Share

16. Sikap Joy

"Mel ... kamu sedang melihat apa?"

"Ah itu ...." Aku lalu mendekatkan diri dan berbisik, "Seorang kenalan yang cantik."

"Oh ya? mana?"

"Sana," balasaku sambil menunjuk tepat ke arah Joy.

Muti malah hendak bergerak menuju tempat itu. "Bagus kalau kenalanmu, kita bisa nyempil dan duduk di sana." Muti memang kadang bertindak spontan.

"Hei!" cegatku dengan cepat. Aku juga menarik tangannya. "Aku belum selesai bicara. Aku enggak dekat dengan dia," terangku lagi.

"Oalah. Tapi-" ucapannya terhenti. Aku menarik Muti keluar dari wilayah kantin utama.

"Makan di tempat lain saja, kantin ini terlalu penuh. Atau ... sambil menunggu, bagaimana kalau kita ke perpustakaan?"

Muti hanya mengangguk sebagai respon. Kami lalu menuju perpustakaan. Anehnya, tempat ini sangat sunyi. Perbedaan yang sangat mencolok hanya melihat jumlah pengunjungnya.

"Sepi sekali ya."

"Ya ialah, kan pengunjungnya lagi pada makan. Lihat, staff di perpustakaan juga cuma sisa satu yang jagain untuk regristrasi."

"Bagaimana kalau kita ke Chinese Corner yang ada di lantai tiga? penjaga di sana ramah," usul Muti.

"Boleh aja sih, sekalian bisa lihat-lihat buku-buku di sana. Aku pernah ke sana satu kali sama Cintia dan tempatnya memang nyaman, beda dengan corner yang lain. Paling penting juga ... luas. Hihihi, apa ada peng-anak tiri-an di sini?"

"Hm ... hanya petinggi kampus yang tahu semua ini." Meski sambil bernapas pelan, Muti berusaha menjawab pertanyaanku.

Lokasi corner ini memiliki sisi baik dan buruk. Berada di lantai tiga tentu sangat nyaman karena tidak banyak yang tahu keberadaan tempat sebagus ini. Pintunya yang selalu tertutup juga membuat orang yang dari luar sedikit ragu untuk masuk. Siapa yang menyangka bila staf yang berada di dalamnya sangat ramah dengan senyuman khasnya.

"Selamat datang, silakan isi buku tamu ya," katanya dengan sopan.

Aku dan Muti lalu mengisi buku itu dan segera mengambil tempat untuk duduk. Tempat ini bernuansa sangat oriental dengan warna merah dan juga ornamen kayu.

"Se-jam saja ya di sini. Setelah itu kita balik ke kantin." Muti seolah memperingatkanku agar tidak terlena dengan kenyamanan tempat ini.

"Iyaaaaaa nyonyaaaaaaa ...."

"Tapi ngomong-ngomong cewek yang kita lihat di kantin itu sama kan dengan yang kamu tabrak karena bengong? Masa sih kalian enggak dekat? serius?" Muti mulai penasaran.

"Kami bertetangga, hanya itu saja. Dia masuk di kampus ini tanpa tes. Sebenarnya aku tidak membencinya, hanya saja ... bila diingat kembali entah mengapa aku kesal padanya. Dia selalu mendapatkan apa yang ia mau. Ah, dia juga pintar, tentu saja. Aku ingat saat dia memamerkan hasil ujiannya padaku. Sombong sekali."

"Cup, cup, cup ... sabar ya." Muti mencoba menenangkanku sebelum kemudian berkata, "tapi kayaknya kamu yang sensi deh, memangnya kenapa kalau memperlihatkan hasil ujiannya?"

"Mut, kamu itu memihak siapa sih sebenarnya?"

"Hihihi, huhuhu, hahaha. Sensi amat sih! Ya ampun ... aku ini netral tidak memihak siapa-siapa. Tapi kalau harus memilih, ya tentu saja kamoeh! Aku juga tidak kenal Joy, ngapain amat aku memihak padanya."

Senyum perlahan mengembang dari wajahku. Ya, aku akui ini sedikit berlebihan. Meminta seseorang untuk seolah menghakimi Joy tanpa mengenalnya lebih jauh.

***

Bukan Muti namanya kalau tidak menjelajahi suatu tempat. Gadis itu sedari tadi mengintari bagian-bagian dari ruangan ini. Sangat berbeda denganku yang sudah mulai hanyut dalam sebuah buku bergambar dengan judul Cerita Rakyat Tongkok.

Awalnya aku tidak peduli dengan yang dilakukan Muti hingga pendengaranku tertarik dengan percakapan yang sepertinya sangat seru antara dia dan penjaga tempat ini. Mataku memang tertuju pada buku yang menarik di depanku, tapi telingaku seperti berdusta dengan konsentrasi pada sebuah percakapan. 

Muti selesai dengan segala keingintahuannya dan akhirnya duduk di bangku depanku. Kami hanya terhalang sebuah meja yang ukurannya cukup besar.

"Tempat ini memang bagus, bayangkan saja bagaimana mereka bisa mendatangkan pengajar native."

"Oh ya? Terus terus?" Aku menutup buku yang sedang kubaca perlahan, perhatianku sekarang mengarah pada ucapan Muti.

"Ternyata di sini membuka kelas untuk belajar Bahasa Mandarin. Pantas di sisi sana ada ruangan kelas, dua lagi. Tadi aku dan kakak penjaganya melihat-lihat, ia juga menjelaskan dengan detail. Kampusku memang the best, fasilitas seperti ini belum tentu ada di kampus lain."

Aku pun terkagum mendengar penjelasan Muti. Yah, bagaimanapun juga kampus ini memang salah satu kampus impian semua calon mahasiswa. Seperti aku, Muti dan Joy yang berjuang untuk bisa diterima di sini. Kebanggaan tersendiri bukan? Aku tak tahu mengatakan ini apa akan menimbulkan pro dan kontra. Menurutku bukan nama kampus yang menentukan masa depan. Dimanapun kalian kuliah, saat kelulusan adalah perjuangan kalian yang sesungguhnya. Apa gunanya bila kalian lulusan universitas terbaik tapi tidak memiliki soft skills yang dibutuhkan dalam dunia kerja.

Muti melihat jam tangan merek Roleks kw premium dan kemudian terseyum. Bisa aku tebak dalam pikirannya sudah saatnya uintuk mengisi bahan bakar dalam tubuh kami. Cacing-cacing di perutku juga sepertinya sudah mengamuk dan meminta untuk diberi makan. Kami hanya saling berpandangan dan mulai membereskan buku yang aku pinjam tadi. Segera, aku meletakkan kembali ke rak dengan rapi. Kami lalu keluar dari ruangan itu, dan menuruni tangga hingga ke lantai satu. Sampai sudah kami di depan pintu gerbang perpustakaan pusat. Kami siap berjalan menuju kantin utama.

"Aneh banget ya, kita bahkan enggak berbicara sama sekali tapi bisa mengerti saatnya ke kantin, hahaha."

"Kita bicara lewat hati."

"Preeettt ...."

Kami lalu tertawa bersama.

***

"Nah, gini donk ... banyak tempat kosong, bisa duduk di mana saja," ujar Muti.

"Jadi mau makan apa sekarang? Ayam geprek atau gado-gado?"

"Coto aja deh coto."

"Apa yang ditanya dan dijawab beda ya, kebiasaan kamu ini!"

Muti lalu menuju salah satu penjual dan memesan coto. Aku sebagai kaum pemuja ayam tetap dengan pendirianku. Aku memesan ayam geprek dengan cabe ekstra pedas. Setelah dipesan tinggal menunggu beberapa saat hingga pesanan kami datang. Untuk minum, aku dan Muti tetap memilih minuman termurah, es teh. 

Akhir-akhir ini aku mulai berpikir setelah membaca postingan di salah satu media sosial. Ternyata kandungan teh kurang  begitu baik saat dikonsumsi setelah minum. Aku akan mencari tahu lagi tentang itu. Tapi ... apa setelah mengetahui fakta mengejutkan apa aku akan berhenti memunum es teh? Ckckck, aku bahkan tidak yakin.

Akhirnya setelah beberapa menit menunggu, pesanan kami tiba. Dengan doa singkat, kami lalu menikmati makan siang kami.

"Ah, mantap!" seruku setelah menelan suapan pertama dan juga meneguk minumanku. "Makan saat sedang lapar memang yang terbaik."

Kami melanjutkan makan siang kami dengan damai. Tenang rasanya bisa makan dengan kondisi kantin yang tak begitu ramai. Setelah selesai, kami tidak langsung pergi. Kami mengambil beberapa menit terlebih dahulu untuk beristirahat, ya ... sekedar menenangkan perut.

"Mel, tambah sepuluh menit lagi ya. Aku masih pewe nih, malas gerak."

"Hm. Oke! Lanjut main hape aja dulu, aku juga lagi melihat-lihat video lucu yang bertebaran," balasku dengan mata yang masih tertuju pada ponsel milikku. Muti lalu kembali konsentrasi dengan ponselnya.

"Mel, lihat ini deh," ucap Muti sambil memperlihtakan sebuah artikel."

"J-Joy?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status