Napas Satria benar-benar sesak dan Bu Mae pun segera memanggil Mak Piah;tukang urut ternama di kampung mereka. Kebetulan juga, rumah Mak Piah bersebelahan dengan rumah Satria.
Bu Mae berlari ke rumah Mak Piah, lalu mengetuk pintu rumah wanita tua itu dengan tergesa-gesa.
Tok! Tok!
"Mak, buka! Ini Mae!" seru Bu Mae dengan suara kencang. Namun Mak Piah belum juga membukakan pintu.
"Mak, buka! Ini Mae, Mak!" Tangan Bu Mae masih terus menggedor pintu rumah tukang urut itu, tetapi belum juga dibukakan pintu. Bu Mae tidak kehabisan akal, dia harus mengeluarkan kalimat ajian agar pintu segera dibuka.
"Mak, Satria sesek, dia butuh ..."
Cklek
"Siapa sesek? Satlia? Ayo, sebelum mati." Mak Piah berjalan melewati Bu Mae begitu saja dengan wajah tanpa dosa. Ibu dari Satria itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas berat. Segera ia menyusul Mak Piah yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumahnya. Padahal setahu Bu Mae, jalan Mak Piah itu sudah pincang karena pernah jatuh, tetapi kenapa berjalan ke rumahnya begitu gesit dan cepat?
Bu Mae segera mengibaskan tangan di wajahnya, lalu menyusul Mak Piah yang ternyata sudah berdiri di depan pintu kamar Satria.
"Bang, Eneng masuk boleh gak?" tanya Mak Piah sambil tersenyum lebar.
"Masuk neraka gih!" teriak Satria dalam hati. Sayang sekali napasnya tengah terengah-engah, sehingga ia tidak bisa mengusir Mak Piah dari kamarnya.
Wajah keriput Mak Piah mendadak merona karena harus berjalan malu-malu ke arah Satria. Melihat sikap aneh nenek tukang urut pada anaknya, Bu Mae mengambil sikap menarik tangan Mak Piah agar segera mendekat pada anaknya.
"Mak, kalau jalannya kayak pengantin sunat gitu, nanti anak saya keburu mati. Ayo, cepat! Anak saya butuh napas buatan!" seru Bu Mae tak sabar.
"Tapi Emak malu sama Satlia. Ambilin gigi palsu Emak gih, bial gak nyeplos gini bibilnya pas nyium," pinta Mak Piah sambil menunjuk pintu kamar.
"Bu, ja-jangan ... tinggalin Satria bersama ... nenek grandong ini!" Tentu saja Satria tidak bisa mengatakannya secara langsung, melainkan dengan isyarat mata.
"Mak, saya gak tahu tempat gigi palsu Emak ada di mana? Nanti saya malah ngambil yang lain. Mak aja dah yang ambil. Gak sopan juga saya masuk rumah Emak, karena Emak di sini," ujar Bu Mae memberi alasan. Mak Piah pun mengangguk setuju. Wanita tua itu berbalik badan dan langsung berlari keluar dari kamar Satria.
"Bu, Satria bunuh aja, daripada harus kena bibir Mak Piah. Bu, plis!"
"Udah, lu diem aja! Yang penting sembuh!" Bu Mae tak sabar menunggu kedatangan Mak Piah kembali ke rumahnya.
Cukup satu menit, Mak Piah sudah kembali lagi dengan memakai gigi palsunya dan tersenyum dengan sangat lebar pada Satria dan Bu Mae.
"Kalau ada gigi begini, saya gak jadi insekyur mau ciuman sama Satria. Tuh, bisa'kan bilang Satria, bukan Satlia," ujar Mak Piah sambil tergelak. Lelaki itu pasrah saat Mak Piah mendekat dengan perlahan.
Dengan napas yang semakin sesak, Satria pun menutup mata, memasrahkan hidup dan matinya pada Tuhan. Ia tidak yakin akan berumur panjang setelah dicium oleh Mak Piah. Perlahan dan dengan gerakan amat lambat, Mak Piah mendekat pada Satria dengan senyuman dan hati berdebar.
Bu Mae memperhatikan dengan ngeri dan juga sedikit mual, karena bibir Mak Piah yang mencucut bagaikan ikan sapu-sapu. Selain sesak napas, Satria juga kini semakin pucat dan tidak berdaya. Tiga centimeter lagi bibir Mak Piah berlabuh, Satria terhuyung dan pingsan di tempat tidur.
"Ya Allah, Satria! Mak, anak saya diapain? Kok pingsan?" Bu Mae panik bukan main dan langsung berlari keluar rumah untuk meminta pertolongan para tetangga. Bahu Mak Piah melemah, saat tidak jadi berciuman dengan Satria. Padahal ia sudah lama mendambakan hal seperti ini pada Satria.
Walau ia sudah tua, tetapi jiwanya muda. Sudah lama ia juga menjanda agar bisa bersanding dengan Satria yang berkali-kali gagal menikah, tapi sayang sekali tidak ada yang mau menjodohkannya dengan Satria.
Mak Piah mundur beberapa langkah, saat tiga orang lelaki dewasa masuk ke dalam kamar Satria dan bersiap membawa pemuda itu ke rumah sakit.
"Mak ikut ke rumah sakit boleh gak Mae?" tanya Mak Piah pada Bu Maesaroh. Cepat Mak Piah menyembunyikan sesuatu yang ia temukan di balik batal Satria, lalu ia genggam dengan erat.
"Gak usah, Mak. Nanti Satria koma kalau Mak Piah ikut. Udah, Mak pulang aja ya. Saya mau ke rumah sakit." Bu Mae menarik tangan Mak Piah untuk keluar dari kamar anaknya. Lalu ia pun mengunci rumah dan ikut bersama Pak RT masuk ke dalam mobil.
Mak Piah masuk ke dalam rumah dengan lemas dan kecewa. Ia duduk di tepian tempat tidur, sambil meneteskan air mata. Pelan ia rebahkan diri di tempat tidur sambil membayangkan berciuman dengan Satria Kuat. Diambilnya gigi palsu dari mulutnya, lalu ia kembalikan ke dalam mangkuk tempat ia biasa menaruhnya.
Mak Piah membuka telapak tangan kiri yang terkepal erat sejak tadi. "Apa ini?" gumamnya sambil menyipitkan mata melihat benda yang ada atas telapak tangannya. Wanita tua itu membuka bungkusnya, lalu mulai meniup benda yang ia kira adalah balon.
"Kenapa tidak bisa ditiup?" gumamnya lagi dengan rasa penasaran.
"Apa jangan-jangan habis niup ini Satlia sesek ya?" Mak Piah pun mulai meniup benda yang ia kira adalah balon, dengan sekuat tenaganya. Hingga lima belas menit berlalu dan usahanya sia-sia.
"T-tolong ... saya sesek!" Mak Piah merasakan napasnya terengah-engah.
****
Part Serius.Jan pada ketawa.****Napas Satria sudah lebih tenang setelah dipasang oksigen dan juga infus. Matanya terpejam walau tidak lelap dan Bu Mae masih setia menemani anaknya yang terbaring lemah di brangkar rumah sakit.Kamar perawatan kelas tiga dipilih Bu Mae karena sesuai dengan kelas BPJS yang dibayarkan setiap bulannya. Untungnya tidak terlalu banyak pasien. Hanya ada dua brangkar yang terisi dan salah satunya Satria.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Seorang perawat masuk dan membereskan brangkar tepat di samping Satria. Bu Mae terbangun dari tidurnya dan saat ingin berjalan ke kamar mandi, ia melihat seorang petugas tengah menyiapkan brangkar. Memasang seprei dan juga sarung bantal."Mau ada pasien baru ya, Sus?" tanya Bu Mae penasaran."Iya, Bu. Pasiennya masih di bawah. Ditangani dokter IGD," terang perawat sambil memasang selimut di ranjang."Kalau umurnya panjang berarti di bawa ke sini ya, tap
Mendengar kabar bahwa Satria tengah dirawat di rumah sakit membuat Salsa menjadi iba dan ia pun berencana akan mengunjungi Satria sebelum pergi ia butiknya.Sejak pagi Salsa sudah repot di dapur membuat makanan yang akan dibawa ke rumah sakit. Melihat sang putri tengah asik di depan kompor, membuat Juwi yang baru saja keluar dari kamar, turut tersenyum senang."Masak apa sih anak, Bunda?" tanya Juwi menghampiri Salsa."Masak aer," jawab Salsa pendek."Buat apa? Buat mandi?" Juwi melihat panci kecil yang tengah berada di atas kompor dalam keadaan mendidih."Bukan, Bun, bikin mi rebus. Teman Salsa sakit, jadi Salsa mau bawain makanan." Juwi mengangguk paham."Orang sakit gak boleh makan mi instan, Sa, nanti tambah sakit loh. Kenapa gak bawain roti aja?""Mi rebusnya untuk Salsa sarapan. Habis sarapan baru Salsa siap-siap jenguk dan beliin roti atau buah di jalan," jawab Salsa sambil menyeringai. Juwi merasa anak sulungnya te
Aku tuh kangen loh sama BangSat, kalian pada kangen gak sih? Selamat membaca. "Salsa mau jadi istri saya?" "Gak ah, BangSat tidak kuat. Kalau kuat mana mungkin masuk rumah sakit. Lihat tuh, ada selang oksigen di hidung." Salsa menunjuk hidung Satria dengan dagunya, kemudian ia menggelengkan kepala. "Sekarang kamu bisa mengatakan aku tidak kuat, tetapi saat malam pertama nanti, kamu akan lihat betapa tangguhnya Tyrex-nya aku," gumam Satria dalam hati. "Yah, kita perkenalan dulu aja, Sa. Teman dekat gitu, kalau cocok lanjut, kalau nggak ya kita bisa jadi saudara. Betul'kan?" "Nah, ini tumben omongan lu bener, Sat, biasanya ngaco!" Sela Bu Mae yang baru saja tiba di dekat keduanya. Salsa tersenyum malu-malu, lalu sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Satria agar Bu Mae bisa duduk di dekat anaknya. "Iya, Bu, makanya saya bilangin sama Salsa, jadi teman aja dulu, siapatahu cocok. Jodoh tidak ada yang
Aku tuh kangen loh sama BangSat, kalian pada kangen gak sih??π€π€π₯Ίπ₯ΊSelamat membaca."Salsa mau jadi istri saya?""Gak ah, BangSat tidak kuat. Kalau kuat mana mungkin masuk rumah sakit. Lihat tuh, ada selang oksigen di hidung." Salsa menunjuk hidung Satria dengan dagunya, kemudian ia menggelengkan kepala."Sekarang kamu bisa mengatakan aku tidak kuat, tetapi saat malam pertama nanti, kamu akan lihat betapa tangguhnya Tyrex-nya aku," gumam Satria dalam hati."Yah, kita perkenalan dulu aja, Sa. Teman dekat gitu, kalau cocok lanjut, kalau nggak ya kita bisa jadi saudara. Betul'kan?""Nah, ini tumben omongan lu bener, Sat, biasanya ngaco!" Sela Bu Mae yang baru saja tiba di dekat keduanya. Salsa tersenyum malu-malu, lalu sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Satria agar Bu Mae bisa duduk di dekat anaknya."Iya, Bu, makanya saya bilangin sama Salsa, jadi teman aja dulu, siapatahu cocok. Jodoh tidak ada ya
Bu Mae terheran-heran melihat Satria menyeret kasur untuk dijemur di teras depan. Memang matahari pagi ini sangat bagus dan cerah. Untuk menjemur badan, menjemur cucian, bahkan menjemur bayi pun sangat bagus. Padahal masih pukul tujuh pagi, tetapi sinar terangnya tepat berada di teras rumah Satria."Kenapa dijemur? Tumben! Emang lu udah kuat?" tanya Bu Mae pada anaknya."Buat persiapan, Bu," jawab Satria sambil tersenyum. Bu Mae mengerutkan keningnya. Persiapan?"Persiapan apaan?" tanyanya penasaran."Sebentar lagi'kan Satria mau jadi manten, Bu, jadi ini kasur harus sering dijemur.""Kata siapa?" tanya Bu Mae dengan polosnya. Satria terbahak, lalu ia bergegas masuk ke dalam rumah. Meninggalkan ibunya dalam keterpakuan menanti jawaban yang sebenarnya."Sat, emang siapa yang mau nikah sama lu? Salsa?" Bu Mae menyusul Satria yang kini sudah duduk melantai di depan pintu lemari pakaian yang terbuka. Mata tua Bu Mae melihat isi
Satria dan Bu Mae sudah berada di rumah sakit yang cukup terkenal di Kota Bekasi. Hari ini wanita paruh baya itu sudah membuat janji online pada pihak rumah sakit untuk mendaftarkan Satria ke dokter spesialis kulit dan alat kelamin."Silakan timbang dan tensi dulu ya, Bu. Dari sini, lurus saja yang ada meja perawat di depan sana," tunjuk petugas pendaftaran rumah sakit pada Bu Mae."Terima kasih, Mbak," ucap Bu Mae sambil tersenyum. Satria berjalan santai mengekori ibunya menuju meja perawat yang dimaksud. Bu Mae meletakkan lembar pendaftaran di atas meja sambil menunggu panggilan."Satria Kuat," seru perawat memanggil nama Satria. Lelaki itu bangun dari duduknya, lalu berjalan menuju perawat yang memanggilnya tadi. Bu Mae dengan setia berada di belakang Satria."Silakan duduk, Mas," ucap perawat mempersilakan. Satria pun duduk dengan santainya."Keluhannya apa?" tanya perawat sambil memasang alat untuk memeriksa tekanan darah Satria pa
"Bunda, lihat HP Salsa?""Ini, ada telepon dari Satria." Juwi menyerahkan ponsel milik Salsa. Masih ada suara berisik di seberang sana dan Salsa segera menaruh ponsel di telinganya."Halo, BangSat."Tut! Tut!Juwi bergidik ngeri sekaligus menatap Salsa dengan tatapan bingung. Kasar sekali ucapan Salsa. Batinnya."Ya ampun, Sa, orang nelepon baik-baik, kenapa dibilang Bangsat?"Salsa menyimpan ponselnya ke dalam tas selempang kecil miliknya."Bang Satria, Salsa panggil BangSat, Bun, gak keberatan dia." Salsa berjalan cepat keluar dari kamar, lalu menuju garasi rumah. Helem motor besarnya pun belum sempat ia buka karena terburu-buru saat tahu ponselnya tertinggal di rumah."Sa, itu cowok yang mau kamu ajak ke rumah hari Sabtu nanti?" tanya Juwi pada putrinya."Iya, Bun. Lillahi ta'ala aja, Salsa mah. Papa dan Bunda yang menilai nanti cocok yang mana yang kira-kira lolos jadi calon menantu. Salsa udah malas mikir, mau
Tibalah hari yang dinantikan oleh Bu Mae. Seharian ini, wanita setengah baya itu sibuk membuat aneka kue untuk dibawa ke rumah Salsa nanti sore. Ada kue cucur, bolu tape, donat kentang, risol isi sayuran, dan juga kue lapis. Belum lagi parcel buah sebanyak tiga keranjang sudah ia pesan dari toko buah.Para tetangga termasuk Pak RT, Bu RT, dan beberapa orang lainnya yang akan mengantar Satria lamaran malam ini sudah dibelikan baju seragam batik sebanyak dua belas biji. Bu Mae sengaja berbelanja ke pasar Tanah Abang untuk persiapan lamaran Satria malam ini.Satria tak bisa banyak bicara. Ia hanya bisa memandang semua kehebohan di rumahnya tanpa berani berkomentar."Ngapain bengong? Masuk sana! Calon pengantin dilarang lihat persiapan lamaran, pamali kalau kata Mak Piah," seru Bu Mae pada Satria yang kini sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Begitu ia mendengar nama Mak Piah, Satria langsung membanting pintu kamar, lalu menguncinya sebanyak dua kali. Satria