Zyan lekas menarik tangannya dari pinggang Zahra. CEO dan sekretarisnya itu pun langsung membalikkan badan dan terkejut melihat sosok wanita paruh baya yang berdiri dengan wajah yang sulit diartikan.
Zyan menggeleng. “Bukan begitu, Ma,” sanggah pria itu sambil menatap Rania, ibunya.
Wanita berhijab dan berpenampilan anggun itu mengerutkan kening. “Tidak benar maksudmu? Pendengaran mama masih bagus, Zy. Kamu jangan menyangkal!”
Pria tampan itu mendengkus. “Mama salah paham.”
Rania semakin mengernyit. “Salah paham?”
“Nanti aku jelaskan, Ma,” ujar Zyan, bersiap untuk beranjak dari sana. "Zahra, ayo."
“Mama mau dengar penjelasanmu sekarang!” tegas Rania.
“Aku harus kembali ke kantor, Ma. Nanti malam saja,” lontar Zyan sambil menghela napas.
“Mama ingin bicara dengan kalian sekarang, Zyan. Masalah ini lebih penting daripada arisan mama atau pekerjaanmu. Kita pulang sekarang!”
“Tapi masih ada kerjaan yang harus—"
“Buat apa punya asisten kalau semua pekerjaan kamu handle sendiri?!” tukas Rania. “Apa perlu mama yang telepon Faisal untuk menggantikan pekerjaanmu?” Wanita itu menatap tajam putranya.
Rania jelas tak mau dibantah. Wanita paruh baya itu memang selalu tegas dan tak mudah dibujuk bisa sudah memutuskan sesuatu.
Zyan menyerah. Ia lantas mengambil gawai lalu melakukan panggilan. “Fai, aku dan Zahra belum bisa ke kantor. Kamu handle semua sampai aku kembali,” ucapnya pada sang asisten begitu panggilan tersebut dijawab. Dia memutuskan ikut Rania sebelum mamanya melakukan sesuatu yang pasti tak akan disukainya.
Zyan mengakhiri panggilan lalu memasukkan gawai ke saku dalam jasnya. Pria berparas rupawan itu kemudian memandang ibunya yang tersenyum puas, merasa senang dengan apa yang diputuskan oleh putra sulungnya.
“Bagus! Zahra ikut sama mama sebagai jaminan supaya kamu tidak kabur,” putus wanita paruh baya itu.
“Zahra sama aku, Ma. Ada pekerjaan yang harus aku bahas dengannya.”
Rania menghela napas panjang. “Awas kalau kamu berani kabur, Zy! Mama coret kamu dari kartu keluarga dan daftar ahli waris!” ancamnya.
Zyan mendengkus lalu mengajak Zahra pergi bersamanya.
“Pak, bagaimana ini? Bu Rania malah salah paham. Padahal Pak Zyan hanya menolong saya dari Pak Aswin,” keluh Zahra saat mereka dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Darmawangsa.
Gadis itu terlihat gelisah sekaligus merasa bersalah. Kalau Zyan tak membelanya, tak akan mungkin akan ada kejadian itu. Baru kali ini Zahra merasa sangat menyesal karena tak mau belajar bela diri. Coba kalau bisa bela diri, dia bisa melindungi dirinya sendiri dan melawan pria bermata sipit itu.
“Aku yang akan jelaskan. Kamu cukup diam dan tak perlu bicara kalau tidak ditanya,” kata Zyan datar. “Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Y-ya?" Zahra tampak bingung selama beberapa saat.
"Apa yang dilakukan Aswin?” ulang Zyan.
Zahra tampak ragu-ragu. Apakah Zyan bertanya karena khawatir atau hanya untuk mengantisipasi agar tidak ada kejadian seperti itu lagi di masa mendatang?
Namun, Zahra memilih untuk menceritakan semuanya pada Zyan tanpa apa yang ditutupi.
Pegangan pria tampan itu pada kemudi tampak mengencang. Ekspresi wajahnya mengeras setelah mendengar cerita dari gadis di samping kirinya.
Meskipun selama ini Zyan sering berganti-ganti pacar yang penampilannya seksi dan terbuka, tapi dia sangat menghargai Zahra. Tidak pernah sekalipun Zyan bersikap kurang ajar pada sekretarisnya itu. Dia justru respek pada Zahra yang tetap berhijab meskipun menjadi sekretaris yang lekat dengan image seksi dan menjadi simpanan bos.
“Tapi setelah apa yang Pak Zyan lakukan tadi, saya rasa sekarang Pak Aswin tidak akan mengganggu saya lagi. Terima kasih karena sudah membantu saya, Pak,” cakap Zahra seraya tersenyum tulus pada bosnya.
Zyan hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara, masih dengan ekspresi yang sama.
Tak lama kemudian, mereka tiba di kediaman Darmawangsa.
Zyan dan Zahra masing-masing duduk di sofa single yang menghadap ke arah Rania dan Prabu, orang tua Zyan, yang duduk berdampingan di sofa panjang ruang tamu.
Rania membuka pembicaraan dengan menceritakan apa yang dia dengar di depan toilet pada suaminya. “Pa, mereka berdua ini sudah berbuat zina. Sebaiknya segera kita nikahkan saja. Jangan sampai Zahra hamil duluan karena ulah anak kita!” adunya dengan berapi-api.
“Mama salah paham, Pa. Aku mengatakan itu untuk melindungi Zahra yang terus digoda Aswin. Aku dan Zahra tidak ada hubungan apa-apa,” jelas Zyan dengan tenang seraya memandang kedua orang tuanya bergantian.
“Mama tidak percaya, Zy. Pasti kamu mengatakan itu untuk menghindar dari pernikahan ‘kan? Umurmu itu sudah 32 tahun, sudah saatnya menikah dan memberi kami cucu!” tukas Rania.
“Aku tidak bohong, Ma,” sanggah Zyan. “Sebagai pimpinan, aku hanya melindungi karyawanku. Kalau tidak percaya, tanya saja sama Zahra.” Zyan menoleh ke samping kanan di mana sekretarisnya duduk.
Zahra yang sejak tadi menunduk, akhirnya mengangkat kepala. Gadis itu memberanikan diri memandang kedua orang tua Zyan. “Be-benar apa yang dikatakan Pak Zyan, Pak, Bu. Tadi saya digoda Pak Aswin di depan toilet. Alhamdulillah Pak Zyan terus datang menolong saya. Kalau tidak entah apa yang akan terjadi,” jelasnya agak terbata.
“Hubungan saya dan Pak Zyan benar-benar hanya hubungan profesional antara pimpinan dan sekretaris. Tidak lebih dari itu, Pak, Bu,” sambung gadis itu.
Rania memandang lekat Zahra. “Pasti kamu sudah diarahkan Zyan untuk bicara seperti itu saat di jalan tadi ‘kan? Sudahlah, Zahra, sebaiknya kamu menikah saja dengan Zyan untuk menjaga kehormatanmu. Nanti kalau sampai kamu hamil duluan, bukan hanya kamu yang jadi bahan omongan orang, tapi nama baik keluarga Darmawangsa juga akan tercemar. Meskipun saya kecewa kalian sudah melakukan zina, tapi saya tetap menerimamu sebagai menantu.”
Zahra menelan saliva. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Pemikiran Rania terlalu jauh, sangat melenceng dari apa yang dibayangkannya tadi saat di jalan.
“Ma, aku dan Zahra tidak pacaran!” tegas Zyan. “Kami juga tidak pernah berzina!” sambungnya.
Pria itu terlihat sangat frustrasi karena Rania tak percaya dan malah menuduh mereka yang tidak-tidak.
“Sudah saatnya kamu berhenti bermain-main dengan wanita. Mama senang pacarmu yang sekarang berhijab, tidak seperti pacar-pacarmu yang pakaiannya selalu kurang bahan itu. Pokoknya mama mau kamu secepatnya menikah dengan Zahra. Titik!”
“Aku tidak akan menikah dengan Zahra, Ma!” Zyan langsung melayangkan protes pada Rania. Tidak terima dengan keputusan sepihak wanita yang sudah melahirkannya itu. “Papa tidak pernah mendidik kamu jadi pria yang tidak bertanggung jawab, Zyan! Kalau berani berbuat, kamu harus bertanggung jawab!” Prabu yang sejak awal diam, akhirnya berbicara. Zyan sontak memandang Prabu dengan tatapan protes. “Pa, aku tidak melakukan apa pun. Untuk apa aku bertanggung jawab? Aku mengatakan soal pacar dan tidur itu hanya untuk melindungi Zahra dari Aswin,” jelasnya untuk membela diri. Dia berharap sang papa lebih bijak dari mamanya. “Tidak ada salahnya kamu menikah, Zy. Papa setuju dengan Mama, sudah saatnya kamu berhenti bermain-main. Lagian apa yang kamu dapat dengan sering berganti-ganti pacar? Bangga karena sudah meniduri banyak wanita?” Prabu menatap tajam putra sulungnya itu.Zyan mengusap wajah lalu menyugar rambutnya. Dia merasa gusar. Niat baiknya untuk membantu Zahra malah menjadi bumerang u
Zahra diam, tak langsung menanggapi pertanyaan Zyan. Gadis itu juga mengalihkan pandangan ke depan. Dia tak habis pikir dengan apa yang dilontarkan oleh bosnya itu. Pernikahan kontrak? Seperti di novel-novel yang sering dia baca saja.“Kenapa diam? Kamu tidak setuju?” Zyan menaikkan sebelah alisnya seraya menoleh pada sekretarisnya.“Menikah itu ikatan yang suci, Pak. Perjanjian dengan Allah, tidak hanya dengan manusia. Kita tidak boleh mempermainkannya,” sergah Zahra. Menolak dengan tegas ide gila CEO di tempatnya bekerja itu.Rahang Zyan mengetat, tidak sependapat dengan jawaban sang sekretaris. “Terus maumu apa? Kita benar-benar menikah?” timpalnya dengan kesal.“Sama seperti jawaban saya tadi. Saya tidak mau menikah dengan Bapak,” tegas Zahra. Meskipun berhutang budi pada Zyan, dia tetap tidak mau mengorbankan masa depannya demi ambisi sang bos.Pria berusia 32 tahun itu mengembuskan napas kasar. Bagaimanapun dia harus menikah dengan Zahra agar tidak kehilangan warisan. Karena itu
Binsar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia memindai Zyan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pria yang lebih muda darinya itu mempunyai paras tampan. Pakaian dan aksesori yang melekat di tubuh tegap Zyan, semuanya tampak berkelas dan mahal. Membuat pria bertubuh tambun itu jadi kurang percaya diri karena kekayaan pria yang mengaku sebagai calon suami Zahra itu pasti jauh di atasnya. “Hei, Anak Muda. Jangan mengaku-aku. Lagian kamu tidak akan bisa menikahi gadis itu karena dia sudah setuju jadi penebus utang ayahnya,” ucapnya dengan pongah. Binsar juga tidak mau menyambut uluran tangan Zyan. Meskipun dalam hal apa pun kalah dari Zyan, dia tidak mau mengakuinya. Rentenir itu tetap mempertahankan wibawanya. Zyan pun menarik tangannya lalu tersenyum sinis. “Anda sedang berkhayal? Zahra tidak pernah setuju menikah dengan Anda.” “Dia tadi akan mengatakannya, tapi kamu tiba-tiba datang dan memotong ucapannya,” sergah Binsar yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Pria bertu
Zahra langsung mengiakan tanpa berpikir lagi. Dia mengajak Zyan keluar agar pembicaraan mereka tidak didengar ayah dan ibunya. Keduanya pergi setelah berpamitan pada Maryam, ibu Zahra.“Sebelum membahas soal perjanjian, saya ingin tahu kenapa Pak Zyan tiba-tiba kembali ke rumah saya?” tanya Zahra saat mobil mewah yang mereka naiki sudah melaju di jalanan.“Untuk bertemu orang tuamu,” sahut Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Jawaban dari bosnya itu membuat Zahra mengernyit. “Untuk apa?”“Memberi tahu kalau nanti malam Papa dan Mama akan melamar kamu.” Wajah Zyan sangat datar untuk seseorang yang ingin berniat melamar wanita.“Walaupun saya tidak setuju menikah, Pak Zyan tetap akan melamar?” Zahra memandang wajah pria yang duduk di belakang kemudi itu.“Itu urusanmu sama Papa dan Mama. Aku hanya menyampaikan pesan mereka saja,” jawab Zyan tanpa beban. Pria itu la
Zahra menelan ludah mendengar pertanyaan Zyan. Gadis itu jadi semakin gugup karena bosnya malah berdiri menghadap ke arahnya hingga semakin tampak jelas otot-otot yang terbentuk di bagian atas tubuh pria itu. “Bukan begitu, Pak. Saya hanya merasa kurang nyaman karena tidak terbiasa,” ucapnya dengan terbata-bata.“Kalau begitu mulai dibiasakan,” tukas Zyan tanpa mengindahkan permintaan sang sekretaris yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya.Karena Zyan tetap akan memakai pakaiannya di dalam kamar, Zahra memutuskan masuk ke kamar mandi. Lebih baik mengalah daripada dia jadi canggung sendiri. Gadis itu sebenarnya ingin mandi sekalian. Namun karena belum membawa baju ganti, dia memutuskan duduk di atas toilet sambil menunggu Zyan selesai berpakaian.“Zahra,” panggil Zyan sambil mengetuk pintu kamar mandi.“Ya, Pak,” sahut Zahra tanpa membuka pintu. Dia takut bosnya belum selesai berpakaian.“Aku
“Bunny, kamu melamun?” Suara Mila berhasil membuat Zyan kembali ke alam nyata. Dia tersenyum tipis pada kekasihnya itu.“Aku sedang berpikir apa yang akan aku lakukan kalau kamu tidak di sini,” kilah Zyan untuk menutupi apa yang sebenarnya tadi dia pikirkan. Sementara ini, Zyan memutuskan menutupi pernikahannya dengan Zahra dari Mila. Toh, pernikahan mereka hanya sementara dan tak banyak yang tahu. Jadi, Mila pun tak akan tahu selama tak ada yang memberi tahu.“Daripada memikirkan soal itu lebih baik kita melakukan hal yang menyenangkan, Bunny. I miss your touch.” Mila memandang Zyan dengan tatapan menggoda. Dia menangkup wajah sang kekasih dengan kedua tangan lalu menautkan bibir mereka. Ciuman yang semula pelan itu jadi semakin intens dan membuat kedua tangan mereka bergerak, menyentuh apa pun yang ingin disentuh.***Zahra baru saja berpakaian saat bel kamar hotel berbunyi. Dia beranjak menuju pintu dan meli
Zyan mondar-mandir di balkon apartemen Mila dengan gawai di samping telinga. Setelah membaca pesan dari Zahra kalau kedua keluarga mendatangi kamar hotel mereka, dia merasa gelisah sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karenanya pria berwajah rupawan itu menghubungi sekretaris yang juga istrinya. Namun sayangnya, setelah beberapa kali melakukan panggilan, tak ada satu pun yang dijawab oleh Zahra."Apa dia sedang di kamar mandi? Kenapa teleponku tidak diangkat?" gumam Zyan dengan kening mengerut.CEO muda itu kemudian menghubungi asistennya. Berbeda dengan Zahra, panggilan pada Faisal itu langsung dijawab."Apa Papa atau Mama telepon kamu?" tanya Zyan tanpa basa-basi begitu sang asisten menjawab panggilannya."Tidak, Pak. Apa ada masalah?" sahut Faisal dari seberang telepon.Zyan menghela napas lega setelah mendengar jawaban asistennya. "Tidak ada. Ingat, Fai! Kalau Papa dan Mama tanya soal aku, kamu jawab seperti yang aku katakan tadi," pesannya."Baik, Pak. Apa ada
Zyan langsung masuk ke kamar begitu tiba di hotel tempatnya melangsungkan akad nikah dengan Zahra. Dia sengaja membawa keycard kamar waktu pergi tadi agar bisa masuk sendiri tanpa harus menunggu dibukakan pintu oleh wanita yang sudah dihalalkannya itu. Karena itu Zyan melarang Zahra keluar dari kamar.Betapa terkejutnya Zyan saat mendapati sekretaris yang juga istrinya sedang tertidur pulas di atas ranjang hotel. Dia tadi cemas memikirkan apa yang terjadi saat keluarga mereka datang, sampai mengebut agar cepat sampai di hotel, malah Zahra enak-enakan tidur.Pria berparas tampan itu sebenarnya ingin mengamuk dan membangunkan istrinya, tapi entah kenapa jadi tidak tega. Rasa bersalah karena menyeret Zahra dalam pernikahan kontrak mereka membuatnya urung melakukannya. Mama dan Papanya sama sekali tidak menghubunginya, bukankah itu artinya baik-baik saja? Kenapa dia jadi secemas tadi padahal juga sudah menjelaskan lewat pesan?CEO itu mendekat pada Zahra. B