Sejak pertama bertemu, dia memandang seolah aku ini musuh yang harus dibasmi. Ah, andai dia tahu jika aku sama sekali bukan musuhnya. Aku hanya kakaknya. Orang yang ingin dekat dengan lebih baik. Dan ... bukankah sejak awal dia sendiri yang mengatakan bahwa aku ini kakaknya? Seharusnya dengan begitu dia menjadi sadar diri. “Aku tak tahu harus memulai dari mana, Dav! Yang jelas, kalung itu menghubungkan kondisi kita berdua. Ah, lebih tepatnya memberitahukan kondisimu padaku. Kemudian, Mom menjadikannya alat untuk mengawasimu,” tutur Daphne. Alat untuk mengawasiku? Selama ini aku tidak tahu ada alat semacam itu. Paman juga tidak pernah memberitahukannya padaku. Kalau saja sejak awal aku tahu, tentu aku tidak akan menanyakan masalah ini pada Daphne. Aku merasa, jika masalah ini yang membuat sikap Daphne buruk padaku. Bagaimana tidak buruk? Daphne mengatakan alat ini untuk memantauku melaluinya. Itu berarti, di sini Daphne hanya sebagai alat penghubung saja. Jika aku menjadi Daphne pun
“A ... apa yang kau lakukan!?” aku bergerak mundur saat Daphne mendatangi dan menatap dengan tajam. Sesekali, aku melirik ke pintu dan di sana retakan sudah semakin besar. Kalau kami belum pergi, akan terjadi masalah yang lebih besar lagi. Hingga saat ini, aku masih belum mengerti kenapa ada orang yang mengincarku. Aku sama sekali tak merasa memiliki kesalahan yang begitu banyak. Juga, tak memiliki sesuatu yang spesial. Grep! Mataku membola kala Daphne—dengan tubuh mungilnya, memelukku erat. Tak hanya itu, aku dipaksa menunduk dan tiba-tiba ... ada benda kenyal kurasakan di bibirku. Untuk beberapa detik aku seakan hilang dari bumi, tetapi rasa anyir dan aroma manis yang menusuk menyadarkanku. Glek! Glek! Ah, sial! Kenapa aku harus mendengar suara tenggorokanku sendiri? Aku ingin mengatakan pada dunia bahwa aku terpaksa. Sama sekali aku tak ingin merasakan hal ini. “Setelah ini, pegang tanganku erat-erat dan jangan melepaskannya. Mungkin, tak akan ada banyak manusia yang beraktivi
“Tidak ada waktu untuk berdebat. Kita harus segera pergi dari sini!” Tanpa sempat aku mendengar jawaban Daphne, dia menarik tanganku. Sesekali dia menoleh ke belakang. Mungkin untuk memastikan tidak ada yang mengikuti kami. Kalau sudah seperti ini, aku tidak tahu harus bagaimana selain mengikutinya. “Satu lagi! Biasakan untuk memanggilku Lexa, dan namamu Sam,” imbuh Daphne. Aku mengangguk. Tentu saja aku masih mengingat panggilan kami untuk sementara. Napasku memburu kala Daphne menarik tanganku dengan cepat. Di saat seperti ini, aku mengetahui jika perbedaan kekuatan kami begitu signifikan. Kece[atan Daphne tak main-main. Aku tahu jika dia sedang menahan diri, mungkin untuk mengimbangiku. Sebagai kelahiran werewolf, aku memang memiliki kecepatan yang lebih ketimbang manusia. Namun, hal itu bukan sebuah patokan jika lariku teramat cepat. Ada banyak perbedaan kecepatan di antara vampire dan werewolf. Salah satunya ini. Daphne bisa berpindah dalam hitungan detik, sedangkan aku butuh m
“Kita bisa menginap di sini, Dav!” Lagi-lagi, dia berucap riang. Kakiku terasa lemas. Lelah akibat pelarian yang menguras tenaga baru terasa, kala tempat yang ditunjuk Daphne adalah tempat yang kukenal. Penginapa itu adalah penginapan yang aku dan paman datangi. Dan jarak antara penginapan itu dengan tempat yang kami tinggalkan, tidak terlalu jauh. Jangan bilang kalau Daphne buta arah! Kalau iya, aku ingin mencekiknya. “Kau yakin? Bukankah kau tadi mengatakan kita harus memakai nama baru?” Aku menatapnya. Entah karena apa, dia memalingkan muka begitu matanya menatapku. Memangnya ada apa? Mataku tidak mengeluarkan kekuatan untuk membunuh, kan? Ke mana keberanian yang selama ini dia banggakan padaku? “A ... ya! Aku lupa, Sam. Dan ... memang tempat inilah yang akan kita jadikan tempat menginap. Tenang saja. Ini namanya ponsel pintar,” ujarnya sambil menunjukkan kotak yang bercahaya padaku. “Dan ini namanya dompet. Ada
“Ini adalah air mataku,” jawab Daphne. Aku tercengang. Air mata?“Air mata apa yang berwarna merah jambu seperti itu, Daph? Kau jangan mengajakku bergurau!?” tukasku. Daphne itu seirang vampire. Mana ada vampire yang mengeluarkan air mata. Berwarna merah jambu, pula! Menurutku ini sebuah hal yang konyol. “Lagi pula, kau itu tidak menangis, kan?” lanjutku.Untuk seketika, raut wajah Daphne tidak nyaman kulihat. Oh ... apa aku salah bicara? Bukankah apa yang aku katakan itu memang benar adanya? Vampire tidak menangis, dan mereka tidak punya air mata sama sekali. Memangnya aku harus berkata apa lagi?“Kau ini pria yang tak punya perasaan, ya!?” Daphne melempar sebuah bantal padaku. Aku menghindar, dan lagi-lagi menatapku dengan tatapan tajam. Aneh!“Tentu saja aku punya perasaan, Daph! Memang kau pikir untuk apa aku masih menemanimu di
“Daph, apa kita sudah berada jauh dari tempat yang terbakar itu?” tanyaku. Jika menghitung dari waktu dan kecepatan kami, tentu tempatnya sudah bermil-mil jauhnya.“Tentu saja! Kau pikir berapa lama kita pergi dengan kecepatan seperti itu? Tidak mungkin kau tidak merasakannya, kan?” Awalnya Daphne sudah berbaring membelakangiku. Namun, begitu aku bertanya dia kembali terduduk dan menjawab.“Kau mungkin benar, Daph. Tapi aku masih mengingat lokasi ini dengan pasti. Di penginapan ini dan tempat yang kau bakar hanya berjarak lima belas menit. Itu pun kita duduk di dalam alat itu. sedangkan kecepatan lari kita lebih dari kecepatan benda itu.”“Namanya mobil, Dav! Mobil! Kau harus ingat dengan baik.”“Iya, mobil. Dan aku baru menyadari kita tadi hanya berputar-putar sampai pusing, Daph!” Daphne memandangku tanpa berkedip, seolah aku ini baru mela
Kupandangi wajah frustrasi milik Daphne, yang terlihat mengenaskan di mataku. Dia menyedihkan, tetapi aku tidak bisa menghujatnya. Sudah cukup dai terpuruk dan aku tidak boleh menambahinya. Bagaimanapun juga, aku mengerti rasanya. Dia butuh ditemani, dibesarkan hatinya, dan dihibur. Cukup dia yang melakukan hal buruk padaku. Aku, jangan sampai. Daphne mungkin buruk sejak pertemuan pertama kami, tetapi bukan berarti aku harus membalasnya, kan? Yah ... meski aku pernah memiliki keinginan itu. “Kalau saja melihat petunjuk di ponsel pintarku, tentu hal ini tidak akan terjadi, ya? Kita bisa menyewa penginapan yang lebih jauh. Jika begini, rasanya sia-sia aku memberikan darahku untukmu. Sia-sia saja jika akhirnya kita berada di dekat mereka.” Daphne masih saja mengeluh tentang ini. Aku tidak tahu harus menghiburnya dengan apa. Selama ini, aku tidak memiliki kemampuan untuk berdekatan dengan wanita. “Kau jangan diam saja, Dav! Ayo bantu aku!?” Aku mendesah lelah. Aku bertanya, salah. Mela
“Daph, kita bisa melakukan semua hal yang kau katakan. Tapi untuk saat ini, sebaiknya kita tidur terlebih dahulu,” ucapku. Rasa penasaran yang sudah hilang membuat kantukku datang. Apalagi, aku seperti mendapat suntikan semangat, lalu diambil kembali secara paksa begitu saja. Kalau saja dia tahu kelelahanku, dia pasti menghinaku lagi.“Tapi, Dav. Aku masih belum bisa tenang. Kita berada tak jauh dari mereka. Apa sebaiknya kita pergi dan mencari tempat yang baru untuk bersembunyi? Kau tahu, aku banyak mengetahui penginapan di sekitar sini.”Ingin rasanya aku berteriak padanya. Mengumpat dan menghina betapa dia tidak berguna. Namun, tentu itu hanya bisa kutahan dalam hari. Dia tak pantas mendapatkan di situasi seperti sekarang.Daphne mungkin memiliki kekurangan karena sifatnya yang sedikit pelupa. Aku sendiri masih ragu atas apa yang dikatakannya, setelah kami merasa berlari cukup jauh padahal tida