“Aku akan mengantarmu,” ucap Claudia setelah selesai makan siang bersama Emily. “Tidak usah, aku naik taksi saja. Atau manggil anak buah suamiku yang mengawasiku untuk mengantar,” tolak Emily enteng. “Siapa?” Claudia terkejut mendengar ucapan Emily. “Anak buah suamiku, tuh!” Emily menunjuk menggunakan dagu ke arah salah satu sudut kafe. Claudia menoleh ke arah Emily menunjuk hingga melihat dua pria yang langsung memalingkan muka. “Suamimu protektif sekali, apa dia pikir aku akan menculik atau menganiayamu sampai dia meminta orang mengawalmu?” tanya Claudia tapi tentunya dengan nada ledekan. Emily tergelak mendengar pertanyaan Claudia, hingga kemudian membalas, “Dia itu cinta mati denganku, makanya takut kalau ada semut yang menggigitku.” “Dih, lebay.” Claudia malah gemas dengan ucapan Emily yang memang penuh percaya diri. “Sudah, ayo balik,” ajak Emily lantas berdiri sambil mencangklong tasnya. Emily dan Claudia pun berdiri karena harus kembali ke perusahaan. Hingga l
“Aku sudah tidak bisa membiarkan Gio berbuat seenaknya.”Billy menatap Alaric yang bicara dengan nada penuh emosi. Dia melihat sahabatnya itu terlihat begitu kesal.“Mau aku yang bertindak?” tanya Billy sambil memainkan pulpen di jarinya.Alaric langsung menatap Billy. Dia mendengkus kasar karena masih berpikir dua kali untuk membalas perbuatan Gio.“Jika bukan karena Kakek, aku ingin sekali menghajarnya sampai dia tak bisa bangun,” geram Alaric dengan telapak tangan mengepal.Billy menghela napas kasar, lantas meletakkan pulpen di meja.“Perbuatannya sudah keterlaluan untuk menjatuhkanmu, apa kamu masih terus saja memikirkan perasaan kakekmu sedangkan perasaanmu juga bakal jadi tumbal,” ucap Billy sambil menatap Alaric yang terlihat sangat kesal.“Blokir semua aksesnya untuk mendapat proyek, aku takkan membiarkannya mendapat satu proyek pun sebagai pelajaran karena sudah main-main denganku!” perintah Alaric tanpa berpikir lagi.Alaric mungkin tak bisa main fisik karena semua itu akan
“Akhirnya kamu mau menemuiku.” Farrel terlihat senang saat melihat Emily menemuinya di private room sebuah restoran. “Dari mana kamu mendapatkan ini semua?” tanya Emily sambil melempar amplop coklat yang ditemukannya di ruang kerjanya. Di sana ada secarik kertas bertuliskan permintaan Farrel untuk bertemu. “Kamu lupa kalau keluargaku ada yang bekerja di kepolisian? Tentu saja rekaman itu valid, semua itu benar,” jawab Farrel. Emily diam dengan telapak tangan mengepal. Dia benar-benar tak menyangka banyak fakta yang mendadak muncul hingga membuat kepalanya begitu sakit. “Aku tidak tahu kamu kecelakaan malam itu. Aku benar-benar minta maaf karena sudah membuatmu terluka. Tapi jujur aku tak bermaksud seperti itu, aku hanya khilaf saja karena Selena terus menggodaku,” ucap Farrel mencoba membujuk Emily. “Kamu pikir, dengan memberiku semua bukti ini, lantas aku akan memaafkan perbuatanmu?” Emily tersenyum miring ke Farrel. “Aku hanya berharap kamu memaafkanku. Juga aku ingin menunju
“Siapa yang ada di kamarmu?” tanya Emily penasaran. “Tidak, tidak ada siapa-siapa.” Claudia menghalangi Emily yang hendak masuk kamarnya. “Tapi ada suara di dalam. Kamu ini kenapa sih? Kamu menyembunyikan apa dariku?” Emily semakin penasaran karena sikap Claudia. Claudia terlihat semakin panik, membuat Emily yakin pasti ada sesuatu. Emily hendak masuk tapi dicegah Claudia. “Tidak ada apa-apa di dalam, mungkin tadi aku naruh gelas kurang ke tengah meja, makanya gelasnya jatuh,” ucap Claudia dengan ekspresi wajah panik. “Mana ada naruh gelas tadi, jatuhnya sekarang kalau bukan karena kesenggol. Minggir ga? Kamu ini nyembunyiin apa?” Emily benar-benar tak percaya dengan alasan Claudia. Dia memaksa masuk kamar sahabatnya itu, hingga saat baru saja membuka pintu, Emily syok dengan apa yang dilihatnya. Claudia memejamkan mata, dia ketahuan oleh temannya itu. “Apa-apaan ini? Kenapa dia di sini? Ada apa ini?” Emily sangat syok dan bingung dengan yang terjadi. Dia menatap Clau
“Ayo duduk dulu,” ucap Claudia mengajak Emily duduk.Emily benar-benar sedih dengan yang terjadi. Dia bingung harus bagaimana mengontrol emosi yang meluap sampai-sampai mengamuk ke semua orang.Evano terlihat merasa bersalah dan berpikir jika sang kakak menangis karena hubungannya dengan Claudia.“Duduklah.” Claudia membantu Emily duduk lantas mengambil tisu untuk menyeka air mata sahabatnya itu.“Kami tidak bermaksud membohongimu, hanya saja aku dan Vano benar-benar masih pacaran biasa, kita juga bisa saja bertengkar dan putus, karena itu aku merasa tak perlu memberitahumu dulu,” ucap Claudia menjelaskan.Evano terkejut mendengar ucapan Claudia yang mengatakan jika bisa saja putus, membuatnya tak senang karena ucapan wanita yang enam tahun lebih tua darinya itu.Emily menarik napas panjang lantas mengembuskan kasar. Dia lantas menatap sang adik yang duduk di sebelahnya.“Bagaimana bisa kamu pacaran sama wanita yang harusnya jadi kakakmu, hah?” Emily mengamuk Evano sambil menarik teli
Alaric kebingungan karena Emily benar-benar sudah tak ada di perusahaan. Dia sampai memohon ke security untuk membuka rekaman Cctv, untungnya karena dia menantu di perusahaan itu, sehingga kepala security mau memperlihatkan. Alaric melihat Emily pergi lewat taksi yang menjemput di pintu belakang gedung, pantas saja anak buahnya tak melihat. Dia berusaha menghubungi Emily lagi tapi tak berhasil, pulang ke rumah tapi istrinya juga tidak ada di rumah. Ingin bertanya ke keluarga, takutnya semua orang cemas. “Kamu sudah menemukannya?” tanya Alaric saat menghubungi Billy. “Belum, aku coba lacak GPS taksi yang membawa istrimu, tapi belum ketemu karena harus memilah file yang sangat banyak,” jawab Billy. “Lacak pertanggal dan jam tadi, Billy!” Alaric geram karena Billy mendadak lemot. “Sabarlah, aku sedang berusaha.” Alaric mengakhiri panggilan. Dia kebingungan di kamarnya karena Emily belum ditemukan. “Ke mana kamu? Kenapa pergi secara diam-diam bahkan mematikan ponsel?” Ala
“Tolong jaga kakakku,” ucap Evano saat berpamitan dengan Claudia. “Kamu tenang saja, dia kakakmu juga sahabatku tentu aku akan menjaganya dengan baik,” balas Claudia mencoba menenangkan Evano yang cemas. Evano melongok ke dalam, lantas memandang Claudia lagi. “Ada apa?” tanya Claudia yang aneh dengan tingkah kekasih berondongnya itu. Evano menyentuh pipi dengan telunjuk lantas berkata, “Sebelum aku pergi.” Claudia melotot mendengar ucapan pemuda itu. “Ish … kamu ini tidak takut Emi ngamuk lagi? Jangan aneh-aneh!” tolak Claudia padahal sebenarnya malu. “Ayolah, sekali. Biasanya juga tak masalah,” protes Evano. Claudia mengulum bibir, lantas menoleh ke dalam dan tak melihat Emily. Dia mencium pipi pemuda itu dengan cepat, hingga membuat Evano langsung tersenyum semringah. “Sudah sana, pergi.” Claudia mengusir pemuda itu karena malu sendiri. “Baiklah, aku pergi. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku,” kata Evano. Claudia hanya mengangguk-angguk, lantas melambai ke Ev
“Kenapa kamu memacari adikku?” tanya Emily saat diajak makan malam. Claudia terkejut mendengar Emily membahas itu lagi, tapi meski begitu dia berusaha bersikap tenang. “Ya karena suka,” jawab Claudia lantas memasukkan suapan ke mulut. “Apanya suka? Suka karena dia bakal gampang kamu kibulin?” tanya Emily sambil menelisik tajam ke Claudia. Claudia mencebik mendengar pertanyaan Emily. “Kamu tahu betul bagaimana aku, bisa-bisanya kamu nuduh begitu,” balas Claudia. Emily hanya menatap seolah meminta penjelasan. “Dia yang merayuku dulu. Ya, karena aku memang suka yang lebih muda, jadi aku terima saja,” ucap Claudia menjelaskan. “Mana ada tampang Vano yang hanya diam saat ketemu orang, mendadak merayumu. Pasti kamu yang merayu!” Emily mendadak tak terima adiknya dibilang merayu Claudia. “Ih … ga percaya kamu. Dia memang memiliki tampang polos, aslinya juga ….” Claudia langsung mengatupkan bibir tanpa