Insiden berdarah yang terjadi di objek vital membawa dampak yang cukup besar bukan hanya kenyamanan karyawan tapi juga mengusik jajaran management. Pihak management memutuskan untuk melakukan evaluasi ulang untuk setiap pejabat setingkat pemimpin bagian.Wulan melakukan bunuh diri tanpa sebab, wanita single itu meregang nyawa dengan dugaan stress pekerjaan. Raksa tidak mempercayai begitu saja, visi nya memperlihatkan Wulan berada dalam posisi trance. Ada entitas lain yang mengontrol Wulan untuk melakukan hal konyol.Satu lompatan tinggi sebelum menghujam ke tanah menjadi bahan pertimbangan Raksa untuk menyimpulkan jika Wulan meninggal dalam kondisi tak sadar sepenuhnya. Tapi dalam hukum sesuatu yang tak bisa dibuktikan kebenarannya akan diabaikan.Meski dirinya memiliki kemampuan tak biasa tapi Raksa tak bisa menggunakannya sebagai alat bukti. Dimata hukum semua harus jelas dan bukan abu-abu.“Bisakah berita ini tidak didramatisir?” Salah satu penanggung jawab bernama Dewa bertanya.“
Alan gelisah dalam tidur, bayangan Aluna terus mengganggu pikiran bawah sadarnya. Aluna, wanita yang dicintainya sebelum bertemu dengan Amelia dan Feni.Cinta monyet Alan, jatuh pada gadis cantik nan imut yang sering menjadi pengisi live music di salah satu cafe favorit Alan. Suaranya yang bening dan jernih membuat Alan jatuh hati pada pandangan pertama. Ditunjang wajah cantik dan tubuh ideal, Aluna atau yang dikenal dengan nama panggung Alicia itu menjelma menjadi bidadari di hati Alan.Alan mendekati Aluna dan memberanikan diri berkenalan hingga bertukar nomor ponsel, saat itulah ia tahu jika Aluna adalah adik kelas Alan. Witing tresno jalaran Soko kulino, itulah yang terjadi pada Aluna dan Alan. Hampir tiap malam Jumat dan Senin malam, Alan selalu datang demi mendengarkan suara merdu Aluna.Dari iseng mengantarkan pulang berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya. Alan dan Aluna pun menjalin hubungan dekat layaknya kekasih. Ia rela melakukan apapun demi Aluna. Dunia Alan berubah
“Dia mengejar kita, Fen!”“Stop it Vi! Jangan lakukan ini padaku, aku sudah cukup pusing dengan pekerjaanku. Jadi tolong jangan bicara hal ini lagi!” Feni menggertak Vivian yang kini menangis.“Amelia tewas di mobilnya dan aku melihatnya sendiri, lalu Ronald dan apa kau tahu jika Wulan juga mati pagi ini!”Feni terdiam, ia mulai terpengaruh. “Pulanglah, kau kelelahan dan tolong jangan mati Vi! Setidaknya untuk saat ini!”Vivian hendak menjawab tapi Feni sudah menutup panggilan ia menggenggam erat ponselnya. Kelebatan bayangan peristiwa sebelas tahun lalu membuat Feni ketakutan.“Itu tidak mungkin terjadi! Tidak mungkin!”“Dia tidak mungkin kembali ke dunia lagi, dia sudah mati! Dia mati!” Pesan masuk diterima Feni. [Apa kau takut? Sebaiknya begitu! Serahkan dirimu pada polisi sebelum kau menjadi korban selanjutnya.][Siapa ini? Apa maksudmu?!][Jangan berpura-pura, aku tahu kau ketakutan saat ini bukan? Dasar jalang, seharusnya kau malu pada dirimu sendiri. Kau tak layak disebut manu
Raksa dalam posisi yang sangat lelah saat ia tiba di rumahnya. Harapan menghabiskan waktu sebelum Airin kembali ke kotanya pupus sudah. Waktunya habis tersita dengan kasus bunuh diri terbaru. Rasanya ingin mengumpat dan memaki pada pekerjaan yang menyita waktu. Jika dulu ia bersikap tak peduli dengan waktu dan memilih menghabiskan malam di kantor dengan setumpuk kasus, kini kehadiran Airin membuatnya bersemangat untuk kembali ke rumah. Raksa ingin menghabiskan waktu dengan wanita yang dicintainya.Membayangkan memeluk tubuh hangat Airin, rasanya cukup menjadi pengobat lelah Raksa. Ia mematikan mesin mobil dan memastikan semua terkunci sebelum masuk ke dalam rumah. Daerah tempat tinggal Raksa memang sedang marak terjadi pencurian dan perusakan kendaraan. Pekerjaan rumah sepele bagi polisi jika dibandingkan dengan kasus pembunuhan.Raksa berjalan perlahan agar tidak membangunkan Airin, tapi ia kecewa saat mendapati Airin tidak ada di dalam kamar. Detektif muda itu penasaran dan mencari
Raksa menunggu Airin dalam gelap. Ia memperhatikan wajah berseri Airin yang baginya kini hanya sebuah topeng kepalsuan.“Sayang, apa kamu sudah dirumah?” Suara Airin memanggil Raksa sambil melepas sepatu, tidak ada jawaban dari Raksa.“Sial … kenapa gelap sekali,” gumam Airin berusaha meraba, mencari saklar lampu.Tangan kekar Raksa merengkuhnya dari belakang, membuat Airin menjerit. “Hei, sweet heart darimana malam-malam begini?” Raksa berbisik menggigit kecil cuping telinga Airin membuat dokter itu merinding tak karuan.“Kau mengagetkanku sayang, aku pergi menemui teman.”“Teman? Aku tak ingat kau memiliki teman di kota ini?” Raksa bertanya masih dengan serangan kecupan di leher jenjang Airin.“Sejujurnya aku punya, hanya saja aku belum bercerita padamu. Dia tahu aku dikota ini dan berhubung aku besok akan pulang jadi kami memutuskan untuk bertemu. Apa itu masalah untukmu.”“Ehm, sedikit. Aku tak suka kau bertemu di malam hari begini, saat aku pergi terutama. Kau tahu kan banyak sek
Airin terbangun setelah mencium aroma wangi butter dari dapur. Ia mengenakan kembali bra dan celananya, menutupi dengan kaos milik Raksa yang kebesaran. “Pagi sayang … apa yang kau masak, baunya enak sekali.” Airin memeluk Raksa dari belakang, melongok apa yang sedang dilakukan Raksa dari balik punggungnya.“Sarapan sederhana, tumis ayam dengan tambahan saos tiram. Aku menemukannya di resep online.” Raksa menjawab tak lupa dengan sedikit senyum kepalsuan.“Menu sederhana? Ini tidak sederhana untuk sarapan.” Airin memperhatikan kantung mata yang menghiasi wajah Raksa. “Tidak bisa tidur lagi?”“Hhm,”“Apa kau meminum obatmu?”“Ya, tapi sepertinya dosis nya tidak sesuai denganku. Nyatanya aku belum bisa tertidur semalam.”Faktanya, Raksa tidak meminum obat. Kenyataan bahwa Airin tengah mencuranginya membuat detektif muda itu membuang jauh obat resep Airin. Ia bahkan berencana mengirim sampel obatnya ke bagian forensik pagi ini.“Benarkah?” Airin membuka laci tempat raksa menyimpan obatn
Raksa didampingi Jack, duduk berhadapan dengan seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan. Raut wajah tegang jelas terlihat dari mata yang tak mau menatap Raksa dan Jack. Ia gelisah dan terus melihat ke arah kaca. Ia selalu bungkam dan menggeleng jika ditanya. Kesabaran Raksa hampir habis dibuatnya.“Apa ada sesuatu dibalik sana?” Raksa mengikuti arah pandang lelaki bernama Anwar itu.Anwar menggeleng cepat, Raksa yang kesal akhirnya menunjukkan selembar foto pada Anwar, foto Airin.“Kamu kenal dia?” Kening lelaki berkulit bersih dan rambut jabrik itu berkerut. “Ya, ini wanita yang memberiku uang!” akhirnya ia membuka suara, itu melegakan.“Apa kalian saling kenal sebelum ini?” tanya Raksa lagi, tatapannya dingin tanpa senyuman sedikit pun.“Itu, ehm … beberapa hari sebelum hari itu, wanita ini datang menemui ku. Dia bertanya bagaimana cara mematikan mesin mobil agar terlihat seperti sabotase.”“Kau bertemu dengan dia sebelumnya? Bagaimana bisa?”Anwar bingung menjawab ia tergagap, ka
Raksa berdiam diri dalam ruangannya dengan mata terpejam. Ia perlu berkonsentrasi sejenak sebelum memutuskan apa yang harus ia lakukan.Tim penyelidik sudah terbagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing memiliki tugas berbeda. Raksa sendiri masih memainkan perannya sebagai pemain watak untuk menjebak Airin dan menemukan siapa yang membantu dokter itu.Jari raksa mengetuk ngetuk konstan di atas meja selama beberapa menit sebelum akhirnya berhenti. Ia membuka mata lalu mengambil file Amelia. “Keterlibatan Airin mungkin tujuh puluh lima persen bisa dibuktikan. Tapi apa kau bisa memberiku sesuatu Amelia?”Raksa menatap satu persatu foto Amelia, korban pertama yang menghebohkan publik. Foto sebelum dan sesudah Amelia diotopsi berjajar, mata elang Raksa memperhatikan detail luka yang tertinggal di tubuh malang Amelia.Dia, ada disana!Suara misterius itu kembali terdengar, menegakkan bulu tengkuk Raksa tapi sekaligus membuatnya semakin penasaran. Kalung Cakra yang dikenakan Raksa me