banda Aceh.Ia kadang ke sasar ke Krueng Cut atau Alue Naga. Saat itu terjadi, Rina-lah yang datang menjemput.Namun hari ini, Rina memiliki agenda tersendiri di kampusnya. Aktivitas tersebut baru selesai pukul 14.00 WIB nanti. Sedangkan saat ini masih pukul 11.00 WIB.Sefti mencoba bertahan di kampus hingga aktivitas Rina selesai. Ia sudah janji dengan gadis mungil itu.Mereka janji akan menghabiskan waktu hingga magrib tiba sambil melihat matahari terbenam.
Sefti cemberut saat melihat Rina melambai dari kejauhan. Gadis mungil itu memasang wajah tanpa dosa meski molor dari janji hampir satu jam lamanya.Mereka janji bertemu pukul 14.00 WIB, namun kini sudah pukul 15.14 WIB. Padahal, menunggu merupakan pekerjaan yang sangat membosankan.Sefti kesal dengan kejadian di perpustakaan tadi dan kini juga bertambah gara-gara Rina. Hampir tiga jam lebih ia menungu di kantin dengan tiga gelas jus apel, satu piring mie Aceh dan 5 potong kue kering.Belum lagi para mahasiswa yang melihat ke arahnya dengan sorotan tajam. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Sefti mulai risih.“Hai cantik. Sorry telat. Maaf ya,” ujar Rina.Sefti tetap memasang wajah cemberut. Ia benar-benar kesal.“Sorry. Sebagai gantinya, aku yang traktir hari ini. Kamu bisa makan apapun, aku yang bayar,” kata Rina lagi.Lobi Rina kali ini sedikit membuat cemberut di wajah Sefti menghilang. Namun gadis berd
USAI salat Ashar di masjid jamik kampus, Rina dan Sefti mengarah ke bantaran sungai Lamnyong. Mereka membeli beberapa cemilan dan duduk di sana sambil menikmati sore hari di kota pelajar itu.Sungai Lamnyong tak sejernih sungai-sungai di Eropa. Bahkan terkadang, air berubah keruh saat musim hujan tiba. Banyak juga sampah yang mengapung di sana.Namun Sefti tampaknya cukup menikmati suasana yang nyaman di sana. Sosok itu terlihat mematung sambil memandang jauh ke depan. Entah apa yang dipikirnya. Rina membiarkan Seftidengan lamunannya.Ia asyik dengan bakso bakar yang dibeli tadi. Rina melahab satu persatu.“Enak.”Sefti memalingkan wajahnya ke arah Rina. Wajah gadis cantik itu terlihat serius.“Rin. Seperti apa Aceh semasa konflik,” ujar Sefti.Rina tahu bahwa pertanyaan kali ini tak sekedar pertanyaan biasa. Pertanyaan ini erat kaitannya dengan masa lalu orangtuanya yang harus meninggalkan Aceh karena fa
“Haidar?” tanya Sefti usai salat Magrib. Saat itu, ia dan Rina berada di kamarnya. Sefti sepertinya masih penasaran dengan sosok pria muda yang baru dikenalnya di perpustakaan tadi.“Kami satu letting dan sama-sama jurusan Sejarah FKIP Umayah,” kata Rina lagi.Saat menceritakan hal tadi, wajah Rina terlihat memerah. Namun tiba-tiba gadis mungil itu menggeleng kepala berulang kali. Rina seperti sedang menyadarkan diri dari lamunannya.“Jadi pria itu gay?” tanya Sefti lagi penasaran. Ia seperti kecewa.Rina tertunduk lesu. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Sefti.“Gak tahu sih. Soalnya banyak yang naksir sama Haidar tapi ditolak semua. Mulai dari kakak letting hingga mahasiswa baru seperti...”“Sepertinya Haidar memang gak suka sama perempuan. Makanya berhembus isu kalau dia sebenarnya gay,” ujar Rina lagi.Sefti kesal dengan jawaban Rina.“Masak sembarangan menudu
Sefti mulai rajin mengunjungi perpustakaan dan ke bantaran Sungai Lamnyong, tiap sore harinya.Seperti agenda rutin, Sefti memang bertemu dengan Haidar di dua lokasi tadi. Tapi hingga berminggu-minggu lamanya, mereka tetap belum bisa berkenalan serta saling menyapa.Ada saja rintangan yang menghadang. Seperti kemunculan sejumlah mahasiswi yang membuat Haidar risih serta kemudian meninggalkan Perpus, hingga beberapa pria paruh baya yang selalu menantinya di halaman depan perpustakaan. Tak jelas siapa para lelaki tadi. Tapi Haidar terus menerus bersikap cuek kepada mereka.Dari pengamatan Sefti, lelaki itu ternyata cukup misterius. Ia tipe penyendiri dan membaca buku-buku klasik yang peminatnya rata-rata berumur 45 tahun ke atas. Lelaki itu juga bersikap dingin dengan semua wanita.“Yang pasti ia bukan gay dan sangat-sangat normal,” gumam Sefti mengambil kesimpulan awal hasil intelijennya selama ini.Apalagi jika merujuk pada keterangan R
Surabaya, Maret 1991MARKAS Kodam Brawijaya siaga satu. Ini adalah hari berkabung bagi prajurit di sana. Dari ratusan prajurit yang ditugaskan ke daerah konflik, 12 akhirnya dipulangkan lebih cepat. Mereka kembali dalam peti jenazah dan bendera merah putih di atasnya. Para prajurit itu gugur dalam tugas.Mayjen TNI R. Hartoyo selaku pimpinan tertinggi memerintahkan jajarannya untuk mengadakan upacara militer sebagai penghormatan resmi.Untuk itulah, Praka Gusti siaga di lokasi upacara. Ia ditugas untuk memastikan keluarga para prajurit yang gugur mendapat tempat yang nyaman serta leluasa selama upacara berlangsung.Sebagai prajurit, tugas tersebut merupakan suatu kehormatan baginya. Ia tidak ingin para keluarga ini merasa tak betah serta mendapat prilaku yang kurang menyenangkan selama upacara berlangsung.Ini merupakan kali pertama baginya mendapat tugas yang berhubungan dengan upacara militer. Ia tidak ingin kesalahan dalam bersi
SEMINGGU usai pemakaman militer, Praka Gusti masih terbayang dengan sosok wajah wanita cantik yang dilihatnya beberapa hari lalu. Gadis muslimah seakan telah memikat hatinya. Namun ia tidak memiliki data lengkap tentang sang gadis. Ia hanya tahu bahwa sang gadis adalah anak dari seniornya yang gugur karena tugas di Aceh.“Almarhum ayahnya tertembak di pedalaman Aceh. Satu truk tewas. Ada 24 orang. 12 dari Brawijaya. Ini peristiwa berdarah,” ujar Prada Yusuf, juniornya di Brawijaya, beberapa hari lalu.“Almarhum Mayor Sulaiman memang orang Aceh. Dua tahun lalu pindah ke Brawijaya dan kemudian minta kembali di-BKO-kan ke Aceh. Alasannya karena anak istri di sana. Atas permintaan keluarga, dia dimakamkan di sini.”“Anehnya juga. Saat yang lain minta pindah dari Aceh. Ia mengajukan diri. Ini mungkin yang namanya takdir. Istrinya orang Ngawi. Keluarganya mungkin masih di Surabaya sambil mengurus kelengkapan adminitrasi akhir untuk almarh
Gusti seperti tak percaya. Ia memandang tak berkedip ke arah depan. Jaraknya hanya sekitar 10 meter. Sesosok muslimah cantik nan anggun terlihat memasuki Masjid Rahmad. Itu masjid tertua di Surabaya. Salah satu masjid yang memiliki sejarah panjang di Jawa Timur. Dari sanalah Islam menyebar ke tanah Jawa.Wanita itu tak melihatnya. Gusti ingin memasuki masjid dan berkenalan dengan sang muslimah yang dilihatnya di Brawijaya itu. Tapi di sisi lain, ia sedang memakai celana pendek. Ia baru saja pulang dari olahraga sore yang menjadi aktivitas rutinnya selama ini.Gusti tidak ingin membuat orang-orang di Masjid Rahmad memandangnya setengah mata. Untuk itu, ia harus menunggu di halaman depan masjid hingga sang wanita keluar dan selesai dari aktivitasnya.Gusti mondar-mandir. Sekitar satu jam kemudian, sang wanita terlihat keluar dari masjid. Saat sang wanita berjarak sekitar tiga meter dari masjid, barulah ia mendekat dan memberi senyuman manis.“Udah sal