Pria bersepatu dan Hendrawan sangat kesal karena tidak menemukan kalung liontin di sekolah.
“Bocah ingusan itu telah menipu kita,” kata Hendrawan.
“Kau tidak perlu khawatir, Hendra. Meskipun kalungnya tidak ditemukan, kasus ini akan tertutup rapi. Tidak ada saksi hidup yang tersisa, anak Chandra sekarang pasti sudah ada di perut seekor anjing ... Tugasmu hanya mengurus di kantor polisi.” sahut pria bersepatu.
Mendengarnya, perlahan senyum mengambang di bibir Hendrawan, “Benar, kita gak perlu repot-repot mencarinya. Sisanya serahkan padaku. Aku seorang polisi, sangat mudah bagiku menutup kasus ini.”
Sementara itu,
Aldan mengusap mulutnya yang dipenuhi darah dengan tetap menatap nanar pada seekor Anjing yang berhasil dibunuhnya. Perlahan kedua tangannya bergerak di perut binatang itu.
“yaakkkkkkkk ...” Aldan berperilaku seperti seekor binatang buas. Dia mencakar dan mengoyak hingga akhirnya berhasil membelah perut Anjing.
Aldan mengeluarkan isi perut Anjing dan menatapnya dengan mata penuh dendam. Matanya penuh amarah yang membuncah, “Seperti ini! Kubuat isi perut kalian keluar berhamburan.”
“Papa, Mama, tidurlah dengan tenang. Aldan janji akan membunuh mereka. Mereka harus mati dengan cara mengenaskan!” desis Aldan dengan mata penuh dendam. “Itu janjiku sebagai seorang anak!”
“Akkkhhhhhh ...” Aldan menjerit sekuat-kuatnya, seperti mengeluarkan kesedihan dalam hatinya. Dia membayangkan seekor anjing adalah para penjahat yang membunuh kedua orang tuanya. Dia mencabik-cabik bintang itu dengan penuh amarah yang begitu besar. “Tunggu pembalasanku. Aku pasti akan datang membunuh kalian!”
Setelah puas melampiaskan amarahnya pada seekor Anjing, Aldan berdiri dengan susah payah. Dia berjalan tertatih-tatih menahan sakit yang luar biasa. Beruntung pintu kandang tidak digembok, hanya dikunci dengan pengait biasa.
Air mata Aldan jatuh menetes membayangkan kedua orang tuanya, “Papa! Mama!”“Aww sakit,” jerit Aldan dengan suara yang tak begitu nyaring. Meskipun berhasil melumpuhkan Si Anjing, dia harus tetap waspada karena bisa jadi di rumah itu masih ada penjahat lain yang menjaga. Dia baru sadar barusan sudah berbuat kesalahan, teriakannya bisa saja mengundang penjahat menangkapnya kembali.
“Aku gak boleh tertangkap lagi.” Aldan mengambil sebuah jaket dewasa untuk menutupi tubuhnya yang penuh luka cakaran dan gigitan Anjing, pakaiannya juga terkoyak tak terbentuk.
“Aku harus segera pergi sebelum mereka datang.” Bermandikan darah dengan luka di sekujur tubuhnya, Aldan berusaha berjalan mengendap-ngendap keluar dari rumah itu. Tentu saja kekuatan untuk terus tetap hidup, bukan tak lain karena ingin balas dendam atas kematian kedua orang tuanya.
Tidak ada penjagaan satu orang pun di rumah itu, memudahkan Aldan melarikan diri. Sebelum benar-benar pergi, dia kembali menatap tempat yang digunakan untuk membunuhnya.
“Aku akan datang! Kalian harus menerima penderitaan yang aku alami. Kalian harus membayar semua yang telah kalian lakukan padaku dan Papa Mamaku. Ya suatu saat kalian harus merasakan sakit dan penderitaan ini,” gumam Aldan sembari mengepalkan tangannya di udara.
Aldan melanjutkan perjalanannya kembali. Dia menghindar dari orang-orang yang melintas karena takut mereka bagian dari anggota si penjahat, “Sementara waktu, aku harus pergi dari kota Jakarta.”
“Papa! Mama! Maafkan Aldan tidak bisa menemani kalian ke tempat peristirahatan terakhir kalian.” Aldan tak bisa menahan tangisnya. Dia ingin datang dan memakamkan kedua orang tuanya, tetapi itu tidak mungkin. Jika dia nekat, maka para penjahat akan kembali menangkapnya.
Aldan tak punya pilihan lain. Saat ini tidak ada orang yang bisa dipercaya, bahkan seorang polisi ikut terlibat dalam pembunuhan kedua orang tuanya. Awalnya dia ingin pergi ke rumahnya karena pasti Kakek Neneknya sudah tiba disana mencarinya, tetapi dia urungkan niatnya karena yakin para penjahat berada di sekeliling rumahnya.
Di saat bersamaan, ada sebuah truk barang yang terparkir di pinggir jalan. Aldan memanjat badan truk dengan susah payah sebelum si supir datang, “Aku harus selamat. Aku tidak tau truk ini kemana, yang penting aku menjauh dari Kota Jakarta.”
Di dalam truk, Aldan terbaring menatap langit. Lalu dia mengambil kartu nama yang masih ada di sakunya.
“Hendrawan? Kepolisan daerah Jakarta Barat? Aku akan menemui buat menuntut keadilan,” gumam Aldan menatap nanar pada kartu nama yang merupakan satu-satunya petunjuk untuk balas dendam suatu saat nanti.
***
Itu sudah 10 tahun berlalu. Kini Aldan telah kembali!“Lalu apa yang terjadi selanjutnya, Bos?” tanya Faizal sembari menyeka air matanya setelah mendengar kisah pilu Aldan.
“Truck barang itu membawaku ke Bandung. Aku tinggal di panti asuhan. Tapi baru sehari tinggal di sana, ada berita di tv memberitakan aku yang telah membunuh kedua orang tuaku. Mereka sangat kejam sudah membalikkan fakta. Hendrawan adalah aktor utamanya. Dia sangat piawai berakting. Berkat seragam polisi yang melekat di tubuhnya, dia berhasil menipu seluruh dunia, termasuk sanak familiku, ” jawab Aldan dengan tatapan mata berkilat iblis membayangkan wajah para pelaku. “Aku menjadi buronan, tapi syukur ada seorang wanita datang ke panti asuhan dan membawaku pergi dari Indonesia.”
Faiz yang mendengarnya meneteskan air mata dengan wajah memerah. Sebelum ini, dia tidak pernah semarah ini. Dari tatapannya, dia sudah tidak sabar ingin menghabisi para pelaku yang sudah merenggut kebahagiaan Aldan. Baginya, Aldan bukan hanya sekedar Bos. Pimpinan pasukan white master itu seperti saudara kandung. Bahkan Faiz rela mempertaruhkan nyawanya demi Aldan
“Izinkan aku menghabisi mereka, Bos.” Faiz mengepalkan tangan kuat-kuat. Jantungnya berdetak kencang tak beraturan dengan keringat dingin membasahi dahi. Dia sudah gatal, ingin segera mencari para pembunuh itu.
Aura pembunuh Aldan lebih mengerikan, seperti api yang akan membakar habis mangsanya, “Aku kembali. Aku kembali untuk menepati janjiku. Kubuat mereka mati mengenaskan. Itu janjiku! Janji seorang anak yang menyaksikan nyawa kedua orang tuanya direnggut paksa.”
Pagi hari, nampak seorang pria tampan nan gagah berjalan ke arah gedung tinggi pencakar langit. Dia Aldan Pratama Chandra Putra, tetapi di perusahaan dia mengganti namanya menjadi Putra Saputra. Ketampanannya nyaris sempurna. Dengan tinggi 175 cm dan kulit putih, siapapun yang melihatnya pasti jatuh cinta pada pandangan pertama. Hari ini adalah hari pertama kerja Aldan di perusahaan cosmo indofood. Sekarang misi balas dendamnya dimulai. Dia berhasil menjadi asisten direktur keuangan di perusahaan cosmo indofood, jabatan yang sama seperti mendiang Papanya. Tentu ini semua berkat orang dalam yang berjasa memasukkan Aldan ke perusahaan, tetapi sebenarnya dia orang yang sangat cerdas dan pantas menduduki jabatan yang dia inginkan. “Saya harap anda bekerja dengan baik. Satu lagi, anda harus cepat beradaptasi dengan lingkungan perusahaan,” kata Ridwan , direktur keuangan. “Baik, Pak. Saya sangat senang bisa menjadi bagian perusahaan terbesar yang ada di Indonesia. Saya berjanji akan beke
Jam istirahat kerja, Aldan dan Rangga pergi bersama ke restoran yang ada di belakang perusahaan. “Kamu sudah berapa tahun kerja di sini?” tanya Aldan sambil berjalan di sisi kanan Rangga. “Sudah satu tahun ... Ow ya aku yakin kamu banyak prestasinya, baru masuk kerja langsung ditempatkan di posisi asisten divisi keuangan. Satu tingkat di atasku,” jawab Rangga setengah memberikan pujian pada Aldan. “Aku hanya orang biasa. Aku hanya beruntung saja.” Di tengah perjalanan dari arah berlawanan ada seorang pria tua berkacamata berjalan sambil fokus memainkan ponselnya, sehingga tanpa sengaja menabrak Aldan yang sudah mencoba menghindar. “Ah sialan, kalau jalan lihat-lihat. Pakai matamu!” berang pria tua itu dengan nada yang begitu tinggi. “Maaf, pak. Tapi anda yang salah. Anda fokus bermain hp saat berjalan,” protes Aldan. PLAK! Aldan memegang pipinya yang mendapat tamparan dari pria tua berkacamata. “Lancang sekali! Kau tau siapa aku? Hah?!” sergah pria tua berkacamata dengan sor
Lukman mengangkat dagu dan menatap Aldan dengan tatapan menyala-nyala, “Kau melawanku? Kau tidak tau siapa aku, hah?! Jika Lukman sudah marah, orang itu tidak akan selamat dariku!” “Lepaskan tanganku, bodoh!” kelakar Lukman penuh emosi melihat Aldan masih mencengkram tangannya di udara.Sementara, Rangga dan beberapa karyawan lainnya dibuat semakin tak percaya atas sikap berani pria tampan itu.Aldan tersenyum miring sambil melepaskan tangan Lukman, dan seketika itu pula pria tua itu menarik kerah baju Aldan dengan tatapan mata berkilat iblis, “Kau bukan hanya dipecat. Bersiap-siaplah menerima kemarahan Lukman Wafa!” ancamnya, lalu mendorong kasar tubuh Aldan.Sementara Rangga hanya diam, saat ini dia tidak bisa berbuat sesuatu ketika seorang Lukman Wafa sudah marah. Siapa saja yang menghentikan kemarahan sang sekeretaris CEO, maka orang itu juga akan terkena imbasnya.Namun, Aldan terlihat santai. Tidak ada ketakutan sedikitpun, bahkan senyuman tetap mengalir berhias di wajahnya, “
Aldan tersenyum dan melepaskan jabatan tangannya, “Emm apa Bapak mau menemani saya makan?” “Tidak, terima kasih,” jawab Lukman mengulas senyum paksa, meskipun hatinya saat ini tengah panas dan tidak sabar ingin memberi pelajaran pada Aldan. “Hemm baiklah, saya rasa permasalahan sudah selesai. Saya harap di kemudian hari tidak terulang lagi,” sahut Dhea tersenyum lega. Aldan tersenyum, “Iya Bu ... Oh ya, izinkan saya pergi duluan, Bu.” “Ah, iya iya, silahkan,” jawab Dhea, lalu Aldan dan Rangga pun pergi. Berjalan bersisian dengan Aldan, terlihat jelas ada kecemasan berlebihan pada diri Rangga. “Putra, aku tau kamu tidak bersalah. Tapi kamu gak tau siapa pak Lukman. Dia gak akan tinggal diam. Dia pasti berusaha mencari cara memecatmu, begitupun denganku. Mungkin aku juga akan dipecat,” tutur Rangga menghembus napas dengan raut wajah kecewa. “sungguh aku benar-benar gak percaya dengan sikapmu barusan. Sebagai karyawan dibawahnya pak Lukman, seharusnya kamu diam.” “Hem jadi dia te
“Serius, aku benar-benar serius. Kamu wanita paling sempurna yang aku temui. Jarang sekali ada wanita cantik yang pintar, murah senyum, pokoknya kamu perfect pakek banget,” goda Aldan yang semakin membuat Verra melayang-layang. “aku penasaran tentang kehidupanmu. Kamu berasal darimana, bagaimana keseharianmu ... aku yakin orang tuamu sangat hebat, bisa mempunyai anak secantik dan sepintar kamu.”Pujian maut yang dilancarkan Aldan berhasil membuat hati Anggun meleleh. Sebenarnya sudah banyak lelaki yang memberikan kata-kata puitis padanya, tetapi entah kenapa wanita cantik itu merasa berbunga-bunga meskipun baru mengenal Aldan. Sepertinya dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.“Telingaku membesar nih,” canda Verra sambil menatap jauh ke dalam mata bermanik gelap milik Aldan yang juga tengah menatapnya tanpa kedip. Tatapan wanita cantik itu berubah dari panas ke dingin dalam hitungan detik kala mencoba melepaskan dirinya dari perangkap ketampanan yang terasa mematikan kewarasanny
Mereka menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor. Sebelum masuk ke ruangan divisi keuangan, Rangga menggoda teman barunya itu, “Ehemmm ada yang lagi kasmaran nih.”“Gimana menurutmu? Apa Verra wanita idaman lelaki?” tanya Aldan yang ingin mencari informasi tambahan mengenai Verra. “Wah pepet terus, bro. Dia bukan hanya cantik, tapi juga baikkkk sekali orangnya. Dia orangnya friendly, mudah bergaul dengan orang lain,” jelas Rangga sambil mengamati penampilan Aldan yang berjalan bersisian dengannya.“Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Aldan heran.“Aku rasa Bu Verra suka sama kamu deh. Pas di restoran, aku perhatiin tatapan matanya ada cinta. Jadi kamu punya modal buat ngedapetin Bu Verra.”“Tebakanmu bisa saja salah.”“Aku yakin bro, orang yang jatuh cinta itu tergambar jelas dari tatapan mata dan perilakunya. Tadi aku lihat dia curi-curi pandang melulu. Padahal banyak pria yang mengincarnya loh, tapi gak ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya.”“Emmm kamu se
Tatapan itu justru membuat Verra terpesona pada ketampanan Aldan yang nyaris sempurna. Bahkan sepintas dia membayangkan sedang berciuman dengan pria tampan di sampingnya itu.“Em apa kita tetap berada di mobil?” tanya Aldan bercanda, tetapi wanita cantik itu hanya bengong menatap lurus padanya sehingga dia harus mengulang pertanyaan. “Em apa kita tetap berada di mobil, Verra?”Verra terkesiap, dia baru sadar terlalu fokus menatap wajah tampan Aldan hingga seolah-olah terhipnotis.“Iya, ayo turun,” ucap Verra menoleh ke arah lain dengan wajah memerah, ketampanan Aldan sudah mematikan kewarasannya.Aldan mengikuti langkah Verra dari belakang. Pandangan matanya bergerak mengamati sekitar rumah Hendrawan. Tentu saja ini bagian rencana, mengetahui selak beluk kediaman musuhnya sangat berguna saat nanti merencanakan sesuatu untuk balas dendam.“Papa, Mama ... Verra pulang,” panggil wanita itu ketika sampai di ruang tamu yang cukup luas. Lalu dia menoleh ke belakang, “Duduk dulu, ya. Aku mau
“Pasti berat hidup nak Putra tanpa kehadiran sosok orang tua ... Tapi Om yakin kedua orang tua nak Putra sekarang tersenyum di atas sana melihat kesuksesan anaknya,” hibur Hendrawan sambil sesekali mendongak ke atas.Aldan hanya merespon dengan senyuman disertai anggukan, tetapi dalam hatinya membatin, ‘Kau tidak ingin bertanya siapa nama Papa dan Mamaku? Nama Papa dan Mamaku, Chandra dan Yuyun Wahyuni. Ya, Hendrawan. Kau terlibat dalam pembunuhan Papa Mamaku. Dan kau tau siapa aku? Aku anak mereka yang juga hampir kau bunuh. Tapi Tuhan menyelamatkanku. Sekarang gantian, kau yang akan kubunuh.’“Nak Putra?” Hendrawan melambaikan tangan pada Aldan yang tengah tersenyum menatapnya begitu lama.“Maaf, Om. Aku membayangkan Om adalah Papaku.” Aldan berbohong untuk mendapatkan kasih sayang Hendrawan. Semakin dekat dengan musuh, maka balas dendamnya pasti jauh lebih mudah.“Serius? Om merasa tersanjung sekali. Kalau begitu mulai sekarang nak Putra boleh memanggil Om dengan sebutan Papa,” usu