Alex terduduk lesu mendengar penjelasan dari Alice tentang keberadaan keponakannya yang seorang lagi, yang selama ini terabaikan olehnya karena fokusnya pada Abigail.
Abigail tak menyalahkan sikap Alex, tetapi ia berharap setelah mengetahui ini, Alex akan berusaha seperti dirinya. Mencari keberadaan Gin, sampai akhir. Dan memang itu yang akan Alex lakukan.
Ia lalu menghubungi beberapa orang kepercayaannya untuk bergerak menyusuri seluruh penjuru kota tak hanya Mount Avery, melainkan Eastern Shore tempat mereka tinggal. Bila perlu, ke seluruh penjuru dunia. Ia tak akan membiarkan anggota keluarganya merasakan kesepian dan terbuang.
Alice berpamitan saat selesai menceritakan semua pada Alex. Ia lega ketika mengetahui Alex dan Alona, yang selama ini seolah hilang di telan bumi, justru menjadi orang tua asuh bagi Abigail yang juga lama menghilang.
Zachary terbangun di ranjang, ia mengedar pandangan ke seisi ruangan yang baru ia kenali beberapa jam lalu. Abigail sudah tak ada di sisinya. Ia bangkit, keluar dan mencari gadis itu, tetapi tak temukan di mana pun. Hanya menemukan secarik kertas pesan tergeletak di atas meja makan. Jangan lupa sarapan dan minum vitaminmu Abby Hanya itu. Di samping kertas sudah tersaji sepiring kecil pancake, susu, dan vitamin. Zachary menikmatinya sendiri, melakukan seperti yang tertulis di catatan. Setelah menghabiskan makanan di piringnya, ia beranjak dan bergegas pergi. Sidney menghubunginya satu jam lalu, secara tiba-tiba mengatakan bahwa dirinya akan datang ke Mount Avery, padahal baru seminggu lalu ia kembali. Sungguh kabar yang kurang menyenangkan bagi Zachary saat ini. &nb
Zachary tiba di kantor lebih pagi dibanding biasanya. Selain karena Sidney yang terus menempel padanya dan entah mengapa membuatnya merasa tak nyaman, juga karena dirinya harus mempelajari materi dan poin-poin penting saat rapat. Ada beberapa berkas yang disiapkan oleh Karen di atas meja kerja, sudah siap untuk dibaca olehnya. Ia membaca satu per satu isi map yang terhampar di sana. Beberapa berkas mengenai sejarah perusahaan milik Abigail, JA Corps. Membaca nama Abigail, hatinya berdesir. Ia ingin sekali menghubungi gadis itu demi menanyakan kabarnya, tetapi ada banyak hal yang mencegahnya melakukan itu. Terlebih setelah apa yang terjadi kemarin, mungkin gadis itu sedang marah padanya. Haruskah Zachary memperjelas masalah ini dengan mendatangi Abigail ? Namun, jika ia datang, bagaimana jika tak mampu lagi menahan diri untuk tidak melakukannya lagi?
Abigail sudah siap dengan segala yang ia butuh kan untuk rapat hari ini. Tak hanya membahas tentang rancangan kerja sama antara JA Corps dan Zacamers, melainkan juga menetapkan penggabungan saham antara kedua perusahaan. Jika dipikir, ini merupakan langkah yang cukup berisiko, karena Zachary bisa saja berbuat curang dan melakukan tindakan tak beradab seperti yang dilakukan ayahnya. Namun, Abigail akan terus memantau dan tidak begitu saja memercayakan semua pada pria itu maupun pegawainya. Ia sendiri yang akan mengurus segalanya, mulai awal hingga akhir. *** Abigail baru tiba di kantor saat dengan tergesa Tamara menghampirinya. "Nona Genovhia, semua sudah siap di ruang rapat, hanya saja ...." Tamara menjeda perkataannya. Abigail tak sabar menunggu asisten sekaligus sekretar
Abigail menikmati sarapan ditemani pikiran dan hati yang kalut. Apa yang terjadi di ruang rapat kemarin sesungguhnya sangat di luar dugaan. Namun, dengan cepat ia berhasil menetralisir suasana hati yang mendadak berubah ketika melihat kehadiran Sidney di sana, tak henti bergelayut pada lengan Zachary. Ia kesal melihat adegan mesra yang baginya justru tampak berlebihan dan menjijikkan. Pasalnya, di ruangan itu tak hanya ada mereka bertiga—jika niat Sidney untuk membuat Abigail cemburu, melainkan ada beberapa lainnya yang pada akhirnya terpaksa ikut menjadi penonton. Sungguh, perasan itu muncul bukan karena dirinya cemburu. Di mata Abigail, tak ada yang menarik dari Zachary. Memang benar pria itu tampan, dengan rambut sewarna tembaga berpotongan cepak, sepasang manik mata kelabu yang tajam namun hangat, juga suara bariton yang mungkin akan membuat para gadis menahan nafas jika mendengar
Abigail sedang bersama Alice di kantor saat Mr.Thompson datang. Ia telah menemukan siapa saja yang memiliki saham di perusahaan James Anderson. Pria itu meletakkan amplop coklat di atas meja, tepat di hadapan Abigail. "Amplop itu berisi berkas mengenai kepemilikan saham Tuan Anderson di salah satu anak perusahaan yang dibangun olehnya, yang kini telah diakuisisi oleh EmerCorps. Namun, aku tidak menemukan data legal dari tindakan tersebut," tutur Mr. Thompson. Abigail menyeringai, mendengar penjelasan Mr. Thompson telah membuat matanya terbuka. Jelas betapa licik Garry Emerson, juga keluarga dan rekan-rekannya, hingga tega melakukan cara kotor demi mendapat apa yang mereka inginkan. "Tentu saja ... mereka tak memiliki data kuat untuk mengambil hak atas perusahaan James, sehingga menghalalkan segala cara. Aku ingin kau mengusut lainnya yang terlibat a
Zachary dan Sidney, masih dengan topik yang sama, saling melempar argumen satu sama lain. Tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah, atau setuju dengan keinginan lainnya. Abigail bisa memaklumi itu. Andai dirinya menjadi Sidney, ia pun akan melakukan hal yang sama, melindungi kekasih dari wanita lain. Hanya jika wanita itu terlihat mengancam hubungan mereka. Mudah sekali menyimpulkan tujuan dari sikap keras kepala Sidney. Ia masih bersikeras untuk menginvestasikan saham miliknya. Sementara Zachary justru sebaliknya. Abigail menyimak pertengkaran yang semakin rumit. Ia ingin menghentikan tindakan keduanya yang tentu saja mengganggu ketenangan Abigail, tetapi juga penasaran akan berakhir seperti apa pertengkaran mereka. Setelah membiarkan kedua tamunya berdebat, Abigail akhirnya harus mengambil keputusan. "Hent
Abigail terenyak mendengar perkataan Dokter Gregory. Matanya membelalak, tak menyangka dokter yang menangani Selena akan mengenali. Siapa sebenarnya dokter itu? Mengapa ia bisa tahu banyak hal? "Apakah kau terkejut, dan bertanya-tanya mengapa aku bisa mengetahui siapa kau?" Dokter Gregory tersenyum, memutar tubuh ke arah Abigail. "Kau mungkin bisa memakai ribuan topeng untuk bersembunyi dari mereka, siapa pun itu. Namun, kau tidak bisa bersembunyi dariku. Aku dokter yang menangani kejiwaan, Abby, aku dapat membaca ada yang tidak beres. Dan itu terjadi di alam bawah sadarmu." "K-kau tidak bisa seenaknya mengatakan hal tanpa bukti," elak Abigail. Dokter Gregory hanya menyungging senyum tipis. "Sudahlah Abby, aku memang tak punyai bukti, tapi DNA bisa menjadi bukti. Namun, aku tak
Abigail terdiam mendengar suara yang tentu saja tak asing di telinga. Sudah menghabiskan air mata selama seharian, dan kini tampak ada yang mulai menggenang lagi. "Apa yang kau inginkan?" tanya Abigail, sendu. Bukan raut kemarahan yang terulas di wajahnya, melainkan haru, tetapi ada sedikit kesal. Ia mengusap air mata dengan jemarinya. "Abby ... apakah kau menangis? Hey ... kau seharusnya senang mendengar suaraku, bukan malah bersedih ...." Abigail menyembunyikan isaknya. "Aku tidak sudi menangisi pria pengecut sepertimu!" Keduanya terdiam sesaat, merangkai rindu dan memori yang sempat terburai dan tercerai-berai. Kini, segala kenangan tentang kebersamaan singkat mereka, seolah kembali satu per s