Bau darah yang menusuk hidung itu harus Raksha dan Sena tahan tepat setelah mereka menapakkan langkah kaki merka yang pertama ke dalam istana.
Raksha dan Sena berlari kencang melewati ratusan jasad prajurit Kanezka dan pendekar Dunia Arwah yang menghalangi jalan mereka ketika menyusuri lorong istana. Satu-satunya sumber penerangan mereka adalah obor yang memancarkan api berwarna ungu di tiap sisi lorong yang tengah mereka lalui.
Raksha tahu kalau api itu berasal dari Kanuragan Ozora milik Diendra. Bahkan di tengah langkahnya yang kian mendekat, dia bisa merasakan hawa membunuh yang kuat dari Diendra yang rasanya semakin mencekik. Dari aura kesaktian Diendra yang menekan dan bau darah segar yang menyambutnya, Raksha ragu kalau Baswara, Taksa, Wanda, dan Saguna masih bertahan hidup.
“Di ujung lorong itu, Raksha! Aku bisa merasakannya!” Sena menyeru sembari menunjuk ke ruang tahta yang ada di ujung lorong yang tengah dia dan Raksha lalui. Cahaya perak K
“Gardapati! Serang!” teriak Raksha di tengah keterpurukannya.Gardapati sontak muncul dari balik bayangan Raksha. Dia menerjang cepat sehingga taringnya berhasil mendarat keras di leher Diendra.Darah hitam menyemburat dari leher Diendra, membuat Diendra meringis menahan keperihan yang menerpa. Namun dia tahan sekuat tenaga rasa perih itu sambil melepas paksa siluman srigala yang masih mengoyak lehernya. Walau aura ungu Kanuragan Ozora Diendra memekik panas dan menusuk tubuh Gardapati, sang siluman srigala masih bersikukuh menahan taring dan cakarnya agar tetap mengoyak lehernya itu.“SRIGALA BODOH! PERGI!”Diendra menyentak bersamaan dengan meledaknya aura ungu Kanuragan Ozora di tubuhnya. Gardapati terpental jauh dengan taring yang hancur dan cakar yang patah akibat ledakan tersebut.Diendra sempat limbung karena darah hitam tubuhnya terus menyemburat dan aliran Kanuragan Ozora miliknya sempat kacau. Beberapa detik setelah
“Sena…tenanglah….”Saguna bisa merasakan kecemasan yang luar biasa ketika melihat raut wajah Sena yang pucat. Kala itu, Sena tengah memfokuskan cahaya biru kehijauan Kanuragan Wiratama di kedua telapak tangannya memancar terang menyinari Saguna, Taksa, Baswara, Wanda, dan Pawiro yang terluka parah.Ajian sakti cahaya pemulihan Sena berhasil membuat luka fatal di tubuh kelima orang itu pulih, tetapi mereka masih kehilangan kesadaran karena kehabisan tenaga. Hanya Saguna yang masih bisa menjaga kesadarannya di tengah tubuhnya yang masih terasa remuk itu.Sena berhenti ketika dia tahu kalau Taksa, Saguna, Baswara, Pawiro, dan Wanda sudah aman dari luka fatal yang mengancam nyawa mereka. Namun kegelisahan masih melanda hatinya. Walau dia sudah fokus sekuat tenaga, hati kecilnya masih berteriak khawatir akan kondisi Raksha di dalam tanah itu.“Saguna, tunggu disini. Aku harus mencari Raksha.” Sena buru-buru beranjak.
“KANEZKA NAIF! APA KAU SEDANG MEMAKSAKAN PERASAANMU YANG TIDAK MASUK AKAL ITU?! DUNIA TIDAKLAH SEBAIK SEPERTI IMAJINASI KALIAN, BEDEBAH!”Diendra menyeru keras, meneriakan amarahnya yang menumpuk semenjak tuannya, Isvara Mavendra, putus asa dan memilih menyepi di Goa Zanitha. Kalau saja tuannya itu tidak memilih Basudewa sebagai suaminya, dia tahu tragedi macam ini tidak harus terjadi.Sena maju menghadang Diendra yang melesat kencang. Tongkat emas saktinya beradu dengan tebasan pedang hitam Diendra yang cepat dan liar. Berulang kali Sena menangkis tebasan horizontal dan diagonal Diendra itu dengan tongkat emasnya, tetapi sengatan panas yang memekik dari api ungu yang membalut bilah pedangnya itu terasa perih di wajah dan tubuhnya.“KALIAN MEMAKSAKAN DIRI UNTUK MENYATU! HANYA UNTUK APA?! HANYA UNTUK SALING MENGKHIANATI SATU SAMA LAIN DI MASA DEPAN?! JANJI SUCI?! SEHIDUP SEMATI?! OMONG KOSONG SEMUANYA!” teriak Diendra keras di tengah seran
“Uhh….”Sena terpaksa bersimpuh karena kehabisan tenaga. Tongkat emas yang merupakan pusaka sucinya kini kembali menjadi tongkat baja. Berulang kali dia menghirup napas lalu membuangnya, tetapi rasa lelah dan perih tidak lepas dari tubuhnya. Dia tidak menyangka kalau menggunakan Kanuragan Wiratama pada pusaka sucinya itu benar-benar menyita banyak tenaga. Dia harus berlatih banyak lagi agar lebih terbiasa.“Masih kuat?” tanya Raksha yang duduk bersimpuh persis di depannya.“Beri aku waktu….Raksha…” Sena masih terengah-engah dengan keringat deras mengalir di tubuhnya. Dia sudah lama mengatur napas, tetapi kelelahan masih melanda tubuhnya.Raksha menghela napas panjang. Dia menyodorkan punggungnya tepat ke hadapan Sena. “Sini. Kamu tidak mungkin jalan sendiri dalam kondisi seperti itu.” pintanya.“Emm….apa ini tidak apa-apa…?” tanya Sena ragu. Dia tidak men
“Tinggal 400 bintang jasa lagi, Raksha!”Sena menyeru sembari membawa gulungan kertas. Buru-buru dia menghampiri Raksha yang tengah duduk santai di salah satu saung Padepokan Pendekar Dewa Matahari kala itu lalu menunjukkan kertas yang dia bawa.Raksha melihat kertas itu kurang lebih berisi pernyataan pengakuan bintang jasa resmi dari Kerajaan Kanezka bahwa Padepokan Pendekar Dewa Matahari mendapatkan 500 bintang jasa karena telah berhasil menyelesaikan misinya di Kota Madharsa. Raksha tahu itu asli karena dia melihat stempel lilin lambang Kerajaan Kanezka dan Padepokan Udayana di ujung kanan bawah kertas itu.“Bagaimana? Hebat, bukan? Hanya Padepokan Pendekar Dewa Matahari yang berhasil mengumpulkan 600 bintang jasa hanya dari dua misi saja! Posisi padepokan kita juga sekarang bukan lagi yang terendah!” Sena menegaskan dengan penuh kebanggaan. Raksha hanya tersenyum sejenak untuk menanggapinya.“…kalau begitu kurang b
“Selamat, Sena! Kau berhasil mendapatkan pusaka sucimu yang pertama!”Nandina memeluk Sena sembari menepuk-nepuk pundak Sena. Senyumnya tersungging lebar karena ikut bangga dengan pencapaian muridnya itu. Tongkat baja yang merupakan pusaka suci muridnya itu disimpan terikat di belakang punggung muridnya.Sena yang masih tampak kikuk dan senang bersamaan itu buru-buru menunduk hormat ketika Nandina melepas pelukannya. “Sa-saya berhasil mendapatkan ini karena ajaran guru…”“Oh, jangan merendah, Sena. Pendekar Dewa Matahari pada umumnya butuh waktu bertahun-tahun untuk memperoleh pusaka sucinya. Tapi kau berbeda! Aku tahu semenjak aku pertama kali melihatmu kau adalah pendekar yang disayang dan dilindungi oleh para dewa!” Nandina masih bersemangat memuji Sena.Nandina menatapi tongkat baja Sena lebih cermat. Dia baru sadar kalau pusaka suci itu adalah warisan dari Pendekar Dewa Matahari legendaris yang sudah meningg
Padang rumput di tengah malam kala itu hanya dipenuhi dengan kesunyian dan terang bulan purnama. Tidak ada siapapun disana kecuali Raksha yang tengah bertapa. Aura ungu Kanuragan Ozora di sepanjang lengan kirinya tengah membara, menandakan kalau Raksha sedang berkonsentrasi penuh menguatkan Kanuragan Ozora dalam tubuhnya.Beberapa saat berlalu, Raksha pun membuka matanya. Dia mengangkat lengan kanannya tinggi ke arah langit malam.“Bangkitlah, prajurit arwah.”Seruan pelan tetapi membahana itu langsung menimbulkan ratusan kobaran api ungu yang mewujudkan ratusan prajurit arwah, siluman harimau, dan siluman srigala yang tunduk pada dirinya. Prajurit arwah elit Asoka, Suja, Gardapati, dan Sakuntala berbaris rapi sekitar 20 kaki di hadapan Raksha lalu tunduk patuh kepada tuannya.Raksha bisa merasakan Kanuragan Ozora yang menggebu dalam tubuhnya. Dia paham kekuatannya bertambah karena malam ini adalah malam bulan purnama yang merupakan malam dima
“Hmm…”Sena belum berhenti mengernyitkan dahinya ketika melihat ratusan Pendekar Pedang Cahaya dan Pendekar Tubuh Baja tengah berbaris rapat di lapangan padepokan Udayana. Di belakang mereka ada puluhan Pendekar Dewa Api, Pendekar Dewi Bumi, Pendekar Dewa Angin, dan Pendekar Dewa Air yang ikut berbaris juga. Mereka semua sedang menghadap ke panggung, dimana Gesang, Baswara, Wanda, Taksa, Panji, Anjali, dan Saguna tengah berbaris rapi. Sena dengar kalau pasukan utama dari Kerajaan Kanezka yang akan memimpin misi di Goa Zanitha adalah Gesang, ayahanda dari Baswara dan juga kepala keluarga Pancaka.“Kita tidak terlambat?” celetuk Raksha melihat Gesang sudah berkoar-koar menyemangati pasukannya.“Entahlah, aku sudah tidak heran kalau mereka memulai bahkan sebelum kita tiba disini. Padahal mereka tidak memberitahu kalau kita harus datang pagi.” balas Sena pesimis. Dia tahu kalau Pendekar Dewa Matahari sedang diremehkan lagi