Saira hanya memandangi kaleng soda itu tanpa menyentuhnya sama sekali. Bukankah minuman itu yang dia inginkan di Walmart? Dia masih menatapku dengan wajah muram dan merengut. Sejak aku mengajaknya untuk singgah di restoran terdekat dan duduk untuk sekedar bicara; dia belum mengucapkan sesuatu.
“Ngapain kamu di Australia?” tanyaku menatapnya, memperhatiiikaaannn raut wajahnya. “Sejak kapan?”
“Sejak enam tahun yang lalu. Memangnya kenapa?” balas dia, agak ketus tanpa merubah raut wajah masam itu. Dia tampak tak ingin berlama-lama denganku karena dia sendiri tampak gelisah; sambil menggoyang-goyangkan lututnya, menatap ke sana ke mari kecuali ke arahku dan dia beberapa kali menengadah seperti sedang menanggul air mata dengan cekungan yang dalam pada kedua matanya. Agaknya dia benar-benar terpaksa menghadapiku.
“Enam tahun?” ba
Dia berjalan lagi seolah kaki-kakinya yang kurus tidak pernah merasa lelah. Padahal dia juga tidak punya tujuan pasti. Katanya selain tidak punya uang juga tidak punya tempat tinggal. Siapa yang menelantarkannya? Saira tidak pernah menjawab dengan pasti. Dia hanya berkata ingin pulang. Namun, ada yang aneh saat aku memperhatikan langkahnya yang ringan. Sesekali tampak Saira menghirup udara setiap angin bertiup. Entah. Aku melihatnya seperti seekor burung yang baru saja lepas dari sangkarnya dan terbang bebas. Sejak meninggalkan restoran dengan perut kenyang, dia sedikit lebih ceria walaupun masih menghindari banyak pertanyaan dariku. Selain itu juga dia masih enggan memulai percakapan. Cahaya matahari semakin berkurang intensitasnya. Aku mungkin melewatkan makan malam di rumah sebagaimana aku mengabaikan telpon dari Mum dan Magisa. Aku mengikuti langkah Saira seakan takut ini akan menjadi t
Ponselku batrai-nya habis. Aku masih meninggalkan mobilku di parkiran pusat perbelanjaan. Seumur hidup, ini adalah malam yang terasa panjang bagiku; seolah larut malam bukan waktunya tidur; seakan matahari tidak akan datang esok hari karena aku harus melakukan banyak hal. Setelah makan di restoran di dekat Walmart, aku mengikuti Saira berjalan kaki tanpa tujuan. Ini bukan pertama kalinya kami berjalan seperti ini dan seolah tanpa tujuan. Aku sudah melewatkan makan malam bersama keluargaku dan pastinya Mummy tidak jadi membuat Pavlova. Aku bahkan membuang belanjaaanku karena merepotkan membawa keranjang itu saat mengikuti Saira. Aku tidak mau di saat aku menaruhnya di mobil, Saira sudah menghilang lagi. Sekarang kami duduk di taman kecil yang selalu ia perhatikan dari seberang jalan karena sepertinya dia butuh sedikit beristrihat setelah pengakuanku yang membuatnya syok. Jalanan tak pernah s
Aku berhenti di Hickson Road karena Saira memintanya. Keseluruhan gedung keong terlihat indah di tambah cahaya lampu yang mengitari Teluk Sydney. Entah kebetulan atau apalah namanya, ini adalah titik yang sama aku dan Magisa bertemu setelah pemakaman ayahku. Di sinilah aku memutuskan untuk melupakan Saira dan menerima perempuan lain dalam hidupku. Aku tidak pernah tahu aku akan kembali lagi ke sini; bersama gadis yang telah kulupakan itu. Seakan Opera House Sydney kesal padaku, dia mengembalikan Saira di saat… hatiku sudah menjadi milik orang lain. Apa yang bisa kukatakan tentang ini, selain bahwa semuanya sudah sangat terlambat? “Kamu nggak mau nunggu sampai besok untuk pertunjukannya?”tanyaku, ikut memandang Opera House Sydney. “Aku nggak ingin tinggal lebih lama. Udara di sini kadang bikin aku sesak,” jelasnya. “Aku sudah ada di Sydney, lalu
Seluruh tubuhku mengeluh. Mulai dari kepala, tangan dan kaki; sekujur tubuh ini rasanya benar-benar lelah seperti habis berjalan kaki puluhan mil. Sepanjang jalan mengendarai mobilku menuju rumah, aku sudah membayangkan tempat tidur dan tidak sabar ingin melompat ke atasnya. Aku tidak tahu persis penyebab yang membuatku begitu lelah seperti ini; mungkin karena Saira telah pergi dan kupastikan kali ini kami tidak akan pernah bertemu lagi untuk selamanya…. Karena tidak ingin mendengar hujan pertanyaan dari kedua adikku karena tidak kembali dalam waktu yang lama, aku kembali ke rumah itu; rumah yang aku dan Magisa tinggalkan karena membuat dia kesepian. Sebuah rumah di Double Bay yang kupikir akan melengkapi kebahagiaan kami bersama anak-anak, tapi kenyataan berbanding terbalik dengan impian. Tahun-tahun yang kami habiskan di rumah ini malah menjadi pesakitan bagi kami. Aku menendang keluar se
“Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan…” suara operator masih menjawab telpon Magisa sejak pagi. Aku mulai gelisah, apakah terjadi sesuatu padanya? Harusnya saat dia senang karena kemungkinan klien akan suka dengan design gedung yang dia buat. Tapi, aku juga tidak tahu apakah presentasinya berjalan lancar. Aku semakin gelisah karena tidak ada orang lain yang bisa kuhubungi lagi selain ibu dan kakak-kakaknya yang mengatakan bahwa Magisa belum mengunjungi mereka lagi sejak aku kembali ke Sydney. Perasaanku tidak enak dan itu masih berlanjut sampai aku akhirnya bertolak ke Jakarta. Magisa tidak bisa dihubungi. Ide memberi kejutan itu sepertinya kacau. Ya tidak akan ada mawar merah di tempat tidur, lilin aromaterapi dalam gelap. Wine dan candle light. Semua itu lenyap dari pikiranku. Aku pulang ke rumah kami yang baru dengan perasaa
Ya, Magisa membawa maketnya ke luar ruangan. Lalu mencoba menelponku, tapi aku tidak mengangkatnya. Lalu bekali-kali lagi dia mencobanya, aku sudah tak bisa dihubungi. Saking depresinya, dia lemparkan maket yang sudah dia rancang sedemikian rupa ke dinding sampai hancur. Kurasa karena aku tidak ada di sisinya saat itulah yang membuatnya membanting barang-barang ada di rumah. Aku menyesal karena mengabaikannya dan malah sibuk dengan perempuan lain. Namun aku sudah mengakhiri kegilaan itu Aku hanya bisa tertunduk saat Magisa menceritakan detil kejadian sampai kemudian perusahaan yang merekrutnya terpaksa memutuskan kontrak dengannya. Aku bingung. Benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa, karena aku sendiri juga sudah tahu bahwa…Magisa tidak hanya menghancurkan masa remaja Saira tapi juga seluruh sisa hidupnya. Aku sudah b
Aku memeluknya sekali lagi walaupun jantungku masih berdebar keras. Kupejamkan mataku saat mendekapnya di dada untuk merasakan bahwa hatiku milik perempuan ini, apa pun yang terjadi. Namun, kilasan itu seakan menari-nari lagi di ruang mataku.Bagaimana Saira menolakku untuk tidak menyentuhnya seujung jari pun; dia gemetaran bahkan saat aku memeluknya untuk memberinya rasa nyaman. Dia menangis dan aku berusaha keras untuk membuatnya bicara. Saat akhirnya dia bicara, kami saling menangis. Ya, aku meneteskan air mataku saat mendengarkan ceritanya.“Dar…,” suara Magisa kembali memanggil dengan lemah.Kusadari, aku telah terbaring dengan tubuhnya di atas tubuhku. Aku membuka mataku dan melihat wajah pucat Magisa tepat berada di depan wajahku, dan bibirnya menyentuh bibirku dengan kasar. Aku membiarkannya karena keadaannya yang sedang tidak stabil
Magisa terlihat di teras depan. Entah apa yang dia pikirkan, namun matanya memandang jauh ke ujung gang di mana sesekali tetangga atau gerobak pedagang makanan melintas. Malam cukup sunyi ketika aku memberanikan diri untuk menghampiri, setidaknya menyampaikan apa yang sudah aku rencanakan untuk kami selanjutnya. Yang pasti kami akan menetap di Jakarta dan aku akan mencari pekerjaan yang cocok; ya, pekerjaan yang sesuai dengan hasratku. “Ini sudah jam sebelas, kamu nggak dingin?” tegurku. Magisa menoleh. Namun tatapannya hampa, demikian pula bibirnya yang tertutup rapat. “Aku menjadi nggak berguna kalau kamu stress hanya gara-gara pekerjaan,” ujarku. “Maksudku ..., kamu ingin bekerja karena aku terlalu sibuk dan sering nggak pulang. Tapi, sekarang, aku sudah nggak sesibuk dulu lagi. Artinya, kita akan punya lebih banyak waktu bersama. Jadikamu ng