Para juru rias berhasil mengubah Niken menjadi seorang putri yang cantik malam itu. Mereka merasa puas dan bangga dengan hasil karya mereka sendiri. Keempat perempuan itu mengelilingi Niken dan menatapnya dengan perasaan kagum. “Kau harus segera turun dan menemui Tuan Marais. Dia pasti akan terpukau dengan kecantikanmu, Nona.” “Yah, kau sudah memiliki kecantikan yang alami. Bahkan sebenarnya tanpa perlu banyak riasan wajah pun, hanya dengan pakaian dan model rambut yang tepat, kau sudah terlihat begitu menawan.” Niken memberanikan diri menatap wajah dan tubuhnya di depan cermin. Dia memang terlihat sangat cantik bahkan seumur hidupnya dia tak pernah merasa secantik itu. Akan tetapi, Niken sama sekali tak bahagia. Ada perasaan jijik dan muak pada dirinya sendiri. “Bukan ini yang aku inginkan!” pikir Niken. “Meskipun orang lain memandangku sebagai gadis yang sangat beruntung karena memiliki kecantikan alami, bahkan sekarang hidup di samping pria yang sangat tampan dan kaya, tapi bu
Axel terkejut harus bertemu dengan perempuan yang tak pernah dia harapkan kehadirannya. Dia ingin menghindari perempuan itu, apalagi melihat kondisi Niken yang tampaknya tidak sehat. Gadis itu masih menahan mual. Axel lekas membisikkan sesuatu pada Niken. “Hoeek!” Niken tak lagi bisa menahan diri. Dia muntah ke pakaian Axel. Perempuan di depan Axel mengipaskan tangannya dan memalingkan wajah menahan jijik. Axel mual dengan tatapan jijik itu. Dia masih memegangi bahu Niken dan membisikkan sesuatu. “Pergilah ke toilet. Aku akan menyusulmu. Jika kau kesakitan atau mengalami masalah sampaikan pada Carlos atau Marco.” Niken langsung berlari secepat kakinya mampu melangkah. Kedua pengawal Axel mengikuti gadis itu sesuai instruksi dari tatapan Axel. “Dia kekasihmu?” Perempuan yang masih berdiri di depan Axel itu menatap tajam dengan suara yang sinis. “Kau hanya bisa membuat masalah.” “Ada urusan apa kau di sini?” tanya Axel. “Apa pelayan di depan tidak menyampaikan bahwa restoran ini s
“Apa yang kau lakukan?” Axel berteriak tepat di depan wajah Niken. “Kenapa kau masih duduk di sana dengan malas-malasan?” Niken membuka sebelah matanya dan menatap Axel yang masih berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Axel hanya mengenakan celana pendek setelah melucuti seluruh pakaiannya. “Jawablah! Jangan hanya duduk saja!” teriakan Axel semakin keras. “Apa kau akan diam saja di sana dan bermalas-malasan? Mulailah lakukan pekerjaan pertamamu dengan mencuci pakaianku. Kau sudah mengotorinya dengan muntahanmu!” keluh Axel. “A-apa? Jadi kau melepas pakaianmu untuk kucuci?” Niken kebingungan dengan perubahan sikap Axel yang tiba-tiba. Axel tergerak dengan kesal. “Kau pikir untuk apa aku melepas pakaianku? Jangan berpikir aku akan melakukan hal yang akan membuatmu senang! Mulai sekarang, kau harus mengerjakan semua yang aku perintahkan termasuk mencuci pakaianku. Cepat bangun dan kerjakan!” Teriakan Axel menggema hingga membuat Niken terlonjak. Gadis itu berdiri seketika. Anehnya
Axel berbaring miring di ranjang super empuk dan besarnya. Dia menopang kepala menggunakan tangan kanan dan diam-diam tersenyum tanpa tujuan. Di depan Axel ada Niken yang terlelap dengan mulut sedikit terbuka. Niken menggeliat. Perlahan matanya mengerjap. Ketika membuka mata, hal yang pertama yang dia lihat adalah wajah tampan Axel yang terlihat tersenyum geli. Sontak gadis itu terlonjak bangun. “Apa yang kau lakukan?” teriak Niken kebingungan dan panik. “Seharusnya aku yang bertanya, bukan?” gumam Axel masih dalam posisi berbaring miring. “Di mana aku?” Niken kelabakan. “Tidurmu nyenyak sekali, bukan?” Axel mengubah posisi tidur dengan berbaring terlentang dan menarik selimut ke tubuhnya. Niken yang masih setengah sadar dan kebingungan mengucek-ngucek mata sambil duduk. Dia melihat Axel berbaring di sisinya dengan nyaman dan tanpa keraguan. “Maaf,” ujar Niken gugup. “Aku ketiduran. Sebaiknya aku tidur di sofa. Kau pasti terganggu. Aku tidak bermaksud mengotori tempat tidurmu.”
Niken baru saja turun dari pesawat. Dia berjalan sambil menyeret koper kecil. Koper itu hampir tak ada isinya. Karena Niken tak memiliki barang apa pun yang bisa dia bawa selain pakaian yang diberikan oleh Axel ketika bermalam di hotel dan beberapa alat rias yang hampir tak disentuh oleh Niken. Gadis itu mengenakan rok selutut dengan motif bunga dan dilapis sweter kuning yang lembut. Wajahnya terlindung oleh topi lebar dan kacamata gelap. Sepatu hak tinggi Niken mengentak pelan saat dia berjalan dengan tegap. Sejak tiba di bandara, hampir seluruh mata tertuju kepada mereka, terutama Axel. Penampilan Axel yang sangat menawan dan seperti model menjadi pusat perhatian para perempuan dan petugas bandara. Dengan langkah percaya diri, Axel meraih bahu Niken yang berjalan di sampingnya dengan sangat posesif. Perbuatan Axel semakin menjadikan mereka pusat perhatian. Ketika mereka keluar dari bandara, Axel sedikit menunduk kepala dan membisikkan sesuatu pada Niken. “Tersenyumlah dan tunjuk
Axel meraba rok selutut yang dikenakan Niken. Gadis itu beringsut mundur dan ketakutan. Dia berusaha menahan ujung roknya dengan kedua tangan agar tidak disingkap oleh Axel. “Lihat, ada benang yang terlepas dari keliman bajumu.” “Apa?” Niken hampir tak bisa berpikir dengan jernih. Axel duduk tegak dan dengan sigap mencabut benang yang mencuat dari keliman baju perempuan itu. Lalu Axel berdiri tegak dan mengibaskan pakaiannya. Dia beranjak seolah tak terjadi apa-apa. Niken tertawa kesal sambil mengentak-entakkan kakinya. Dia juga memukuli sofa dengan cukup keras. “Brengsek!” umpat Niken. “Kau terus saja menggodaku dan mengusikku. Lihat saja, aku pasti akan membalasmu!” ujar Niken dalam hati. “Kemarilah!” teriak Axel. Anehnya, meski Niken sangat kesal tapi dia juga lekas bangkit dari kursi. Gadis itu dengan cepat mendatangi Axel. Sikap Niken benar-benar seperti seekor anak anjing yang selalu menurut pada perintah majikan, meski sang majikan terus mempermainkan dan menggodanya. A
Selama seharian Niken menghabiskan waktunya di dalam rumah. Entah dengan menonton televisi, mendengarkan musik, ataupun membuat makanan yang sudah lama tidak dia buat. Niken sudah terbiasa mandiri sejak kecil. Ibunya menghabiskan waktu untuk bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan itu berangkat pagi-pagi sekali dan pulang hampir menjelang tengah malam. Karena itu Niken harus membuat sarapan dan makan malamnya sendiri hampir setiap hari. Awalnya dia memang kesulitan, tapi pengalaman dan waktu memberikan segalanya untuk Niken. Kali ini dia benar-benar memanfaatkannya dengan baik. Segala peralatan masak dan bahan-bahan tersedia di rumah Axel. Niken bebas bereksplorasi dan melakukan hal-hal yang dia senangi yang selama menjadi tunawisma tak bisa dilakukan. Setelah melakukan semua yang ingin dia lakukan, Niken pun mulai bosan. Dia merasa jenuh dan seolah terkurung di dalam apartemen mewah itu. Satu-satunya pemandangan yang bisa dia saksikan hanyalah menatap Kota New York
Niken duduk di sebuah cafe. Dia memilih tempat yang dekat dengan jendela kaca. Lalu lalang jalanan Kota New York tak pernah sepi. Tapi, suasana kafe begitu tenang. Ditambah dengan pencahayaan berpendar kekuningan, semakin menghangatkan suasana. Suara dari musik box di salah satu sisi cafe mengalun pelan. Niken berusaha duduk dengan nyaman dan bersandar pada kursinya. Dia menumpukan satu kaki di atas kaki yang lain. Kedua tangannya di atas meja. Niken berusaha menunjukkan dan menampilkan kesan bahwa dia tidak terintimidasi oleh perempuan cantik yang duduk di seberangnya. Perempuan berambut pirang yang sebelumnya datang ke apartemen Axel dan menyerahkan kartu nama pada Niken kini duduk di depan Niken. Usianya mungkin sekitar akhir 20 tahunan. Dia perempuan karir yang sudah menggenggam dunia di tangannya. Terlihat dari cara dia berpenampilan dan bersikap. Perempuan itu duduk dengan penuh percaya diri sambil memainkan gelas anggur di tangan. "Aku tidak mengira kau akan menghubungiku se