Share

Bab 3

 

 

 

Dua keluarga dengan level sederajat tengah asyik, menikmati hidangan dari si empunya rumah. Semua tampak bahagia, kecuali Rei Saputra yang ingin segera mengakhiri pertemuan yang menurutnya tak pernah penting!

 

Duduk berdampingan dengan wanita yang tak pernah dicinta, membuatnya begitu muak! Pertunangan yang digelar dihari pernikahannya dengan Alya, mau tidak mau terjadi jua lantaran perintah sang Ayah.

 

Mey terus bergelayut manja di samping pria jangkung bertubuh tegap, pakaian seksi yang membalut tubuhnya sama sekali tak membuat si tunangan tertarik. Ia lebih menyukai Alya, apa adanya dan tidak dibuat-buat.

 

Rei mendengus kasar, lantas berbisik pada sang Ayah, "Rei udah kenyang, Yah. Kapan kita bisa pulang?"

 

Mendengar pertanyaan Rei, tentu saja membuat Ayahnya menatap penuh kesal.

 

"Tolong nikmati kebersamaan ini Rei!" Selalu begitu, dan Rei tak bisa membantah perintah dari orangtuanya tanpa alasan apa pun.

 

"Sudah setahun anak-anak kita bertunangan, kapan anakmu Rei. Berniat untuk menikahi anakku Mey?" Pak Wira bertanya, membuat Rei tersedak. Kaget bercampur tegang, entah jawaban apa yang harus Rei iontarkan agar bisa menunda lagi pernikahan mereka.

 

Putra menatap anaknya dengan lekat, sebelum menjawab pertanyaan dari rekan bisnis sekaligus calon besan.

 

"Secepatnya, kamu tenang saja Wir. Biarkan mereka menikmati masa pacaran terlebih dahulu, bukan begitu Rei dan kamu Mey?" 

 

Putra menatap mereka secara bergantian, berharap Rei menjawab pertanyaan si calon besan dengan baik.

 

"Tapi, Om. Mey ini udah 29 tahun loh, dan Rei juga 30 tahun. Udah saatnya menikah, bukan pacaran lagi. Iya 'kan sayang?" Pertanyaan Mey, membuat Rei menatap tak setuju. Baginya mengejar karier lebih penting, daripada menikah. 

 

Dua wanita yang tak lagi muda, ikut mendengarkan obrolan dengan takzim. Sepatah kata pun belum keluar dari mereka, memberi kesempatan pada kedua anak juga para Ayah untuk berbicara.

 

Davin memutuskan untuk bicara. Setelah ikut diam sedari tadi, "Rupanya Kakak ipar, udah nggak sabar ya untuk nikah sama Kak Rei."

 

Ucapan Davin, hanya ditanggapi senyuman sinis dari bibir Mey. Sama sekali tak tertarik dengan omongan si brondong, yang menurutnya tak penting.

 

"Rei belum siap, masih ingin mengejar karier. Kalau aku sukses, Mey juga 'kan yang senang?"  Pertanyaan darinya, membuat Mey begitu marah. Tak dinyana jika sang tunangan, masih saja berpikir tentang karier.

 

Dilepasnya tangan yang sedari tadi bergelayut manja, amarahnya semakin membuncah mendapat penolakan menikah secara berulang.

 

"Aku lelah menunggu kesiapan darimu, Bebb. Kamu ini udah sukses, mau nunggu apa lagi coba?" 

 

"Kamu yang sabar Mey, nggak tau kenapa aku emang belum siap untuk nikah," tukas Rei, berharap wanita yang kini berada di sampingnya mulai paham sekaligus berhenti bertanya tentang pernikahan.

 

"Cuiih! Apa maksud kamu bicara seperti itu Rei? Atau jangan-jangan, anakmu ini masih mengharapkan wanita masa lalunya. Benar begitu?"

 

Putra dibuat tegang dengan pertanyaan si calon besan, sekali lagi ia mengutuk atas apa yang telah dilakukan Rei.

 

Pak Wira masih berdiri dengan napas tak beraturan, setia menunggu jawaban dari Putra atau pun dari Rei. Jelas ia tak mau, melihat anaknya hanya memiliki status tunangan. Lantas tak pernah berniat untuk menikahi.

 

Semua orang yang berada di meja makan ikut tegang, merasakan amarah yang tidak biasa. Semua tentu tak akan terjadi, jika saja Rei tidak berbuat ulah. 

 

"Saya sebagai Ayah dari Rei, meminta maaf atas ketidaknyamanan ini. Secepatnya, akan kami beri kabar kapan persisnya Rei siap untuk menikahi Mey." 

 

Putra menatap penuh hormat, berharap ketegangan di antara mereka segera berakhir.

 

"Duduk Pah, jangan marah begitu. Nggak baik untuk kesehatan!" titah istrinya, sambil membantu Pak Wira untuk kembali duduk.

 

Mey kembali tersenyum, kesempatan untuk menikah dengan Rei akan segera terwujud. Ia jelas tau akan kelemahan dari calon mertuanya.

 

Davin yang tidak tega melihat Rei terus saja dipaksa menikah, memutuskan untuk membawanya pergi. Entah ke mana, setidaknya Davin tau. Bahwa pergi dari tempat Mey, akan membuatnya jauh lebih tenang.

 

Dalam hati Rei sangat berterima kasih pada Davin, yang telah menyelamatkan hidupnya. Walau hanya sementara, sebab ia tak tau hal apa yang akan terjadi di kemudian hari.

 

"Aku akan setia menunggu, Bebb. Kapan pun kamu siap untuk menikah denganku," ujar Mey, sesaat Rei juga Davin berpamitan untuk pulang terlebih dulu.

 

"Kalau boleh tau, siapa wanita masa lalu Kakak selama ini?" Davin bertanya, tatkala mereka sudah berada dalam satu mobil.

 

Rei tak menjawab, masih bungkam. Tak mungkin bicara jujur perihal Alya, wanita yang baru Davin temui kemarin di Kantin.

 

"Rahasia, entar kalau Kakak kasih tau. Kamu naksir lagi sama dia." Rei terkekeh pelan, sengaja agar Davin tak menyimpan curiga.

 

"Nggaklah, aku udah punya calon sendiri tau," tukas Davin, sambil tersenyum mengingat Alya.

 

"Oh ya? Siapa dia? Kok, nggak kamu kenalin sama Kakak?"

 

Davin mengulum senyum, seketika bayang Alya tampak jelas di memorinya.

 

"Seorang wanita di staff Kantor kita, Kak," sahut Davin, menoleh pada Rei yang sempat terperangah.

 

"Siapa dia? Dan dari keluarga seperti apa? Kamu jangan salah pilih, Ibu dan Ayah nggak akan setuju gitu aja. Sebelum tau bibit, bebet, juga bobotnya."

 

Mendengar hal itu, Davin merasa terpukul. Baru ingat jika orangtua mereka tidak akan setuju gitu aja, apalagi Alya yang sudah berumur dibanding dirinya.

 

"Namanya Alya, Kak."

 

Rei seolah tak percaya dengan pengakuan adiknya, bagaimana mungkin mereka mencintai wanita yang sama.

 

Rei meneguk saliva, tangan kanan mengepal dengan kuat. Tak rela jika ada pria lain yang ternyata diam-diam menaruh hati pada sang mantan.

 

"Alya Sahira maksud kamu?" tanya Rei, masih berharap jika Alya yang dimaksud Davin bukanlah mantan dirinya.

 

"Iya, Kakak kenal sama dia?" Davin tampak senang, jika ternyata Kakak sudah mengenal wanita yang tengah menjadi tambatan hati.

 

"Vin, Alya itu nggak pantas sama kamu. Dia udah 30 tahun loh, sedang kamu baru 25. Pasti Ayah dan Ibu nggak akan setuju," tukas Rei, berusaha membuka mata hati Davin.

 

"Perduli amat Kak! Aku udah jatuh hati banget sama dia, Alya tuh beda dengan wanita yang pernah aku temui."

 

Pandangan mereka saling bertemu satu sama lain, Davin tak tau saja jika saat ini Rei tengah dibakar api cemburu. 

 

Selain Ayah dan Ibu yang akan menentang hubungan mereka, Rei sendiri akan berbaris di garda terdepan!

 

Jika memang dirinya dan Alya tak berjodoh, ia masih bisa menerima. Dan ikhlas pula jika kelak wanita itu bersanding dengan pria lain, asal tidak dengan Davin!

 

Pikiran Rei terus berkecamuk, tetesan hujan di luar mobil. Membawa kembali ingatan dirinya tentang masa lalu bersama Alya.

 

Rei berkali-kali mengutuk diri, sebab tak bisa memperjuangkan cintanya pada Alya. Pasrah ketika sang Ayah, memintanya untuk bertunangan dengan Mey. Seorang putri dari rekan bisnis keluarga mereka.

 

Dalam diam, Davin melihat ketegangan dari Kakak. Lantas ikut sedih sebab tak mampu membela Rei, ketika terus dipaksa untuk menikahi orang yang sama sekali tak dicinta.

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status