Share

DUSTA SEORANG SUAMI
DUSTA SEORANG SUAMI
Penulis: Buluh Perindu

Lembur

"Hari ini Abang telat pulangnya, Dek," ucap Zaidan saat Hanun menyodorkan sepiring nasi goreng sosis dengan toping telor ceplok di atasnya.

Hanun mendongakkan kepala saat mendengar kalimat yang diucapkan suaminya itu. Baginya ini sudah melampaui batas kelaziman jika akhir-akhir ini suaminya sering mendapatkan tugas untuk pulang lebih lambat dari kantor. Selama ini tugas lembut itu tak akan sesering sekarang. Satu bulan paling hanya dua atau tiga kali saja.

Beberapa potongan mentimun dan tomat melengkapi piring putih polos yang sudah berisi setumpuk nasi berwarna cokelat kemerahan itu. Nasi goreng buatan Hanun menurut Almira, puterinya merupakan nasi goreng paling enak sedunia.

"Bukannya beberapa hari kemarin juga lembur, Bang?" tanya Hanun sembari mengernyitkan dahinya.

Ada sesak yang tiba-tiba menyelinap di ruang hati Hanun. Lelaki halalnya ini sepertinya berbohong. Sepuluh tahun bersama, entah mengapa Hanun merasa beberapa bulan ini hatinya gelisah setiap Zaidan mengatakan hendak lembur sepulang kerja.

"Namanya juga lagi banyak kerjaan, Dek. Mau bagaimana lagi? Tak mungkin Abang sendiri yang menolak sedangkan rekan-rekan yang lain setuju bukan?" ujar Zaidan seraya mulai menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.

"Lagi pula selama ini Adek tak pernah mempermasalahkan jika Abang lembur kan? Mengapa sekarang jadi berubah? Ada masalah?" tanya Zaidan kembali.

Tangan kanan laki-laki itu meraih sebuah toples yang berisi kerupuk udang, tak jauh dari hadapannya. Membuka tutup toples lantas mengambil isinya. Kerupuk udang memang tak pernah kosong stoknya di dalam toples. Hanun akan selalu menyediakannya sebagai padanan nasi.

"Heran saja. Sekarang rasanya sangat sering sekali lemburnya, Bang. Tak seperti dulu yang hanya dua atau tiga kali dalam sebulan."

Kalimat itu diucapkan Hanun sembari berusaha menekan perih di hatinya. Hanun merasa jika selama ini telah banyak kebohongan yang diberikan Zaidan untuknya. Ini firasat seorang istri. Rasanya tak mungkin salah.

"Namanya juga bos baru. Yang namanya anak buah ikut saja."

Kalimat yang diucapkan Zaidan itu tiba-tiba membuat hati Hanun getir. Alasan yang masuk akal sebenarnya. Tapi bagi Hanun nada ucapan Zaidan sedikit berbeda. Dan dirinya merasakan itu.

"Tak ada yang protes?" tanya Hanun untuk memancing respon suaminya.

"Tak ada. Lebih tepatnya tak ada yang berani. Ingin aman saja. Kamu tentu paham dunia kerja di swasta seperti Abang ini kan, Dek?" ujar Zaidan seraya memasukkan suapan nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Tapi setidaknya sebagai manajer pemasaran Abang berhak bicara. Tak mungkin rasanya dalam sebulan itu, kantor terlalu sering meminta para pegawainya untuk lembur," tukas Hanun dengan tegas.

Zaidan bukanlah pegawai biasa. Suami Hanun itu memegang jabatan sebagai manajer pemasaran pada perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi itu. Sejak lima tahun yang lalu jabatan itu diemban Zaidan setelah bergabung di perusahaan itu sejak tamat kuliah. Bukan waktu yang singkat untuk mencapai semuanya. Butuh waktu dan pembuktian kerja keras untuk mendapatkannya.

Hanun pun bukan perempuan rumahan biasa. Walaupun sekarang setiap hari Hanun hanya menghabiskan waktu di rumah, peliknya dunia kerja pernah dicicipinya. Bahkan saat mengundurkan diri karena kehadiran Almira kala itu, boleh dibilang Hanun sedang berada di puncak karirnya. Promosi jabatan hampir didapatkan Hanun jika terus bertahan di perusahaan yang menjadi tempatnya bernaung kala itu.

Ada keegoisan yang harus ditanggalkan Hanun. Ada pilihan berat yang harus diambilnya kala itu. Karir atau buah hatinya. Bayangkan saja, aktivitas pergi pagi dan pulang sore atau malam menjadi rutinitasnya selama ini. Sementara ada seorang puteri kecil yang baru saja hadir ke dunia membutuhkan kasih sayangnya.

Hanun memilih mengalah. Almira di atas segalanya. Bayi mungil itu harus mendapatkan kasih sayangnya, bukan seorang pengasuh seperti yang dilakukan rekan-rekannya. Dan Zaidan mendukung penuh keputusan Hanun kala itu. Nafkah lahirnya tak kekurangan meski hanya sang suami yang membanting tulang.

"Sudah pernah Abang lakukan, tapi tetap saja gagal. Mau bicara apa lagi? Semoga saja kepala cabang cepat berganti," ucap Zaidan sembari menyeruput kopi hitam yang disuguhkan Hanun.

Hanun jelas menangkap ada kejanggalan nada suara suaminya itu. Agak sedikit gugup yang berusaha ditutupi dengan gerakan menyeruput kopi tadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah kebohongan itu memang terjadi?

"Bukankah kepala cabang yang sekarang baru, Bang?" tanya Hanun sembari memicingkan matanya.

Hanun jelas mengingat jika lembur yang sering terjadi ini dimulai sejak beberapa bulan terakhir ini. Bersamaan dengan hadirnya kepala cabang yang baru di perusahaan suaminya. Sebelumnya lembur memang ada. Hanya sewajarnya saja. Tak gila-gilaan seperti ini.

"Yang namanya berdoa dan berharap kan tak ada salahnya, Dek," sahut Zaidan yang terus menyuapkan nasi goreng ke mulutnya itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si hanum terlalu banyak merasa dan merasa. pintar dikit nyet. klu curiga datangi kantornya bawa makan malam.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status