Tidak ada yang bisa kuberikan untuk seorang gadis broken home seperti dirinya. Aku sudah merencanakan masa depanku jauh sebelum dia karena aku benci kegagalan. Kupikir karena terlalu serius dengan apa yang belum terjadi lah yang membuatku kehilangan masa-masa berharga di usia belasan yang kuhabiskan untuk hal-hal membosankan. Lalu ketika sudah terlalu terlambat, aku jatuh cinta layaknya remaja pada seorang remaja. Meskipun itu juga bukan perasaan sepihak, dengan Saira, aku tahu itu adalah kesalahan. Aku memang tidak bisa menyembunyikan betapa seringkali aku berharap dia bukan seorang gadis SMA berseragam ketika dia mendekat
Tapi, sebenarnya yang menjadi masalah kemudian bukanlah hubunganku dengannya.
Satu sekolah dihebohkan dengan berita tentang Saira. Entah siapa pelakunya, foto-foto Saira tengah bersama pria dewasa berserakan di depan gerbang sekolah. Itu menjawab kegelisahannya tentang a
Kepalaku mendadak berdenyut. Tidak tahan, aku meninggalkan ruangan dan pergi ke halaman belakang untuk merokok. Berharap Saira juga ada di sana. Tapi yang kutemukan malah siswa lain. Magisa –seorang siswa yang mempunyai reputasi sangat baik di sekolah. Dia berdiri di sudut tempat Saira biasa merokok sembunyi-sembunyi seolah sedang menunggu seseorang datang. “Saira nggak masuk hari ini,” katanya dan tentu saja itu membuat sangat terkejut. Lalu ia tersenyum. “Bapak nggak usah khawatir, selain aku nggak ada lagi orang yang tahu kok.” “Apa yang kamu lakukan di sini?” aku berusaha untuk tetap tenang walaupun sebenarnya aku juga melihat dia seperti ancaman yang sama ketika terakhir kali aku bertemu dengan Saira di sini. Magisa adalah teman sekelas Saira. Seorang gadis berkaca mata dan behel yang sering diceritakan Saira padaku se
Foto-foto yang pernah diperlihatkan Magisa padaku sudah tersebar. Ananda adalah salah satu gadis yang ada di foto itu. Magisa sudah mengakui bukan dia pelakunya. Namun, yang disalahkan justru bukan si penyebar foto, melainkan Saira yang dituduh mengajak teman-temannya ikut terseret dalam prostitusi. Karena itu kemudian ada sekelompok anak laki-laki yang iseng mempermainkannya di sekolah. Ananda tewas dengan menggantung dirinya pada langit-langit kamar di rumahnya. Sebelum kematiannya, katanya dia terlihat biasa saja. Tidak menunjukan tanda-tanda bahwa sebelumnya ia dilecehkan oleh beberapa orang siswa lelaki di sekolah. Pelaku pelecehan itu sudah diserahkan ke polisi atas desakan seluruh orang tua murid. Saira juga dikeluarkan dari sekolah dan menghilang. Saat semua orang menyalahkannya, ia bersembunyi seperti pengecut. Saira tidak pernah menjelaskan apa pun. Tidak juga teman-temannya yang
Seminggu setelah misteri tentang Saira terpecahkan, seseorang mengetuk pintu kantorku –Magisa. Dia sudah tidak mengenakan kaca mata dan kawat Magisa yang membuatnya seperti gadis culun dan kutu buku. Aku tidak menyangka ia merubah penampilannya sejak keluar dari rumah sakit. Dengan mengenakan pakaian bebas, ia mendatangiku untuk mengajakku pergi bersamanya. “Kamu mau tau apa yang sebenarnya yang Saira dan teman-temannya lakukan di luar?” tanya dia. Dia belum menceritakan garis besarnya waktu di rumah sakit tapi itu tidak mengurangi keingintahuanku yang besar. Aku memang ingin melihatnya sendiri. Saat itu aku masih berharap juga bisa melihat Saira. Magisa telah memanipulasi sebuah rahasia besar dari kelompok gadis-gadis yang ingin mengatasi masalah yang mereka alami dengan melihat keluar dari kotak di mana mereka hidup. Mereka melihat ke depan untuk menjadi
Di satu malam setelah kejadian-kejadian itu aku bermimpi. Aku melihat Saira dengan bunga matahari menghiasi kepalanya dan iaberjalan di atas pasir menuju matahari terbenam, menyongsong ombak di pinggiran pantai. Di tangannya iamenggenggam setangkai bunga matahari,. “Saira!” aku menyerukan namanya dan ia menoleh lalu tersenyum padaku. Tapi, ia terus berjalan dan aku terpaku di tempat yang sama menyaksikan ia perlahan menjauh lalu tenggelam. Langit tiba-tiba menjadi hitam. Saat akhirnya aku bisa mengejarnya, ia telah mengilang. Ketika terbangun, aku berpikir untuk mendatangi Teluk Jakarta sekali lagi. Para gadis matahari akan menghanyutkan permohonan mereka setiap senja menjelang. Tapi yang kutemukan hanya gadis lain yang tidak diharapkan. Magisa. Dia tengah menghanyutkan permohonanya dalam sebuah botol bers
Dua tahun tahun kemudian…. Warna kota telah berubah. aku kira mungkin aku tidak akan kembali tinggal di Jakarta karena seluruh kehidupanku berada di Sydney setelah kembali ke ayahku dan terjebak dalam dunianya. Dulu, aku pikir Magisa akan setuju untuk tinggal di Australia selamanya mendampingiku. Awalnya, Magisa telah merencanakan semuanya. Dimulai dari pernikahan, di mana kami akan tinggal, bagaimana kami membagi waktu untuk bertemu karena saat itu ia masih berjuang demi gelar sarjana di jurusan arsitektur dan kesibukanku di kantor, lalu turunan dari semua itu adalah anak-anak. Kami membutuhkan rumah yang besar untuk membesarkan beberapa orang anak nantinya. Tapi, tahun berlalu, di rumah sebesar itu selalu hanya kami yang tinggal berdua. Anak-anak yang selalu kami impikan untuk meramaikan suasana tidak pernah datang. Mereka tidak akan pernah datang dalam k
Magisa mengeluarkan isi kopernya lalu mulai mencari sesuatu; sebuah jaket tebal. “Nggak ada selimut jaket pun jadi,” kata dia, entah mengapa masih terlihat riang di malam selarut ini dan aku sudah menguap berkali-kali sejak tadi. Magisa mulai menyusun baju-bajunya sebagai alas tidur di sudut ruangan. Dia melemparku sebuah jaket berbulu miliknya yang berwarna merah maroon. Serius dia menyuruhku tidur di lantai hanya dengan selimut beralaskan tumpukan baju-baju di antara koper kami? Aku menggeleng, menolak memakai jaket itu. Magisa mendengus. “Lantainya dingin, kalau kamu nggak mau masuk angin lebih baik dipakai,” dia memperingatkan. Aku membuka lipatan jaket merah marun Magisa yang berbulu-bulu itu. “Ini?” aku meyakinkannya sekali lagi bahwa aku tidak mau memakai jaket perempuan dan warnanya merah pula.
Semuanya sudah berubah. Aku tidak tahu di mana gadis itu berada. Kenapa aku masih saja merasa bersalah? Aku sudah berusaha sekuat tenaga bukan? Tapi, tetap saja aku tidak bisa menemukannya. Seolah dia ditelan bumi. Kenapa dia bisa hadir di dalam mimpiku? “Kamu mikirin apa sih?”, Magisa memelukku sambil menyandarkan seluruh tubuhnya di punggungku. “Pasti pikiran kamu sudah sampai di Sydney, ya ‘kan?” Aku hanya tersenyum. “Aku kan udah bilang, kalau kamu mau balik nggak apa-apa. Toh rumah kita udah jadi. Kamu udah bantuin aku menyusun perabotan,” ujar dia. “Tapi, sekali aku pergi, susah untuk kembali ke sini. Sekali pun itu demi kamu...,” kataku sedikit sedih. Lalu menoleh. Perhatianku kemudian tertuju pada sesuatu yang berada di tengah-tengah ruangan kami. Maket gedung yang dibuat oleh Magisa untuk klien pertamanya. Sudah ha
Sydney, Australia.... Kenyataannya Saira tidak pernah kembali untuk membalas. Jika dia ingin kembali, sudah pasti dia muncul dan mengacaukan kami. Tapi, yang aku tahu Saira bukan seorang pengacau. Betapapun berantakannya dia, dia tidak pernah membalas kejahatan dengan cara menghancurkan orang lain. Aku tahu itu. Lagipula enam tahun adalah waktu yang lama. Sebagaimana aku telah melupakannya, mungkin dia juga sudah menemukan kebahagiaannya. Bisa saja saat ini, dia menjadi model majalah di tempat lain dan terkenal. Atau tengah menikmati indahnya ladang bunga matahari di satu negara. Entah. Dia bukan lagi gadis kecil yang membenci orang dewasa karena saat ini pun dia sudah dewasa. Atau barangkali telah menikah dan memiliki seorang anak; bisa jadi beberapa anak. Aku tersenyum kepada bunga matahari yang hampir layu di dalam vas besardi tengah-tengah k