Istana Baskara, Raja Abra menyingkirkan sementara beberapa abdi dalem serta pengikut mendiang Raja Arkha dengan dalih tugas mengunjungi perbatasan juga kerajaan lain yang pernah ditaklukkan Kerajaan Baskara. Dia mengalihkan perhatian mereka bukan tanpa alasan. Abra sendiri sudah mulai untuk bergerak. Mengumpulkan antek-antek juga memberikan undangan pada kerajaan yang menjadi sekutu yang mendukung dirinya. "Baiklah, kita juga harus segera bergerak Ki Kastara, aku tidak mungkin menunggu lebih lama," kata Abra saat dirinya berjalan di taman Istana Permaisuri. "Ini sungguh merepotkan," katanya lagi melihat Istana megah itu. "Saya rasa mengembalikan Permaisuri Rengganis adalah jalan terbaik Gusti Prabu," kata Ki Kastara. "Kita bisa membunuhnya secara tidak terlihat, atau meracuni dirinya agar tidak bisa hamil juga tidak buruk," saran Ki Kastara. "Kau benar Ki," ujar Abra terbahak. "Kita cari Rengganis sampai dapat, kemudian kita buat dia menjadi boneka yang hidup leb
Rengganis menatap ke langit-langit gua, nampak bebatuan terbentuk tidak teratur, damar (lampu minyak tanah) menyala temaram. Beberapa kali Rengganis mengubah posisi tidur. Bayangan percakapan para ksatria berputar dalam pikiran. Satu hal yang masih terngiang bahwasanya kekuatan bela diri pun akan lebih sempurna jika mampu menguasai ajian untuk melindungi diri. Rengganis pernah mendengar akan namanya ajian pengasihan, juga ilmu kekebalan tubuh dan lain sebagainya. Namun, semua hal tersebut dia anggap angin lalu. Dulu dia tidak merasa minat saat mendengar percakapan para dayang dan ksatria penjaga Istana Permaisuri. "Aku pun ingin belajar beberapa ilmu kanuragan dan juga ajian untuk menjadi lebih kuat," keluh Rengganis. Lelah dalam berpikir, mata mulai sayu terbawa mimpi bersamaan alunan musik gamepan yang terdengar tidak tahu batas dan waktu. Rengganis kembali bermimpi aneh berjumpa Nyi Gendeng Sukmo. Dalam mimpinya Rengganis diperlihatkan bagaimana Nyi Gend
Sayup angin dingin menerpa, menerbangkan rambut panjang Rengganis yang terurai. Dia memeluk tubuh sendiri yang mulai menggigil. Dilihat sekali lagi sang rembulan samar menyinari di balik pepohonan yang rimbun. Rengganis kembali menatap wanita ayu yang sedang mandi tengah malam itu. "Apa kau tidak merasakan kedinginan berendam di sungai tengah malam, Nyi?" teriak Rengganis. Dia masih mencoba menyelidiki niatan Nyi Gendeng Sukmo. Ingin dia langsung bertanya mengapa wanita tersebut mengulurkan tangan untuk dirinya. Bukankah segala hal ada timbal balik? Itu pula yang Rengganis pikirkan. Tidak akan ada pemberian secara cuma-cuma, bukan. Dia melangkahkan kaki menapak pada bebatuan satu per satu untuk mendekati Nyi Gendeng Sukmo yang kini tepat berada di bawah air terjun. Tatapan awas menyelidik ke segala penjuru. Takut jika ada binatang berbahaya merayap pada tubuhnya. Nyi Gendeng Sukmo terkekeh, "Aku sedang melatih tubuh ini," kata Nyi Gendeng. Giliran Rengganis t
Nyi Gendeng Sukmo duduk berdampingan bersama Rengganis menghangatkan tubuh pada api unggun. Tatapan Rengganis masih dingin penuh selidik, tetapi tidak ada lagi ketenggangan dia lebih santai dari pertemuan dengan wanita demit tersebut. Bayangan wujud ular itu perlahan menghilang, yang Rengganis pikir wanita di sampingnya bukan manusia, mungkin bisa mengubah diri dengan bentuk apa pun yang dia suka dan dia mau. Berbeda dengan Nyi Gendeng Sukmo yang bisa lebih menguasai diri, menjerat seorang Rengganis bisa dilakukan dengan kelembutan. “Kau tidak ingin mempelajari ajian dan juga beberapa jurus Rengganis?” tanya Nyi Gendeng Sukmo. Wanita tersebut menutup mata, kemudian merentangkan tangan dan melompat ke udara, berpijak tanpa suara di tanah lalu melompat lagi. “Ini jurus meringankan tubuh, kau tahu,” kekehnya. ‘Jangan tertipu oleh wanita demit itu Rengganis, jurus meringankan tubuh para ksatria juga punya. Kau bisa meminta mereka untuk membantu mempelajari,’ berontak Renggani
Bak wayang yang dilakonkan oleh seorang dalang, tubuh Rengganis bergerak mengikuti Nyi Gendeng Sukmo yang juga menggerakkan tubuh menari, dalam lantunan musik gending jawa yang entah Rengganis tidak tahu dari mana berasal. Rengganis menggerutu dalam hati. Merasa bahaya akan apa yang terjadi. Nyi Gendeng Sukmo mengangkat tangan kanan ke atas. Tubuh Rengganis pun ikut melakukan hal sama, seperti menghempaskan sesuatu ke udara. Rengganis juga melakukan hal sama, tangan terulur ke atas, begitu lentik memainkan ujung selendang tersebut padahal sebelumnya dia tidak pernah belajar menari. Dia menghempaskan selendang tersebut mengikuti gerakan Nyi gendeng dan ….. Blar! Percikan api kecil membumbung ke udara, Rengganis tersentak dia ingin menghindar, tetapi tidak bisa. Tubuhnya masih menari seperti yang dilakukan Nyi Gendeng Sukmo. Rengganis menangis dalam diam, mulut terkunci rapat. Dia ketakutan bukan main saat beberapa kali saat mengibaskan tangan lalu muncul percikan api. Nyi Gendeng
Bersekutu dengan iblis pun akan Rengganis lakukan, dadanya kembang kempis tersulut emosi. Dia membutuhkan kekuatan besar untuk merebut kembali tahta kerajaan juga memberi balasan setimpal atas pengkhianatan yang pernah terjadi. "Balasan setimpal dari pengkhianat adalah kemtian," gerutu Rengganis menahan amarah dan kekecewaan. “Aku terima tawaranmu, Nyi,” jawab Rengganis setelah berpikir lama, Dendam membelenggu Rengganis, ditambah rongrongan yang dilakukan Nyi Gendeng Sukmo, semakin memanaskan suasana hati. Rengganis menatap Nyi Gendeng Sukmo penuh keyakinan. ‘Aku yakin dia tidak akan membunuhku jika dia pun memiliki tujuan lain,’ bisik Rengganis. Nyi Gendeng Sukmo tersenyum menyeringai, udara segar menyapa wanita demit tersebut. tidak ada hal paling membuat dia bahagia selain hari ini. “Keputusan bijak,” ujar Nyi Gendeng Sukmo. Wanita itu memeluk tubuh Rengganis, ah kehangatan tubuh manusia itu memang sangat nyaman. Tubuh sempurna bagi dirinya kelak. Di luar Curug Si
Lelaki itu kemudian terkekeh. Dia menatap punggung wanita di hadapannya, rambut panjang itu terurai, lurus. Ah, ingin dia mengelus lalu mengecup rambut tersebut. Namun, mengingat betapa mengerikan wanita itu jika marah. Dia mengurungkan niat, dia tidak terlalu bodoh untuk hal menjijikkan yang bisa membuat diri sendiri hancur. Bisa-bisa nyawa melayang sia-sia, bukan dikenang sebagai pahlawan negara malah akan muncul rumor kesatria bayangan mati dalam keadaan mesum. “Hu, aku takut Sajani,” kelakar lelaki itu saat sang wanita membalikkan badan. Yah, ksatria bayangan itu adalah Sajani, Ksatria pertama yang ada pernah bersumpah setia kepada mendiang Ratu Leena. Dalam sumpah di masa lalu, Sajani berjanji akan menjaga dan melindungi keturunan Raja dan Ratu Leena yang tidak lain adalah penerus satu-satunya Permaisuri Rengganis. “Kau sudah pulang dari tadi?” Sajani bertanya seraya melangkah kemudian duduk di sudut ranjang dengan kaki bersila. “Apa kata Kayana dan senapati Khan
Madhavi mengekor anak buahnya untuk keluar rumah, lalu berjalan sebentar ke bangunan di belakang, pintu terbuka. Dia menginjak tiga kali bagian ujung ruangan, lantai kayu yang dipijak bergetar lalu muncul lubang terowongan. Madhavi masuk ke dalam menuruni anak tangga bersama anak buahnya yang membawa lampu minyak untuk menerangi ruang bawah tanah nan gelap. Tidak menunggu waktu lama, Ki Kastara pun menyusul, dia mendekati Madhavi yang sedang menikmati arak dari gelas batok kelapa. Madhavi melirik sebentar ke arah lelaki tua itu lalu melanjutkan menyesap apa yang sedang dinikmati. “Maaf keponakanku tersayang membuatmu menunggu,” kata Ki Kastara. Madhavi berdecih, “Paman, kau sangat berani membawa wanita itu pulang ke rumah, kau tidak takut Bibi akan memergoki perbuatan mesummu dengan lacur itu, hem?” tanya wanita itu menelengkan kepala seraya meletakkan kembali gelas pada meja. “Bibi tersayangmu sedang mengunjungi orang tuanya,” jawab Ki Kastara. Madhavi