"Ini masih jauh gak sih?" Terdengar suara nafas Tika yang sudah mulai tersengal-sengal kala menaiki satu per satu anak tangga dihadapannya. "Sstttt, jangan terlalu kencang dong suaranya....." Re membalikkan badannya melihat sang kekasih yang sudah begitu kelelahan. "Iyaaa, ini aku nanya sayang, masih jauh gak sih?" Tika menghentikan langkah kakinya, mengusap wajahnya yang telah dipenuhi oleh keringat dengan baju lengan panjangnya. "Sebentar lagi, ayo cepat keburu tim securitynya sadar kalo ini kerjaan kita." Re menuruni beberapa anak tangga dan menarik tangan Tika. Setelah beberapa menit kemudian, mereka berdua sampai tepat di ruangan Tika dengan kondisi yang amat gelap dan hanya bermodalkan senter ponsel mereka. "Ini bakal ada satpam di setiap lantai gak?" Re memastikan kepada Tika. "Harusnya sih ada......." Ucap Tika dengan degupan jantung yang masih cukup kencang dan suara yang tersengal untuk menjawab pertanyaan dari Re. "Haduh, ini kalo kita nyalain senter bakal ketahuan j
"La, lo semua tinggal di rumah gue dulu aja ya." Andrew menatap mata Laila yang kini berada disampingnya. "Separah itu Drew kondisinya?" "Kacau banget suami lo. Beneran di luar rencana kita, dan kita juga gak kepikiran dia bakal senekat itu!" Seru Andrew. "Maksud kamu?" Laila sedikit meninggikan suaranya. "Mulai dari penggelapan uang sampe brankas dibuka. Coba siapa yang kepikiran dia bakal senekat itu?" "Terus semuanya sudah diproses?" "Aku mau nanya pendapat kamu, karna bagaimana pun kamu yang pegang kendali atas perusahaan itu.." "Ya sesuai dengan prosedur hukum saja Drew. Aku juga lagi urus semua surat perceraian dengannya..." Aku mengusap air mata yang menetes di pipinya. "Sejak kapan lo urus?" "Ya sejak di rumah sakit. Gue udah gak sanggup lagi pura-pura dalam permainan ini. Gue gak sanggup Drew...." Ungkapku. "Semua perempuan jika ada di posisi lo saat ini juga gak akan sanggup La. Tapi lo gak mau kuat buat sedikit lagi? Buat lo membuka semua yang terjadi? Buat lo
Keputusanku untuk memilih tinggal bersama orang tua bukan tanpa sebab. Aku hanya ingin melindungi mereka dari serangan yang tidak mungkin terduga untuk saat ini. Ya tanpa sadar saat ini aku sedang berhadapan bukan lagi dengan manusia yang punya hati, namun dengan seorang iblis. Tidak, tapi dua orang iblis yang menyatu untuk pembalasannya kepadaku.. Aku pun tidak tahu apa yang sedang mereka balaskan atau mereka cari dari kehidupanku. Cinta yang dulu begitu besar untuk Re sudah nyaris hancur tergantikan dengan amarah yang amat dalam. Rasa sayangku kepada Tika yang selama ini sudah ku anggap sebagai saudara sudah berganti dengan musuh. Bagaimana bisa waktu dengan cepat mengubah itu semua??Aku akan ikut dalam permainan mereka. Aku bukan pemeran pembantu yang bisa dengan mudah mereka singkirkan. Ku pastikan akulah pemain utama dalam skenario yang sudah mereka rencanakan. Aku tidak akan mudah nyerah untuk tahu semuanya, aku akan berjuang untuk membongkar apa yang mereka inginkan dariku."K
"Kita masuk sekarang aja?" Re bersiap mengenakan penutup wajah yang hanya terlihat mata dan mulutnya saja."Rehan lo awasi cctv disekitar rumah ini ya. Kalo ada yang datang langsung cepat kabarin kami..." Tika memperingatkan."Siap Bosss. Hati-hati ya.." Tika pun mengenakan pakaian tertutup agar wajah dan sidik jarinya tidak bisa dikenali apabila ada pemeriksaan polisi.Renald dan Tika keluar dari mobil dan berjalan pelan mendekati pekarangan rumahku yang benar saja tidak ada aktivitas dari dalam rumah ini."Bawa linggisnya kan?" Tika menegur pelan Re."Iya ini lo gak lihat?" Re menunjukkan genggaman tangannya yang tengah memegang sebuah tongkat besi dengan ukuran sedang dan diujungnya terdapat bidang runcing."Bobol sekarang!" Perintah Tika yang sudah menyentuh pintu utama."Jangan di pintu ini, masuk dari jendela samping aja bisa kan?" Re membuat suatu penawaran."Kenapa gak disini aja sih!" Tika kekeh dengan keinginannya."Gila aja ya lo, kalo ini kita langsung digebukin massa yan
"Kak, kenapaaa?" "Andrew Andrewww............" Aku meringis ketakutan kala melihat Andrew sudah tidak sadarkan diri."Kakak dimana? Ada suara sirine? Ada apa?" Pertanyaan bertubi-tubi ini menghantam fokusku."Kamu ke rumah sakit sekarang juga. Jangan sampai ada yang tahu..." Ucapku pelan.****"Kenapa Andrew bisa seperti ini?????" Tania sontak kaget melihat Andrew terbaring di kamar rumah sakit dengan balutan perban di lengannya."Gue gak apa-apa. Udah ah lo gak usah nangis La..." Senyuman manisnya mengarah kepadaku. Andrew ditengah kondisi sakitnya seperti ini masih bisa berkata baik-baik aja di depanku. Masih bisa ia tersenyum manis dihadapanku. Apakah itu tidak gila? "Jangan bilang gitu. Justru gue merasa sangat bersalah dengan lo Drew. Kenapa sih lo harus bela gue terus, kan lo jadi kayak gini....." Aku masih sesengukan menahan tangisku."Udah gak apa-apa. Yang penting kan sekarang gue sadar. Lo jelek tau kalo nangis gitu..." Lagi-lagi ia jail."Kak, kenapa?" Tania melemparkan
Setelah selesai urusan dengan ayah, aku langsung menghubungi ibu. Mengatakan semua hal yang terjadi, dan untungnya respon beliau tidak begitu panikan terlebih saat ini ia sedang berada di luar negeri. "Udah, kamu tenang aja. Ibu akan pulang sore ini. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan..." Pinta ibu dari sambungan telepon. Aku langsung kembali ke luar menemui adik tiriku yang tidak bisa berkutik. "Tania, kamu mau disini atau pulang?" Memberikan penawaran seperti ini memang bukanlah solusi terbaik. Bagaimanapun ia adalah bagian dari keluarga ini. Adikku meski kami dari ibu yang berbeda. "Andrew gimana ya kak?" "Oh iya, nanti aku coba telefon dia bilang semua yang terjadi barusan. Kamu pulang dulu aja kali ya, supaya besok kita bisa sama-sama mikir langkah apa yang harus kita lakukan..." Tania menyetujui rencanaku. Ia pamit dan bergegaas pulang dengan panggilan taksinya. *** Jam terus berputar, sementara aku masih terus berpikir kejadian hari ini yang semuanya terasa sangat menyi
Setelah selesai urusan dengan ayah, aku langsung menghubungi ibu. Mengatakan semua hal yang terjadi, dan untungnya respon beliau tidak begitu panikan terlebih saat ini ia sedang berada di luar negeri. "Udah, kamu tenang aja. Ibu akan pulang sore ini. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan..." Pinta ibu dari sambungan telepon. Aku langsung kembali ke luar menemui adik tiriku yang tidak bisa berkutik. "Tania, kamu mau disini atau pulang?" Memberikan penawaran seperti ini memang bukanlah solusi terbaik. Bagaimanapun ia adalah bagian dari keluarga ini. Adikku meski kami dari ibu yang berbeda. "Andrew gimana ya kak?" "Oh iya, nanti aku coba telefon dia bilang semua yang terjadi barusan. Kamu pulang dulu aja kali ya, supaya besok kita bisa sama-sama mikir langkah apa yang harus kita lakukan..." Tania menyetujui rencanaku. Ia pamit dan bergegaas pulang dengan panggilan taksinya. *** Jam terus berputar, sementara aku masih terus berpikir kejadian hari ini yang semuanya terasa sangat menyi
"Eh jangan dibuka dulu...." Aku langsung merebut jurnal itu kembali."Ya kalo gak boleh di buka ngapain lo bawa kesini kan?" Ia membela dirinya."Gue mau nanya dulu sih sebelum lo buka jurnal ini. Takutnya pas lo buka, lo kaget sendiri..." Jelasku."Apa yang mau lo tanyain?" Ia pun terlihat juga penasaran."Lo punya saudara lagi? Atau...." "Apa sih La, pertanyaan itu mah tanpa perlu jawaban dari gue juga kan lo udah tau gue anak tunggal, pewaris tunggal..." Ia masih belum paham arah obrolanku kemana."Iya sih gue kan cuma memastikan aja. Soalnya ini disini gue ngelihat foto bokap lo sama dua orang anak laki-laki....." "Foto apaan emangnya? Sini gue lihat..." Ia mengadahkan tangannya bersiap menyambut pemberian dariku."Sebentar gue buka dulu..." Aku membuka lembar buku ini satu per satu halaman."Ini..." Aku menyodorkan seutas foto yang telah ditempel di dalamnya."Hmmmm, ini fotoku kecil dan papa. Siapa dia?" Andrew pun bertanya tentang sosok pria yang ada disampingnya ini."Bukan